Di kamar, Evora sibuk dengan gunting kain dan jarum benang. Ia memutuskan untuk memodifikasi gaunnya dan menjahit dengan tangannya sendiri. Gaun dari Lizi ia potong bagian atasnya lalu ia sambung dengan bawahan dari kain sisa.“Sepertinya ini sudah cukup,” gumamnya ketika gaun yang ia jahit sudah jadi. Ia lalu menyimpan gaun tersebut di lemari untuk dipakai besok.“Setelah ini, aku masih harus mencari hadiah,” gumamnya lagi, “Apa aku mengajak Grace saja, ya?”Di saat ia sedang melamun, percakapan di ruang tamu tadi kembali terngiang di kepalanya. “Perusahaan keluarga kita sempat menghentikan beberapa proyek karena Tuan Marson tidak jadi berinvestasi di perusahaan. Itu membuat perusahaan kita rugi. Saat ini, kita sedang berusaha mencari investor baru. Aku harap … kamu bisa lebih berempati kedepannya. Ayah dan Ibu pasti lebih tahu yang terbaik untukmu.”Mungkin Lizi benar—ia belum cukup berempati. Tapi apakah empati itu berarti harus tunduk pada semua keinginan mereka?Ia tidak ingin me
Kediaman keluarga Mordie.Setelah selesai melakukan observasi di pantai, Evora pulang ke rumah diantar oleh Andreas. Evora terpaksa menyetujuinya karena Andreas tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk menolak.“Terima kasih sudah mengantarkan saya ke rumah, Pak Andreas. Maaf, saya jadi merepotkan Anda,” ujar Evora.“Tidak masalah. Kamu pasti cukup lelah hari ini,” sahut Andreas.Evora mendadak ingat suatu hal. “Maaf, Pak … Saya lupa bilang bahwa saya sudah diterima di Universitas Astoria dan akan dijadwalkan masuk kuliah minggu depan. Apa saya bisa menyesuaikan jam kerja dengan jam kuliah saya?”Andreas yang mendengarnya tersenyum hangat. “Wah, selamat ya! Kamu pasti bekerja keras untuk itu. Tentu saja kita bisa bicarakan penyesuaian jadwal kerjamu secepatnya di kantor.”Setelah itu, Evora turun dari mobil dan masuk ke rumahnya. Suasana rumah tampak lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan berjalan kesana kemari tanpa istirahat.Evora sedikit bertanya-tanya dalam hati.Ketika memas
Pantai Arverra.Kaki Evora menapak di pasir pantai. Sinar matahari sedikit menyilaukan matanya. Helaian rambutnya bergoyang terkena hembusan angin.Di genggaman tangannya ada notebook yang selalu ia gunakan untuk mencatat.“Ayo, Evora!” seru Andreas seraya menepuk pundak Evora. Di belakangnya, seluruh tim perusahaan dan klien dari Roys Corporation mengikuti.Evora pun berjalan di sisi Andreas. Mereka melangkah memasuki area pantai. Semakin mereka masuk, udara semakin terasa sejuk.Baru beberapa meter berjalan, Evora sudah melihat berbagai alat berat seperti crane dan dump truck. Semakin dekat, terdapat bangunan seperti kafe dan restoran yang hampir selesai. Beberapa pelabuhan juga sudah dibuka untuk jalur laut.“Berdasarkan kontrak kerja sama Avo Wisata Group dengan Roys Corporation, kita akan membangun pelabuhan sendiri dengan kapal wisata untuk para pengunjung yang ingin merasakan berlibur di pantai ini dan menikmati angin lautnya yang sejuk. Untuk pelabuhan kita sendiri baru jadi s
Hari sudah hampir gelap ketika Evora pulang ke rumahnya. Dengan wajah kusut dan mata sembab, Evora masuk ke dalam rumah dan sempat memberi seulas senyum pada Lala. “Mau saya buatkan teh hijau, Nona?” tawar Lala yang hanya diangguki Evora. Lala bertanya-tanya dalam hati melihat respon Evora yang agak berbeda. Evora lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Tiba-tiba ia mendengar suara tawa Lizi, “Vernon, berhenti! Itu geli.” Semakin tinggi tangga yang dilangkahi Evora, semakin jelas suara tawa itu terdengar. Langkahnya lalu berhenti di anak tangga teratas. Tepat di atas tangga, Lizi berdiri berhadapan dengan Vernon tanpa jarak. Lizi mengalungkan tangannya ke leher Vernon sementara pria itu memegang bagian belakang leher Lizi. Tawa dan candaan menyelimuti mereka. Hidung mereka menempel satu sama lain dan tertawa tanpa beban. Evora mematung sejenak, matanya tak berkedip menatap mereka berdua. Perhatian mereka pun teralih ke arah Evora. Lizi sontak menutup mulut. “Ups … maaf, Evo
“Maaf ... aku hanya ingin meletakkan ini sebentar.” Evora berucap tanpa melihat wajah Vernon dan Lizi. Setelah menaruh nampan di atas nakas, Evora hendak pergi. Namun, suara Lizi menghentikannya. “Evora, bisa ambilkan minyak lavender? Badanku pegal-pegal, dan aku meminta Vernon untuk memijatku sebentar.” Sebuah nyeri yang tak asing kembali menghantam dada Evora. Pemandangan Vernon dan Lizi di kamar ini mengingatkannya pada masa lalu yang pahit. Wajah Evora berubah kaku, tapi ia berusaha tersenyum. “Boleh … sebentar, aku ambilkan.” Ia lalu keluar dari kamar Lizi. Setelah kepergiannya, sempat terdengar suara tawa dan candaan. Ia berusaha mengabaikannya. Setelah mengambil minyak lavender di laci ruang keluarga, ia kembali ke kamar Lizi. “Ini minyaknya, Kak.” “Terima kasih, Evora,” ucap Lizi dengan senyum manis. Namun, Evora merasa tatapan Lizi berbeda dengan senyumannya. Ia seolah sengaja dan ingin menunjukkannya pada Evora. Gadis itu belum beranjak pergi. Ia ragu sejenak sebe
“Kebutuhan pribadi sudah, makanan ringan juga sudah … sepertinya aku butuh membeli make up setelah ini,” ujar Evora seraya memperhatikan catatan belanjanya. Ia lalu menatap Fasco. “Dari tadi kamu hanya mengikuti aku, memangnya kamu nggak jadi beli titipan Grace?”Fasco memasukkan kedua tangannya ke saku celana lalu membuang muka. “Aku cuma takut kamu bikin ulah lagi. Jadi lebih baik aku tunggu sampai kamu selesai belanja.”Evora menatap Fasco dengan malas. “Apa kamu keberatan belanja bersamaku? Kamu takut aku diculik lagi dan merepotkan kamu?”Raut wajah Fasco tampak bersalah. “Jangan banyak bicara. Ayo ke kasir dan gantian aku yang belanja!” Pria itu lalu berjalan mendahului Evora.“Terkadang dia sangat menyebalkan meski aku berhutang budi padanya,” monolog Evora.Sepuluh menit kemudian…“Tunggu aku, Fasco!” Evora mengejar Fasco dari belakang dengan tangan penuh kantong belanjaan.“Kenapa aku yang harus nunggu? Kamu saja jalannya lambat,” sahut Fasco dengan santai.Evora menarik napa