“Apa kamu nggak bisa diam?”
Fasco melirik ke kaca jendela mobil yang mulai berkabut karena hujan gerimis. Di sampingnya, Evora terisak keras, bahunya bergetar. Fasco mendesah pelan, berusaha mengabaikan suara tangis itu. Ia tidak tahu cara menenangkan seseorang, apalagi wanita yang baru dikenalnya. “Uh, Grace….” Fasco akhirnya meraih ponselnya dan menekan panggilan. “Aku butuh bantuanmu. Segera ke mobilku.” Tak lama, pintu belakang terbuka. Grace menatap Evora yang terisak dengan bingung, lalu menoleh ke Fasco. "Apa yang kau lakukan padanya?" “Aku? Nggak ada! Dia tiba-tiba menangis begitu saja.” Fasco mengangkat tangan seolah tak bersalah, alisnya berkerut, tak tahu harus berbuat apa. Suaranya terdengar datar, tapi ada sedikit kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Grace melirik Evora yang terus terisak. Ia pun mengambil tisu di dashboard mobil lalu menyerahkannya. “Tenanglah. Apa yang terjadi?” Evora meraih tisu itu dengan tangan gemetar, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. “Dia selingkuh... sehari sebelum ulang tahunku.” Grace terkejut, lalu melirik Fasco yang hanya diam. “Dia mabuk.” Fasco berucap dengan datar. Grace menghela napas. “Bantu aku bawa dia ke dalam apartemen!” Fasco tampak enggan, tapi ia tak menolak. Ia pun mencoba menyentuh bahu Evora. “Berdiri,” katanya pelan, tapi tegas. Evora tidak langsung merespons. Bahunya masih bergetar, dan kakinya tampak goyah. Dengan enggan, Fasco menyelipkan satu tangan di bawah lengannya, menopangnya agar tidak jatuh. Langkah mereka lambat di trotoar yang licin. Udara dingin bercampur samar aroma alkohol dari tubuh Evora. Sesekali ia tersandung, tapi genggaman Fasco tetap erat. “Kamu benar-benar menyusahkan,” lontar Fasco. Di depan pintu masuk apartemen, Grace bergantian memapah Evora memasuki apartemennya. Saat itu, Fasco menoleh ke asistennya. “Pria yang tadi sudah beres, kan?” “Sudah, Tuan. Saya sudah memblokir pria itu dari semua bar di kota ini.” “Bagus.” ••• "Dia akan bertunangan... dengan kakakku.” "Apa?" Suara Grace tertahan. "Pacarmu… dan kakakmu?" Evora mengangguk, air mata kembali mengalir. "Aku melihatnya sendiri. Mereka berciuman di depanku, lalu bertingkah seolah aku yang berlebihan. Tepat malam hari sebelum ulang tahunku.” Grace menepuk tangan Evora lembut. "Aku nggak tahu harus berkata apa… itu pasti sangat menyakitkan.” Saat ini, Evora sudah setengah sadar. Ia sudah banyak menangis, dan Grace tetap sabar mendengarkannya. “Kita sudah bertemu dua kali, entah kebetulan atau bukan. Tapi, aku yakin kamu orang yang baik. Jika kamu membutuhkan seorang teman untuk bercerita, kamu bisa menghubungi aku,” tutur Grace. Percakapan mereka terhenti ketika Fasco memasuki apartemen Grace. Ia melihat mereka dengan kening berkerut. Evora tampak bersandar di bahu Grace. “Fasco, kamu belum bercerita bagaimana kamu membawanya ke sini,” ujar Grace. “Dia hampir dibawa seorang pria masuk ke kamar. Saat aku melihat dia mabuk dan memberontak, aku langsung ingin menyelamatkannya,” jawab Fasco seraya mengambil segelas air minum. Grace mengangguk paham. “Dia sudah bercerita banyak padaku. Hanya saja, ini urusan wanita,” ucap Grace. Fasco tidak langsung merespons. Ia mendengus pelan, lalu menyandarkan kepala ke sofa sambil mengusap tengkuknya. “Baguslah. Aku memang nggak tertarik mendengar drama orang lain,” ucapnya datar, meski tatapannya masih sekilas melirik ke arah Evora. “Oh, ya. Bagaimana kabar Anetha?” Grace bertanya dengan hati-hati. Matanya yang sejak tadi terlihat santai berubah dingin. “Dia benar-benar pergi,” katanya datar, tapi ada nada getir di balik suaranya. Grace menatapnya dengan prihatin. “Aku tahu kau masih memikirkannya, Fasco.” Fasco tertawa pelan dengan sinis. “Memikirkannya?” Ia melirik ke arah jendela, matanya menerawang. “Aku cuma berusaha ingat kapan terakhir dia jujur. Jawabannya? Nggak pernah.” Grace menggigit bibirnya, lalu berkata lirih, “Dia tidak pantas untukmu.” Fasco mengusap wajahnya sekali. “Sudah lewat. Aku nggak akan mengulang kesalahan yang sama.” “Bagus, jangan menyia-nyiakan dirimu untuk wanita sepertinya. Dia yang terlebih dahulu memutuskan hubungan denganmu.” “Ya.” Fasco tampak malas melanjutkan pembicaraan tentang mantan pacarnya dan memilih menidurkan dirinya di sofa ruang tamu yang kosong. “Aku ingin menyiapkan makanan untuk kalian. Evora, kamu istirahat saja di sini.” Setelah memastikan Evora sedikit lebih tenang, Grace menyandarkan kepalanya ke sofa lalu beranjak ke dapur. Kini, hanya tersisa Fasco dan Evora di ruang tamu. Evora berusaha duduk tegak, tapi kepalanya kembali jatuh ke sandaran sofa. “Kenapa tempat ini berputar, ya? Dunia… bisa nggak diem sebentar aja?” Mata Fasco yang terpejam kembali terbuka saat mendengarnya. Ia pun melirik Evora yang tampak memegangi kepalanya. Selang beberapa lama, Grace kembali ke ruang tamu dengan tiga piring makanan. “Evora, apa kamu sudah merasa baikan? Aku ada air kelapa yang bisa membantumu menghilangkan efek mabuk,” ujar Grace. Evora mengerjap pelan, matanya masih berat. Ia mengusap wajahnya, lalu bergumam dengan suara serak, “Grace… kepalaku berat…” Grace mencondongkan tubuhnya. “Tunggu sebentar, aku ambilkan air kelapa.” Fasco melirik Evora yang masih setengah sadar, lalu menghela napas. “Kamu masih mabuk, kan?” Evora memiringkan kepalanya, mencoba fokus menatap Fasco, tapi matanya masih sayu. “Nggak… aku cuma… kepalaku seperti kapal kena ombak.” “Kamu sendiri yang memilih ada di situasi ini.” Fasco lanjut bertanya, “Untuk apa kamu ke bar itu? Bukankah kamu nggak pernah kesana?” Evora menatap kosong ke arah meja, tangannya menggenggam lengan bajunya sendiri. “Aku hanya… butuh pelarian.” “Seharusnya kamu tahu tempat seperti itu bukan untuk gadis sepertimu.” Ia melirik Evora sekilas. “Atau mungkin kau memang suka cari masalah?” “Kalau memang mau cari masalah, pastikan kau bisa keluar sendiri. Jangan menunggu seseorang datang menyelamatkanmu.”Kelas telah selesai. Semua mahasiswa sudah keluar kelas, menyisakan Evora yang sedang membereskan tasnya. Evora pun membawa tasnya dan hendak keluar dari kelas.Namun, saat langkahnya belum sampai di pintu, terdengar suara maskulin yang memanggil namanya, “Evora.”Gadis itu berbalik, dan seketika bertatapan dengan Marson. Jantung Evora berdebar, rasa was-was mulai melingkupinya.“Ada yang ingin saya bicarakan denganmu,” ucap Marson, suaranya tenang. Ia membenarkan letak kacamatanya, bibirnya membentuk senyum tipis, lalu berjalan menghampiri Evora.Mendadak Evora merasakan canggung. Ia seakan ingin berlari keluar dari kelas ini. Namun, kakinya terpaku di tempat hingga Marson akhirnya berhenti di depannya.“A-Ada apa, Tu-Tuan Marson?” tanya Evora dengan gugup. Matanya sedikit menghindari tatapan Marson.Marson mengulurkan tangan, senyum di wajahnya belum pudar. “Maaf,” ucapnya.Evora terkejut. Alisnya sedikit terangkat. “Ma-maaf untuk?”“Maaf sudah membuatmu tidak nyaman dengan perjodoh
Di depan gedung Perusahaan Mordie, para wartawan berjejer dengan mic dan kamera mereka. Ada tali sebagai batas antara mereka dengan Lizi. Wanita itu memakai gaun putih di bawah lutut dan selendang tipis. Ia ditunjuk untuk menghadapi para wartawan atas berita kematian Carla. Dengan suara lirih, Lizi berkata, “Nenek saya berpulang karena penyakit yang dideritanya. Beliau telah berjuang melawan penyakit stroke-nya selama bertahun-tahun. Saya tahu Nenek adalah orang yang kuat, tapi Tuhan lebih sayang kepadanya.”Di apartemen Grace, Evora menonton siaran langsung itu di layar laptop seraya menyuapkan potongan kue ke mulutnya. Wajahnya sangat datar, namun sorot matanya menyimpan kekosongan dan sedikit rasa muak.“Dia pintar bersandiwara,” ucap Grace yang ikut menonton, decakan kesal terdengar dari bibirnya.“Selama ini, kami sekeluarga telah merawat Nenek sebaik mungkin karena jasa-jasanya kepada keluarga dan perusahaan sejak dulu. Berita ini tentunya membuat saya dan keluarga saya terpuku
“Nenek!” Tubuh Evora luruh di samping jenazah neneknya yang ada di atas brankar rumah sakit. Tangannya bergetar saat membuka kain putih yang menutupi wajah neneknya.“Kenapa Nenek tinggalin aku secepat ini?” Air mata Evora mengalir dengan deras, membasahi wajah neneknya yang sudah kaku. Hatinya teriris ketika melihat wajah pucat neneknya yang sudah tak bernyawa.Di belakangnya, Fasco menatap itu dalam diam. “Evora….” Grace yang berada di sampingnya langsung merengkuh tubuh Evora. “Kuatkan dirimu, aku tahu ini nggak mudah,” ucapnya pelan.Tiba-tiba, terdengar beberapa langkah kaki masuk ke dalam ruangan. Roldie dan Meyla berdiri di ambang pintu, menatap Evora yang masih tersedu di sisi brankar. Wajah Meyla datar, tanpa ekspresi kesedihan yang kentara.Meyla lalu berucap kepada suster yang ada di sana, “Suster, tolong segera siapkan segalanya untuk pemakaman mertua saya. Kami ingin Mama dimakamkan hari ini juga.”“Ibu!” Evora yang mendengarnya lantas menoleh ke belakang. “Apa Ibu nggak
Evora berjalan di karpet merah dengan cepat, menghindari para wartawan. Di kedua sisi karpet sudah ada petugas yang berjaga, namun gerombolan wartawan itu tetap menyodorkan mic ke arah Evora seraya melontarkan berbagai pertanyaan yang beruntun.“Nona Evora, kenapa Anda tertarik mengawali karier sebagai model?”“Apa Nona Evora ingin mengikuti jejak kakak Anda yaitu Nona Lizi?”“Nona Evora, bagaimana tanggapan Anda tentang rumor-rumor yang beredar tentang kedekatan Anda dengan seorang pria?”Evora merasa kewalahan, kepalanya pusing oleh kilatan kamera dan suara riuh pertanyaan. Ia berusaha menembus kerumunan, namun langkahnya terhenti. Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh menggenggam jemarinya. Ketika Evora menoleh, rupanya itu Fasco. Belum sempat Evora berkata apa-apa, Fasco menggandengnya, menariknya cepat melewati karpet merah hingga mereka tiba di aula hotel.Di dalam, para tamu berkumpul dengan para relasinya masing-masing. Evora mendadak merasa gugup. Namun, entah mengapa ia merasa tena
“Lebih geser ke kanan sedikit!” Photographer mengarahkan Evora yang tengah menjalani photoshoot dengan seorang model laki-laki. “Oke, sudah pas.”“Sekarang, coba berpose saling berhadapan! Tangan kalian berdua memegang satu produk.”Dengan profesional, Evora lantas menghadap model laki-laki di sampingnya. Tangannya dan tangan model itu menggenggam sebuah produk yang sama.Setelah beberapa shoot, akhirnya sesi photoshoot selesai. Evora segera berganti pakaian dan hendak meninggalkan tempat photoshoot. Pram sudah menunggunya di villa, jadi Evora tidak ingin membuatnya menunggu lebih lama.“Tunggu, Evora!” Seorang manajer agensi model menghampiri Evora dengan senyum lebar. “Ini untuk kerja kerasmu.” Ia memberikan sebuah amplop tebal. “Di dalamnya ada cek senilai dua ratus juta sebagai bayaran awal. Untuk royalti dari majalahnya, itu akan menyusul setelah publikasi, tentu saja kalau produknya laku keras.”Evora menerimanya dengan senyum bahagia. “Terima kasih banyak, Pak!”Setelah itu, Ev
Setelah ke toko perhiasan, Evora pergi ke toko jam. Ia selalu ingat bahwa ayahnya sangat suka mengoleksi jam apapun jenisnya, terutama jam yang memiliki nilai tinggi atau antik. Maka dari itu, Evora ingin membelikan sebuah jam mahal dari brand kelas dunia untuk ayahnya.“Untuk jam berlapis emas murni dan dihiasi beberapa permata asli, telah dibuat sejak satu dekade lalu. Harganya lima ratus juta rupiah.”Evora kembali mengeluarkan kartu debitnya. Sebuah jam tangan mewah nan antik sudah ada di tangannya. Setelah selesai membeli hadiah, ia dan Grace pergi ke apartemen Grace.“Gila, kamu menghabiskan banyak uang hari ini!” seru Grace ketika mereka sudah sampai di apartemen.“Lumayan, tapi aku cukup senang,” sahut Evora.“Kalau begitu, malam ini kita karaoke sampai pagi!” Grace tertawa bersama Evora. Mereka lalu memasuki unit apartemen Grace. Di ruang tamu, Fasco sedang membaca buku di sofa. Pria itu mengalihkan pandangannya sekilas lalu lanjut membaca buku.“Letakkan bukumu, Fasco. Apa