Share

Bab 2

Author: Queen Tere
last update Last Updated: 2024-12-20 22:14:30

Mobil dengan kap ringsek berhenti di depan bangunan apartemen. Mesin telah mati, meninggalkan keheningan yang menusuk. 

Tok tok.

Seorang wanita berambut pendek mengetuk kaca mobil. "Fasco, kamu nggak apa-apa?"

Evora membuka pintu mobil, menarik napas lega. Kejadian tadi masih membekas di kepalanya.

“Fasco, bagaimana keadaanmu?” Wanita yang tadi mengetuk pintu mobil segera menghampiri pria yang hampir menabrak Evora.

“Aku baik-baik saja, kamu urus dia!” Dengan tubuh yang masih lunglai, Fasco lebih dulu masuk ke dalam apartemen.

"Fasco sedikit mabuk tadi, jadi nyetirnya ngawur. Aku beneran minta maaf, ya. Kamu nggak kenapa-kenapa?"

Evora menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja.”

Wanita itu mengangkat alis. "Kamu kelihatan shock."

Evora menghembuskan napas. Shock? Itu bahkan nggak cukup buat menggambarkan perasaannya sekarang.

“Perkenalkan, namaku Grace.” Wanita itu mengulurkan tangan.

“Aku Evora….”

“Ini sudah malam, kamu istirahat di apartemenku dulu, ya? Bahaya jika kamu di jalan malam-malam begini,” tawar Grace.

“Nggak perlu, aku akan pulang naik taksi saja.”

“Oke, biar aku yang mengantarmu.” Wanita itu sedikit memaksa yang membuat Evora pun akhirnya mengangguk.

•••

Mobil Grace sampai di kediaman keluarga Mordie. Evora pun turun.

“Terima kasih, Grace,” ucap Evora.

“Sama-sama, ini nomor teleponku. Jika kamu ada masalah, segera hubungi aku.”

Evora mengangguk dan Grace pun pergi.

Saat ini sudah hampir larut malam. Hanya ada security yang berjaga di depan gerbang. 

“Silakan, Nona Evora.” Security membuka pintu gerbang rumah keluarga Mordie dan mempersilakan Evora untuk masuk.

Evora terlihat letih dan pucat. Salah satu pembantu menghampirinya. “Anda tampak lelah, saya akan buatkan teh hangat.”

“Terima kasih, Lala. Antar saja ke kamarku.” Suara Evora sedikit serak dan lemah.

"Kita nggak punya pilihan lain.” Dari ruang tamu, Evora mendengar suara berat ayahnya.

Ia pun menghentikan langkahnya seraya mendengar percakapan serius ayahnya.

“Jika tidak segera bertindak, perusahaan kita akan bangkrut dalam hitungan bulan." Nada Roldie terdengar gusar.

“Bagaimana dengan kontraknya?” Meyla, Ibu Evora, menimpali.

"Perusahaan kita akan mendapat suntikan dana besar, beberapa proyek kita yang sempat terbengkalai bisa kita mulai lagi. Dengan Lizi menikahi Vernon Roys, kita akan terikat dengan Roys Corporation. Ini satu-satunya cara.”

Tubuh Evora menegang. Ia tidak salah dengar, kan?

"Ini langkah yang bagus.” Nada Meyla terdengar senang. "Walaupun Lizi seorang model terkenal, ia masih membutuhkan relasi yang banyak. Jika Lizi menikah dengan pewaris keluarga Roys, perusahaan kita akan mendapatkan investasi besar dari keluarga Roys. Kita bisa mengamankan masa depan keluarga Mordie."

Dada Evora terasa sesak, napasnya tercekat. 

Di belakang Evora, keluarganya telah menyiapkan perjodohan untuk kakaknya, Lizi?

Percakapan dua orang itu berhenti ketika Evora melangkah masuk ke ruang tamu. Seketika suasana pun hening.

Evora menatap kedua orang tuanya dengan pandangan berbeda. 

Meyla terkejut, tapi ia segera berkata, “Bagus, pulang larut malam sekali. Apa kau lembur?” tanya Meyla.

“Apa maksud kalian menjodohkan Kak Lizi dengan pewaris keluarga Roys?” ucap Evora tanpa basa-basi.

“A-apa maksudmu?” Meyla berusaha menampilkan raut wajah biasa.

“Aku sudah dengar semuanya, Bu!” 

“Kakakmu akan dijodohkan dengan pewaris keluarga Roys, yaitu Vernon Roys,” jawab Roldie tanpa menatap Evora.

“Ayah ingin memberitahumu nanti tapi terpaksa mengatakannya sekarang karena kamu sudah terlebih dulu bertanya,” sambung Roldie.

Evora tersenyum miris. Bertepatan dengan itu, Lizi turun dari lantai dua.

“Evora, kau sudah pulang—”

“Puas sekarang, Kak?” suara Evora parau, matanya tajam.

Lizi berhenti di tangga, ekspresinya seolah kebingungan. “Apa maksudmu?”

Evora tertawa pendek. "Jangan pura-pura nggak tahu."

Lalu, raut Evora berubah dingin. “Sudah berapa lama? Sudah berapa lama kalian menyembunyikan hubungan ini di belakangku? Sejak dulu atau baru sekarang?”

“Evora!” Meyla berdiri dari duduknya.

“Aku tahu kamu dekat dengan Vernon, tapi ini sudah keputusan dua keluarga,” balas Lizi dengan nada santai.

“Dekat?” Evora menatap kakaknya dengan tatapan tak percaya. “Kak, kamu tahu yang sebenarnya. Hubunganku dengan Vernon lebih dari itu.”

“Evora, kau bicara apa? Kedua keluarga sudah memutuskan ini. Lagi pula, Vernon mengaku bahwa dia sedang nggak menjalin hubungan dengan siapapun. Jadi untuk apa kamu mengada-ngada?” ucap Meyla seraya menatap Evora tajam. 

Evora berdiri kaku di tempatnya. 

Lizi menghela napas panjang. "Aku tahu kau menyukai Vernon. Tapi kamu harus dengar, hidup ini bukan dongeng di mana cinta selalu menang. Kau hanya harus menerima kenyataan. Aku tidak mengambil Vernon darimu—dia yang memilihku.”

Evora tertawa pahit. “Dia memilihmu? Atau kalian yang sengaja mengkhianatiku diam-diam?”

Mata Lizi sedikit melebar sebelum dengan cepat menguasai ekspresinya. Ia tersenyum kecil seraya berjalan mendekat. “Percayalah apapun yang kau mau. Tapi pada akhirnya, Vernon tetap bersamaku.”

"Kalian nggak punya hati!" suara Evora pecah, matanya memerah.

“Evora, lebih baik kamu diam dan terima ini semua!” bentak Meyla.

Evora menatap ibunya dengan sorot kekecewaan. “Apakah Ibu pernah peduli padaku? Apa Ibu pernah tahu bagaimana keadaanku yang sebenarnya? Tidak, Ibu hanya mengutamakan Kak Lizi.”

Ketegangan sangat terasa di situasi saat ini. 

“Apa setidaknya kalian pernah memikirkan Nenek yang stroke dan dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan? Jika Nenek pulang ke rumah, aku yang mengurusnya. Aku di sini karena Nenek. Tapi kalian hanya mementingkan diri kalian sendiri!”

“Evora, jika kamu masih mau dianggap sebagai bagian keluarga Mordie, maka terima semua ini dan jangan protes!” Roldie berkata dengan tegas disusul dengan keheningan.

Evora menatap ayahnya dengan sorot kecewa yang mendalam. Ia melangkah mundur perlahan-lahan lalu berbalik dan menaiki tangga tanpa menoleh lagi. 

Di depan pintu kamarnya, matanya jatuh pada gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Nama itu masih terukir di sana.

Dulu, ini simbol harapan.

Namun, sekarang hanya mengingatkannya tentang luka.

Tanpa ragu, ia melepasnya. Ia sempat terdiam sejenak, lalu melemparkannya ke tempat sampah.

"Janji kosong," gumamnya lirih.

“Nona, ini teh untukmu.” Suara Lala dari arah belakang menyadarkannya.

Evora menoleh dengan senyum tipisnya. “Lala, bisa bantu aku sebentar?” Suaranya terdengar bergetar.

“Ya, Nona?”

“Tolong bantu aku bereskan beberapa barang yang harus dibuang.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantan Kekasihku Adalah Tunangan Kakakku    Bab 39

    Kediaman keluarga Mordie.Setelah selesai melakukan observasi di pantai, Evora pulang ke rumah diantar oleh Andreas. Evora terpaksa menyetujuinya karena Andreas tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk menolak.“Terima kasih sudah mengantarkan saya ke rumah, Pak Andreas. Maaf, saya jadi merepotkan Anda,” ujar Evora.“Tidak masalah. Kamu pasti cukup lelah hari ini,” sahut Andreas.Evora mendadak ingat suatu hal. “Maaf, Pak … Saya lupa bilang bahwa saya sudah diterima di Universitas Astoria dan akan dijadwalkan masuk kuliah minggu depan. Apa saya bisa menyesuaikan jam kerja dengan jam kuliah saya?”Andreas yang mendengarnya tersenyum hangat. “Wah, selamat ya! Kamu pasti bekerja keras untuk itu. Tentu saja kita bisa bicarakan penyesuaian jadwal kerjamu secepatnya di kantor.”Setelah itu, Evora turun dari mobil dan masuk ke rumahnya. Suasana rumah tampak lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan berjalan kesana kemari tanpa istirahat.Evora sedikit bertanya-tanya dalam hati.Ketika memas

  • Mantan Kekasihku Adalah Tunangan Kakakku    Bab 38

    Pantai Arverra.Kaki Evora menapak di pasir pantai. Sinar matahari sedikit menyilaukan matanya. Helaian rambutnya bergoyang terkena hembusan angin.Di genggaman tangannya ada notebook yang selalu ia gunakan untuk mencatat.“Ayo, Evora!” seru Andreas seraya menepuk pundak Evora. Di belakangnya, seluruh tim perusahaan dan klien dari Roys Corporation mengikuti.Evora pun berjalan di sisi Andreas. Mereka melangkah memasuki area pantai. Semakin mereka masuk, udara semakin terasa sejuk.Baru beberapa meter berjalan, Evora sudah melihat berbagai alat berat seperti crane dan dump truck. Semakin dekat, terdapat bangunan seperti kafe dan restoran yang hampir selesai. Beberapa pelabuhan juga sudah dibuka untuk jalur laut.“Berdasarkan kontrak kerja sama Avo Wisata Group dengan Roys Corporation, kita akan membangun pelabuhan sendiri dengan kapal wisata untuk para pengunjung yang ingin merasakan berlibur di pantai ini dan menikmati angin lautnya yang sejuk. Untuk pelabuhan kita sendiri baru jadi s

  • Mantan Kekasihku Adalah Tunangan Kakakku    Bab 37

    Hari sudah hampir gelap ketika Evora pulang ke rumahnya. Dengan wajah kusut dan mata sembab, Evora masuk ke dalam rumah dan sempat memberi seulas senyum pada Lala.“Mau saya buatkan teh hijau, Nona?” tawar Lala yang hanya diangguki Evora.Lala bertanya-tanya dalam hati melihat respon Evora yang agak berbeda.Evora lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Tiba-tiba ia mendengar suara tawa Lizi, “Vernon, berhenti! Itu geli.”Semakin tinggi tangga yang dilangkahi Evora, semakin jelas suara tawa itu terdengar. Langkahnya lalu berhenti di anak tangga teratas.Tepat di atas tangga, Lizi berdiri berhadapan dengan Vernon tanpa jarak. Lizi mengalungkan tangannya ke leher Vernon sementara pria itu memegang bagian belakang leher Lizi. Tawa dan candaan menyelimuti mereka.Hidung mereka menempel satu sama lain dan tertawa tanpa beban. Evora mematung sejenak, matanya tak berkedip menatap mereka berdua. Perhatian mereka pun teralih ke arah Evora. Lizi sontak menutup mulut. “Ups … maaf, Evora. Kamu mau

  • Mantan Kekasihku Adalah Tunangan Kakakku    Bab 36

    “Maaf ... aku hanya ingin meletakkan ini sebentar.” Evora berucap tanpa melihat wajah Vernon dan Lizi. Setelah menaruh nampan di atas nakas, Evora hendak pergi. Namun, suara Lizi menghentikannya. “Evora, bisa ambilkan minyak lavender? Badanku pegal-pegal, dan aku meminta Vernon untuk memijatku sebentar.” Sebuah nyeri yang tak asing kembali menghantam dada Evora. Pemandangan Vernon dan Lizi di kamar ini mengingatkannya pada masa lalu yang pahit. Wajah Evora berubah kaku, tapi ia berusaha tersenyum. “Boleh … sebentar, aku ambilkan.” Ia lalu keluar dari kamar Lizi. Setelah kepergiannya, sempat terdengar suara tawa dan candaan. Ia berusaha mengabaikannya. Setelah mengambil minyak lavender di laci ruang keluarga, ia kembali ke kamar Lizi. “Ini minyaknya, Kak.” “Terima kasih, Evora,” ucap Lizi dengan senyum manis. Namun, Evora merasa tatapan Lizi berbeda dengan senyumannya. Ia seolah sengaja dan ingin menunjukkannya pada Evora. Gadis itu belum beranjak pergi. Ia ragu sejenak sebe

  • Mantan Kekasihku Adalah Tunangan Kakakku    Bab 35

    “Kebutuhan pribadi sudah, makanan ringan juga sudah … sepertinya aku butuh membeli make up setelah ini,” ujar Evora seraya memperhatikan catatan belanjanya. Ia lalu menatap Fasco. “Dari tadi kamu hanya mengikuti aku, memangnya kamu nggak jadi beli titipan Grace?”Fasco memasukkan kedua tangannya ke saku celana lalu membuang muka. “Aku cuma takut kamu bikin ulah lagi. Jadi lebih baik aku tunggu sampai kamu selesai belanja.”Evora menatap Fasco dengan malas. “Apa kamu keberatan belanja bersamaku? Kamu takut aku diculik lagi dan merepotkan kamu?”Raut wajah Fasco tampak bersalah. “Jangan banyak bicara. Ayo ke kasir dan gantian aku yang belanja!” Pria itu lalu berjalan mendahului Evora.“Terkadang dia sangat menyebalkan meski aku berhutang budi padanya,” monolog Evora.Sepuluh menit kemudian…“Tunggu aku, Fasco!” Evora mengejar Fasco dari belakang dengan tangan penuh kantong belanjaan.“Kenapa aku yang harus nunggu? Kamu saja jalannya lambat,” sahut Fasco dengan santai.Evora menarik napa

  • Mantan Kekasihku Adalah Tunangan Kakakku    Bab 34

    “Grace, apa hari ini kamu sibuk?” Evora bertanya lewat telepon.“Iya, maafkan aku …, hari ini, aku ada jadwal meeting.”“Yah ….” Evora tampak kecewa. “Aku merasa sedikit bosan di rumah. Sebenarnya aku ingin ajak kamu berbelanja.”“Kalau aku nggak ada meeting hari ini, pasti udah langsung nemenin kamu.” Terjadi jeda sejenak sebelum Grace melanjutkan, “Tadi Fasco bilang dia mau keluar. Mungkin kamu mau ikut dengannya?"Evora terdiam sejenak, menimbang-nimbang. “Hmmm…”“Begini, Fasco ingin membeli jam tangan di mall, dan aku sekalian menitip untuk beli bahan makanan.”Evora menghela napas. Sepertinya hanya ini jalan terakhirnya. “Baiklah... mungkin keluar sebentar tidak buruk. Kabari saja kalau Fasco ingin menjemputku.”“Baik.” Grace kemudian menjauhkan telepon dan berteriak, “Fasco, jemput Evora sekarang!”“Dia sudah keluar dari apartemen, lima belas menit lagi mungkin akan sampai di rumahmu,” ujar Grace. “Cepat siap-siap!”“Oke, Grace.”Evora sudah siap dengan memakai celana jeans panj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status