Vernon dan Lizi masih berdiri di atas panggung dengan Lizi yang merangkul lengan Vernon layaknya pasangan serasi.
Lizi mengambil mikrofon lalu berkata, “Terima kasih kepada semua yang hadir di hari spesial ini. Berkat dukungan kalian, acara ini berjalan dengan lancar. Aku juga ingin berterima kasih kepada Ayah dan Ibu yang sudah mendukungku selama ini. Aku sangat menyayangi kalian.” Evora membuang muka. "Tapi aku juga ingin berterima kasih kepada seseorang yang sangat berarti dalam hidupku....” Lizi berhenti sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada penuh kelembutan. "Adikku, Evora." Tepuk tangan meriah kembali terdengar. “Evora adalah adik yang luar biasa. Aku sangat beruntung memiliki dia di sisiku.” Tubuh Evora menegang, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Matanya melirik sekeliling, menyadari bahwa semua orang kini menatapnya. Seakan terjebak dalam panggung sandiwara, Evora hanya bisa diam, menahan debaran jantungnya yang tak menentu. Apa yang direncanakan Lizi? Lizi melangkah mendekat, jemarinya melingkari tangan Evora dengan lembut. Senyum manisnya tampak sempurna, tapi Evora tahu betul kepalsuan di baliknya. “Kamu adalah adikku yang sangat aku sayangi. Terima kasih telah mendukungku selama ini. Aku sangat bangga memiliki adik sepertimu.’" Tenggorokan Evora terasa tercekat. Ia tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. “Maukah kamu selalu berada di sisiku sebagai saudara yang terus mendukungku?” Lizi bertanya dengan tatapan penuh kasih sayang. Evora menatap tangan mereka yang masih saling menggenggam. Ada dorongan kuat untuk menarik diri, tapi di hadapan semua orang, apa yang bisa ia lakukan? Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia mengangkat sudut bibirnya. “Kau memang selalu mendapatkan apa yang kau inginkan, Kak.” Lizi terkejut sesaat sebelum kembali berakting manis. “Terima kasih, Evora.” Lizi lalu memeluk Evora dengan erat. Evora dapat melihat Vernon menatapnya dengan sorot mata yang rumit. Tepuk tangan pun kembali menggema. Setelah Lizi memberi pidato singkat, Evora segera turun dari panggung. Ia tak sanggup berlama-lama di sana. Setelah ini, akan diadakan sesi berdansa bersama pasangan. Evora lebih memilih menyendiri. Musik dansa sudah diputar dan orang-orang mulai berdansa dengan pasangannya. Tiba-tiba, Evora dihadang oleh beberapa gadis. Evora tahu, mereka adalah teman-teman Lizi. “Hai, Evora. Apa kabar? Aku lama tak melihatmu.” Wanita berambut sebahu berujar. Evora mengenalnya, itu adalah sahabat Lizi di kampus. “Aku baik-baik saja, Ela,” jawab Evora datar. “Senang melihatmu, Evora. Kakakmu benar-benar panutan, ya? Hampir lulus S1 dan sudah bertunangan dengan pria mapan. Aku yakin kamu pasti ingin menyusulnya.” Evora diam. Ia sudah menduga pembicaraan ini akan mengarah ke sana. Ela mengulurkan tangannya untuk menepuk pundak Evora. “Setidaknya kamu masih punya waktu untuk menyusulnya. Meskipun, yah... perbedaannya sudah cukup jauh.” Evora tersenyum tipis. “Terima kasih sudah memperhatikanku. Tapi kamu nggak perlu repot-repot, kok.” Ela memasang senyum sinis, begitupun dengan teman-temannya yang saling berbisik. Evora pun memilih pergi. Namun, tiba-tiba Evora menabrak seorang pelayan. Sesaat Evora melihat Ela menggeser kakinya. Ela dan teman-temannya menutup mulut, seolah kaget—tapi mata mereka menyiratkan kepuasan yang tak bisa disembunyikan. Pelayan itu panik dan berulang kali meminta maaf kepada Evora. “Nona, maaf. Saya tersandung,” ucap pelayan itu. Evora melihat sekilas Ela yang tampak puas. Ia menarik napas dalam. "Nggak apa-apa." Tanpa membuang waktu, Evora pun berjalan menuju toilet. Ia memasuki salah satu bilik untuk membersihkan gaunnya. Setelah selesai, Evora mencoba keluar dari bilik toilet. Namun, ia merasa gagang pintu toilet terlalu berat sampai ia tidak bisa membukanya. Ia mencoba memutar gagang pintu lagi. Tidak bergerak. “Apakah pintunya macet?” gumam Evora. Ia mencoba sekali lagi, lebih kuat. Masih tetap tertutup. Perasaan tak nyaman mulai menjalar ke tengkuknya. Ia baru menyadari, seseorang telah menguncinya dari luar. Ia menempelkan telapak tangannya ke pintu, mencoba mengontrol napasnya. "Tolong! Ada orang di luar?!" Suaranya sedikit bergetar, cemas mulai merayapi pikirannya. Bertepatan dengan itu, terdengar suara tawa samar dari luar lalu perlahan-lahan menjauh. Ia sudah menduga, pasti ada yang iseng kepadanya. Evora menggertakkan gigi, lalu menghantamkan tubuhnya ke pintu. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tak bergeming. "Astaga…" gumamnya dengan suara terputus-putus. Keringat mulai membasahi punggungnya. Jika tak ada yang menemukannya, berapa lama ia harus menunggu di sini? Samar-samar, Evora mendengar suara orang berbicara. “Maaf, toiletnya rusak. Sedang ada perbaikan.” “Benarkah? Aku akan mengeceknya.” Saat itu juga, terdengar suara langkah kaki memasuki area toilet. Evora langsung berteriak sekuat tenaga. "Hei! Tolong aku! Aku terkunci di dalam!" Suara langkah kaki di luar terdiam sejenak lalu semakin mendekat. Pegangan pintu bergerak. Seseorang mencoba membukanya dari luar. Terdapat jeda beberapa saat, sebelum sebuah hantaman keras menggema. Evora mundur, merapat ke dinding. Brak! Brak! Seketika kunci pintu jebol, membuat pintu terbuka dengan keras. Evora tersentak, punggungnya merapat ke dinding. Cahaya dari luar menusuk matanya, membuatnya menyipit. Napasnya masih kacau. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari—pintu itu sudah terbuka. Ia sudah bebas. "Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Fasco datar, namun tajam. Evora menelan ludah. “Aku terkunci….” Suaranya terdengar serak. Fasco menatap gagang pintu yang kini rusak sebelum kembali menatap Evora. "Siapa yang menguncimu?” “Nggak tahu.” "Kau yakin nggak tahu siapa yang menguncimu?" tanyanya lagi. "Aku nggak punya bukti.” Evora menunduk, lidahnya terasa kelu. “Lain kali hati-hati.” Fasco hendak pergi, tapi Evora maju selangkah. “Tunggu!” “Rupanya yang tadi aku lihat dari atas panggung itu kamu. Bagaimana kamu bisa ada di sini?” Fasco menatap Evora dengan pandangan sulit diartikan. “Apa kamu nggak memperhatikan? Aku ada dalam barisan keluarga tunangan kakakmu.” Evora tercengang. “Kau…” suara Evora tercekat di tenggorokannya. Ia menatap Fasco, berharap ia salah dengar. “Kau… keluarganya Vernon?” Fasco menatapnya sekilas, ekspresinya tetap datar. “Sepupu.” Evora terpaku di tempat. Otaknya berusaha mencerna informasi itu, tapi ia seperti dihantam sesuatu yang keras. “Jadi, selama ini kamu… bagian dari keluarga Roys?” Nadanya terdengar ragu. “Ya,” jawab Fasco santai. Evora meneguk ludah. “Lalu… kenapa kamu nggak pernah bilang?” “Kau nggak pernah bertanya.” Evora membisu. Kata-kata Fasco bergema di kepalanya, terasa mengejutkan. Mereka berjalan melewati lorong sepi sebelum akhirnya kembali ke area acara. Musik dansa masih terdengar, suasana masih penuh dengan kebahagiaan. Tak ada yang menyadari bahwa Evora baru saja terkunci di toilet. “Fasco, terima kasih. Kamu sudah banyak menolongku,” ujar Evora, menoleh ke arah Fasco dengan senyum yang tulus. Fasco tetap berjalan di sampingnya, tanpa memperlambat langkah. “Hm.” Evora menoleh, menatapnya dengan bingung. “Itu saja? ‘Hm’?” Fasco akhirnya meliriknya, sudut bibirnya terangkat samar. “Aku bukan tipe pria yang banyak bicara.” Evora mendengus pelan. “Jelas sekali.” Ia mengira pembicaraan selesai, tetapi Fasco menambahkan, "Tapi ada satu hal." "Apa?" Fasco berhenti, menatapnya sekilas. "Kau berhutang padaku." Evora mengerutkan kening. "Berhutang?" Fasco menyunggingkan senyum tipis, tangannya bersedekap santai. "Aku sudah menyelamatkanmu dua kali. Sudah seharusnya kau memberikan sesuatu sebagai gantinya." Tak ada tekanan, tapi ucapannya terdengar seperti tawaran yang tak bisa ditolak. Evora meneguk ludah. "Berapa yang harus kubayar?" Fasco mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya pelan namun penuh tekanan. “Berdansalah denganku, Evora.” Evora membeku. Untuk pertama kalinya, debaran jantungnya terasa berbeda.Kelas telah selesai. Semua mahasiswa sudah keluar kelas, menyisakan Evora yang sedang membereskan tasnya. Evora pun membawa tasnya dan hendak keluar dari kelas.Namun, saat langkahnya belum sampai di pintu, terdengar suara maskulin yang memanggil namanya, “Evora.”Gadis itu berbalik, dan seketika bertatapan dengan Marson. Jantung Evora berdebar, rasa was-was mulai melingkupinya.“Ada yang ingin saya bicarakan denganmu,” ucap Marson, suaranya tenang. Ia membenarkan letak kacamatanya, bibirnya membentuk senyum tipis, lalu berjalan menghampiri Evora.Mendadak Evora merasakan canggung. Ia seakan ingin berlari keluar dari kelas ini. Namun, kakinya terpaku di tempat hingga Marson akhirnya berhenti di depannya.“A-Ada apa, Tu-Tuan Marson?” tanya Evora dengan gugup. Matanya sedikit menghindari tatapan Marson.Marson mengulurkan tangan, senyum di wajahnya belum pudar. “Maaf,” ucapnya.Evora terkejut. Alisnya sedikit terangkat. “Ma-maaf untuk?”“Maaf sudah membuatmu tidak nyaman dengan perjodoh
Di depan gedung Perusahaan Mordie, para wartawan berjejer dengan mic dan kamera mereka. Ada tali sebagai batas antara mereka dengan Lizi. Wanita itu memakai gaun putih di bawah lutut dan selendang tipis. Ia ditunjuk untuk menghadapi para wartawan atas berita kematian Carla. Dengan suara lirih, Lizi berkata, “Nenek saya berpulang karena penyakit yang dideritanya. Beliau telah berjuang melawan penyakit stroke-nya selama bertahun-tahun. Saya tahu Nenek adalah orang yang kuat, tapi Tuhan lebih sayang kepadanya.”Di apartemen Grace, Evora menonton siaran langsung itu di layar laptop seraya menyuapkan potongan kue ke mulutnya. Wajahnya sangat datar, namun sorot matanya menyimpan kekosongan dan sedikit rasa muak.“Dia pintar bersandiwara,” ucap Grace yang ikut menonton, decakan kesal terdengar dari bibirnya.“Selama ini, kami sekeluarga telah merawat Nenek sebaik mungkin karena jasa-jasanya kepada keluarga dan perusahaan sejak dulu. Berita ini tentunya membuat saya dan keluarga saya terpuku
“Nenek!” Tubuh Evora luruh di samping jenazah neneknya yang ada di atas brankar rumah sakit. Tangannya bergetar saat membuka kain putih yang menutupi wajah neneknya.“Kenapa Nenek tinggalin aku secepat ini?” Air mata Evora mengalir dengan deras, membasahi wajah neneknya yang sudah kaku. Hatinya teriris ketika melihat wajah pucat neneknya yang sudah tak bernyawa.Di belakangnya, Fasco menatap itu dalam diam. “Evora….” Grace yang berada di sampingnya langsung merengkuh tubuh Evora. “Kuatkan dirimu, aku tahu ini nggak mudah,” ucapnya pelan.Tiba-tiba, terdengar beberapa langkah kaki masuk ke dalam ruangan. Roldie dan Meyla berdiri di ambang pintu, menatap Evora yang masih tersedu di sisi brankar. Wajah Meyla datar, tanpa ekspresi kesedihan yang kentara.Meyla lalu berucap kepada suster yang ada di sana, “Suster, tolong segera siapkan segalanya untuk pemakaman mertua saya. Kami ingin Mama dimakamkan hari ini juga.”“Ibu!” Evora yang mendengarnya lantas menoleh ke belakang. “Apa Ibu nggak
Evora berjalan di karpet merah dengan cepat, menghindari para wartawan. Di kedua sisi karpet sudah ada petugas yang berjaga, namun gerombolan wartawan itu tetap menyodorkan mic ke arah Evora seraya melontarkan berbagai pertanyaan yang beruntun.“Nona Evora, kenapa Anda tertarik mengawali karier sebagai model?”“Apa Nona Evora ingin mengikuti jejak kakak Anda yaitu Nona Lizi?”“Nona Evora, bagaimana tanggapan Anda tentang rumor-rumor yang beredar tentang kedekatan Anda dengan seorang pria?”Evora merasa kewalahan, kepalanya pusing oleh kilatan kamera dan suara riuh pertanyaan. Ia berusaha menembus kerumunan, namun langkahnya terhenti. Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh menggenggam jemarinya. Ketika Evora menoleh, rupanya itu Fasco. Belum sempat Evora berkata apa-apa, Fasco menggandengnya, menariknya cepat melewati karpet merah hingga mereka tiba di aula hotel.Di dalam, para tamu berkumpul dengan para relasinya masing-masing. Evora mendadak merasa gugup. Namun, entah mengapa ia merasa tena
“Lebih geser ke kanan sedikit!” Photographer mengarahkan Evora yang tengah menjalani photoshoot dengan seorang model laki-laki. “Oke, sudah pas.”“Sekarang, coba berpose saling berhadapan! Tangan kalian berdua memegang satu produk.”Dengan profesional, Evora lantas menghadap model laki-laki di sampingnya. Tangannya dan tangan model itu menggenggam sebuah produk yang sama.Setelah beberapa shoot, akhirnya sesi photoshoot selesai. Evora segera berganti pakaian dan hendak meninggalkan tempat photoshoot. Pram sudah menunggunya di villa, jadi Evora tidak ingin membuatnya menunggu lebih lama.“Tunggu, Evora!” Seorang manajer agensi model menghampiri Evora dengan senyum lebar. “Ini untuk kerja kerasmu.” Ia memberikan sebuah amplop tebal. “Di dalamnya ada cek senilai dua ratus juta sebagai bayaran awal. Untuk royalti dari majalahnya, itu akan menyusul setelah publikasi, tentu saja kalau produknya laku keras.”Evora menerimanya dengan senyum bahagia. “Terima kasih banyak, Pak!”Setelah itu, Ev
Setelah ke toko perhiasan, Evora pergi ke toko jam. Ia selalu ingat bahwa ayahnya sangat suka mengoleksi jam apapun jenisnya, terutama jam yang memiliki nilai tinggi atau antik. Maka dari itu, Evora ingin membelikan sebuah jam mahal dari brand kelas dunia untuk ayahnya.“Untuk jam berlapis emas murni dan dihiasi beberapa permata asli, telah dibuat sejak satu dekade lalu. Harganya lima ratus juta rupiah.”Evora kembali mengeluarkan kartu debitnya. Sebuah jam tangan mewah nan antik sudah ada di tangannya. Setelah selesai membeli hadiah, ia dan Grace pergi ke apartemen Grace.“Gila, kamu menghabiskan banyak uang hari ini!” seru Grace ketika mereka sudah sampai di apartemen.“Lumayan, tapi aku cukup senang,” sahut Evora.“Kalau begitu, malam ini kita karaoke sampai pagi!” Grace tertawa bersama Evora. Mereka lalu memasuki unit apartemen Grace. Di ruang tamu, Fasco sedang membaca buku di sofa. Pria itu mengalihkan pandangannya sekilas lalu lanjut membaca buku.“Letakkan bukumu, Fasco. Apa