Kejam.
Kata itulah yang terlintas di benak Evora tentang Fasco. Tapi sebelum ia sempat membalas, Grace muncul membawa air kelapa. “Sudahlah, lebih baik kau minum ini sebelum mendengar lebih banyak kuliah darinya.”. “Terima kasih, Grace.” “Aku sudah memasak nasi goreng untuk kalian, ayo makan dulu!” “Grace, bisakah aku pulang setelah ini? Ini sudah hampir larut malam.” “Baiklah, Fasco akan mengantarmu,” balas Grace. “Kenapa harus aku? Biarkan dia naik taksi saja.” Fasco mendengus, jelas tidak tertarik. “Jangan begitu, dia baru saja mabuk. Bagaimana kalau ada orang jahat?” Fasco menatap Evora sejenak, lalu mengalihkan pandangan. “Bukan urusanku.” “Oh, jadi kalau terjadi sesuatu, kamu mau disalahkan?” Grace melipat tangan di dada. Fasco mendesah, mengusap tengkuknya dengan malas. “Terserah.” “Tolong jangan berdebat, aku nggak mau kalian ribut karena aku. Kalian terlihat sebagai pasangan serasi, aku nggak akan mengganggu.” Grace tertawa seraya menutup mulutnya dengan tangan. "Pasangan? Aku ini saudara jauhnya! Lebih baik aku tidak punya pasangan selamanya daripada menjadi pasangannya.” “Sialan kau, Grace!” Fasco tampak tersinggung. “Oh, begitu, ya….” Evora jadi merasa tidak enak. “Makanlah, lalu habis ini kau boleh pulang. Sebenarnya aku ingin kamu menginap saja, tapi besok kami ada acara pertunangan sepupu Fasco. Jadi, kami nggak bisa meninggalkanmu sendirian,” tutur Grace. Mendengar kata pertunangan membuat Evora jadi teringat tentang pertunangan kakaknya dengan mantan pacarnya sebentar lagi. Acara itu akan dilaksanakan besok dan Evora seakan menghindar. Bagaimanapun, ia masih tak siap. ••• “Jam berapa acaranya dimulai?” Evora bertanya dengan datar. Hari yang sangat dihindari Evora pun tiba. Pagi ini, dia bangun tidur dengan malas. Lala yang membangunkannya dan menyiapkan semuanya untuknya. “Jam sembilan, Nona. Namun Anda harus siap jam delapan untuk menghindari macet di jalan.” Evora tak menyahut lagi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin tanpa ekspresi. Tadi malam, ia sampai di rumah pukul tiga pagi dengan diantarkan oleh Fasco. Tentu saja semua orang sudah terlelap, hanya security yang masih berjaga. “Anda mau memakai anting yang mana?” Lala menunjukkan dua pasang anting yang berbeda. Yang satu adalah anting kecil yang elegan sementara yang satunya anting yang lebih besar dan mencolok. “Kamu tahu aku nggak suka terlihat mencolok. Pakai yang kecil saja.” “Baik, Nona.” Setelah selesai memasang perhiasan, Lala pun mengambil gaun yang telah ia siapkan untuk dipakaikan di tubuh Evora. Saat Evora melihat gaun itu, ia baru sadar. Keningnya pun berkerut. “Kenapa model gaunnya seperti ini?” Evora sangat enggan memakai gaun yang terbuka. “Ini gaun yang dipilihkan Nona Lizi. Kata Nyonya, Anda harus tetap memakainya.” Evora mendengus. “Ambilkan aku blazer dengan warna yang senada.” “Ta-tapi….” Lala melihat raut wajah Evora tak ingin dibantah, maka ia pun mengangguk. “Baik, Nona.” Selagi Lala mencari blazer sesuai perintahnya, Evora pun melepas handuk kimononya dan memakai gaun yang telah disiapkan untuknya. Evora mendesis. Gaunnya terlalu terbuka, sesuatu yang jelas bukan seleranya. Saat Lala telah menemukan blazer dengan warna senada, ia juga ikut syok melihat penampilan Evora. “Apakah Nona Lizi serius memilihkan gaun ini untuk Nona Evora? Ini benar-benar nggak cocok untuk Nona Evora,” ujar Lala. Evora justru tersenyum. “Nggak masalah, aku akan menutupinya dengan blazer.” Tangannya pun menerima blazer dari Lala dan langsung mengenakannya. “Apa Nyonya Meyla nggak akan marah?” ucap Lala sedikit takut. Evora tidak menjawab, ia lanjut merias dirinya sendiri sesuai kemauannya. “Tuan, Nyonya, dan Nona Lizi sudah berangkat ke hotel sejak satu jam yang lalu. Jadi, Nyonya memerintahkan agar Nona Evora berangkat sendiri. Kebetulan mobilnya sudah disiapkan,” ujar Lala yang kini membantu Evora menata rambutnya. “Ya, itu bagus,” sahut Evora. ••• Mobil yang membawa Evora sampai di gedung hotel La-Roys. Evora datang didampingi oleh Lala. Terlihat hotel yang sudah dipenuhi oleh mobil para tamu. “Nona, acaranya di lantai tiga.” “Aku tahu.” Begitu naik lift ke lantai tiga, suara riuh para tamu sudah terdengar. Evora sedikit tercengang ketika melihat dekorasi lantai tiga. Semuanya dihias serba putih dan biru yang merupakan warna favorit Evora. Bukankah Lizi menyukai warna pink? Lalu kenapa acaranya justru didominasi warna yang bukan seleranya? “Nona, acaranya akan segera dimulai. Anda diminta ke belakang panggung acara.” Lala berujar. Pembawa acara sudah naik ke atas panggung untuk memulai acara. Mereka pun berjalan ke belakang panggung. Di sana Evora melihat Lizi yang berdiri di tengah-tengah ibu dan ayahnya. Pemandangan itu membuat dada Evora sesak. Begitu melihat Evora, senyuman mereka menghilang. Lizi terlihat mengukir senyum sinis yang hanya ditangkap oleh Evora. Meyla mendengus dan berkata, “Apakah kamu tamu? Bahkan kamu datang paling terlambat.” Evora berusaha menenangkan hatinya. “Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Tepat pada saat itu, keluarga calon pria sudah hadir. Semua orang memberikan atensinya. Evora bisa merasakan perubahan atmosfer di ruangan, tapi ia tetap menatap ke depan, enggan melihat ke arah mereka. Tanpa Evora ketahui, ada yang memperhatikannya. “Bukankah itu Evora?” “Karena keluarga masing-masing calon sudah hadir, maka dipersilakan untuk naik ke atas panggung.” Evora mencoba mengatur ekspresi. Ia berjalan dan berhenti di belakang Lizi untuk mendampinginya menuju tempat dilaksanakan prosesi pertunangan. Kedua keluarga pun sudah berkumpul di atas panggung untuk memulai acara inti pertunangan. “Tuan Bernan Roys, kami berharap ikatan ini menjadi awal yang baik untuk kedua keluarga kita,” ucap Roldie dengan penuh wibawa. Suaranya menggema ke seluruh penjuru ruangan, diiringi tepuk tangan riuh dari para tamu. “Kedua calon dipersilakan untuk maju dan bertukar cincin!” MC memberi interupsi. Evora ingin berbalik, tapi tubuhnya terkunci di tempat. Tangannya mencengkeram kain gaun, jemarinya menekan begitu kuat hingga hampir menusuk kulit. Dulu, ia yang membayangkan berdiri di sana—di samping Vernon, di hari yang seharusnya menjadi miliknya. Tapi sekarang, semuanya hanya tinggal bayangan kosong yang tidak akan pernah terwujud. Vernon, dalam balutan setelan abu-abu tua, membuka kotak beludru kecil berisi sepasang cincin berlian yang dirancang khusus. Dengan mantap, ia menyematkan cincin itu di jari manis Lizi, lalu mengecupnya lembut. Semua orang menatap adegan itu dengan penuh haru. “Lizi, aku berjanji untuk selalu ada disampingmu dan menjaga hubungan kita melalui ikatan ini.” Evora memandang nanar ke arah dua orang yang telah melukai hatinya. Kini ia melihat Lizi memasangkan cincin di jari Vernon. “Aku terima ikatan ini untuk membawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius.” Di depan Evora yang patah hati akibat dikhianati, para undangan bersorak gembira menyambut ikrar yang diucap pasangan itu. Semua bergembira, tapi tidak dengan Evora. Ia akhirnya mengalihkan pandangan, mencoba menghindari pemandangan yang mengoyak hatinya. Namun, di tengah hiruk-pikuk tamu, matanya bertemu dengan sepasang tatapan tajam. Wajah itu samar di tengah kerumunan, tapi ada sesuatu yang terasa familiar.Kelas telah selesai. Semua mahasiswa sudah keluar kelas, menyisakan Evora yang sedang membereskan tasnya. Evora pun membawa tasnya dan hendak keluar dari kelas.Namun, saat langkahnya belum sampai di pintu, terdengar suara maskulin yang memanggil namanya, “Evora.”Gadis itu berbalik, dan seketika bertatapan dengan Marson. Jantung Evora berdebar, rasa was-was mulai melingkupinya.“Ada yang ingin saya bicarakan denganmu,” ucap Marson, suaranya tenang. Ia membenarkan letak kacamatanya, bibirnya membentuk senyum tipis, lalu berjalan menghampiri Evora.Mendadak Evora merasakan canggung. Ia seakan ingin berlari keluar dari kelas ini. Namun, kakinya terpaku di tempat hingga Marson akhirnya berhenti di depannya.“A-Ada apa, Tu-Tuan Marson?” tanya Evora dengan gugup. Matanya sedikit menghindari tatapan Marson.Marson mengulurkan tangan, senyum di wajahnya belum pudar. “Maaf,” ucapnya.Evora terkejut. Alisnya sedikit terangkat. “Ma-maaf untuk?”“Maaf sudah membuatmu tidak nyaman dengan perjodoh
Di depan gedung Perusahaan Mordie, para wartawan berjejer dengan mic dan kamera mereka. Ada tali sebagai batas antara mereka dengan Lizi. Wanita itu memakai gaun putih di bawah lutut dan selendang tipis. Ia ditunjuk untuk menghadapi para wartawan atas berita kematian Carla. Dengan suara lirih, Lizi berkata, “Nenek saya berpulang karena penyakit yang dideritanya. Beliau telah berjuang melawan penyakit stroke-nya selama bertahun-tahun. Saya tahu Nenek adalah orang yang kuat, tapi Tuhan lebih sayang kepadanya.”Di apartemen Grace, Evora menonton siaran langsung itu di layar laptop seraya menyuapkan potongan kue ke mulutnya. Wajahnya sangat datar, namun sorot matanya menyimpan kekosongan dan sedikit rasa muak.“Dia pintar bersandiwara,” ucap Grace yang ikut menonton, decakan kesal terdengar dari bibirnya.“Selama ini, kami sekeluarga telah merawat Nenek sebaik mungkin karena jasa-jasanya kepada keluarga dan perusahaan sejak dulu. Berita ini tentunya membuat saya dan keluarga saya terpuku
“Nenek!” Tubuh Evora luruh di samping jenazah neneknya yang ada di atas brankar rumah sakit. Tangannya bergetar saat membuka kain putih yang menutupi wajah neneknya.“Kenapa Nenek tinggalin aku secepat ini?” Air mata Evora mengalir dengan deras, membasahi wajah neneknya yang sudah kaku. Hatinya teriris ketika melihat wajah pucat neneknya yang sudah tak bernyawa.Di belakangnya, Fasco menatap itu dalam diam. “Evora….” Grace yang berada di sampingnya langsung merengkuh tubuh Evora. “Kuatkan dirimu, aku tahu ini nggak mudah,” ucapnya pelan.Tiba-tiba, terdengar beberapa langkah kaki masuk ke dalam ruangan. Roldie dan Meyla berdiri di ambang pintu, menatap Evora yang masih tersedu di sisi brankar. Wajah Meyla datar, tanpa ekspresi kesedihan yang kentara.Meyla lalu berucap kepada suster yang ada di sana, “Suster, tolong segera siapkan segalanya untuk pemakaman mertua saya. Kami ingin Mama dimakamkan hari ini juga.”“Ibu!” Evora yang mendengarnya lantas menoleh ke belakang. “Apa Ibu nggak
Evora berjalan di karpet merah dengan cepat, menghindari para wartawan. Di kedua sisi karpet sudah ada petugas yang berjaga, namun gerombolan wartawan itu tetap menyodorkan mic ke arah Evora seraya melontarkan berbagai pertanyaan yang beruntun.“Nona Evora, kenapa Anda tertarik mengawali karier sebagai model?”“Apa Nona Evora ingin mengikuti jejak kakak Anda yaitu Nona Lizi?”“Nona Evora, bagaimana tanggapan Anda tentang rumor-rumor yang beredar tentang kedekatan Anda dengan seorang pria?”Evora merasa kewalahan, kepalanya pusing oleh kilatan kamera dan suara riuh pertanyaan. Ia berusaha menembus kerumunan, namun langkahnya terhenti. Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh menggenggam jemarinya. Ketika Evora menoleh, rupanya itu Fasco. Belum sempat Evora berkata apa-apa, Fasco menggandengnya, menariknya cepat melewati karpet merah hingga mereka tiba di aula hotel.Di dalam, para tamu berkumpul dengan para relasinya masing-masing. Evora mendadak merasa gugup. Namun, entah mengapa ia merasa tena
“Lebih geser ke kanan sedikit!” Photographer mengarahkan Evora yang tengah menjalani photoshoot dengan seorang model laki-laki. “Oke, sudah pas.”“Sekarang, coba berpose saling berhadapan! Tangan kalian berdua memegang satu produk.”Dengan profesional, Evora lantas menghadap model laki-laki di sampingnya. Tangannya dan tangan model itu menggenggam sebuah produk yang sama.Setelah beberapa shoot, akhirnya sesi photoshoot selesai. Evora segera berganti pakaian dan hendak meninggalkan tempat photoshoot. Pram sudah menunggunya di villa, jadi Evora tidak ingin membuatnya menunggu lebih lama.“Tunggu, Evora!” Seorang manajer agensi model menghampiri Evora dengan senyum lebar. “Ini untuk kerja kerasmu.” Ia memberikan sebuah amplop tebal. “Di dalamnya ada cek senilai dua ratus juta sebagai bayaran awal. Untuk royalti dari majalahnya, itu akan menyusul setelah publikasi, tentu saja kalau produknya laku keras.”Evora menerimanya dengan senyum bahagia. “Terima kasih banyak, Pak!”Setelah itu, Ev
Setelah ke toko perhiasan, Evora pergi ke toko jam. Ia selalu ingat bahwa ayahnya sangat suka mengoleksi jam apapun jenisnya, terutama jam yang memiliki nilai tinggi atau antik. Maka dari itu, Evora ingin membelikan sebuah jam mahal dari brand kelas dunia untuk ayahnya.“Untuk jam berlapis emas murni dan dihiasi beberapa permata asli, telah dibuat sejak satu dekade lalu. Harganya lima ratus juta rupiah.”Evora kembali mengeluarkan kartu debitnya. Sebuah jam tangan mewah nan antik sudah ada di tangannya. Setelah selesai membeli hadiah, ia dan Grace pergi ke apartemen Grace.“Gila, kamu menghabiskan banyak uang hari ini!” seru Grace ketika mereka sudah sampai di apartemen.“Lumayan, tapi aku cukup senang,” sahut Evora.“Kalau begitu, malam ini kita karaoke sampai pagi!” Grace tertawa bersama Evora. Mereka lalu memasuki unit apartemen Grace. Di ruang tamu, Fasco sedang membaca buku di sofa. Pria itu mengalihkan pandangannya sekilas lalu lanjut membaca buku.“Letakkan bukumu, Fasco. Apa