Pantai Arverra.Kaki Evora menapak di pasir pantai. Sinar matahari sedikit menyilaukan matanya. Helaian rambutnya bergoyang terkena hembusan angin.Di genggaman tangannya ada notebook yang selalu ia gunakan untuk mencatat.“Ayo, Evora!” seru Andreas seraya menepuk pundak Evora. Di belakangnya, seluruh tim perusahaan dan klien dari Roys Corporation mengikuti.Evora pun berjalan di sisi Andreas. Mereka melangkah memasuki area pantai. Semakin mereka masuk, udara semakin terasa sejuk.Baru beberapa meter berjalan, Evora sudah melihat berbagai alat berat seperti crane dan dump truck. Semakin dekat, terdapat bangunan seperti kafe dan restoran yang hampir selesai. Beberapa pelabuhan juga sudah dibuka untuk jalur laut.“Berdasarkan kontrak kerja sama Avo Wisata Group dengan Roys Corporation, kita akan membangun pelabuhan sendiri dengan kapal wisata untuk para pengunjung yang ingin merasakan berlibur di pantai ini dan menikmati angin lautnya yang sejuk. Untuk pelabuhan kita sendiri baru jadi s
Hari sudah hampir gelap ketika Evora pulang ke rumahnya. Dengan wajah kusut dan mata sembab, Evora masuk ke dalam rumah dan sempat memberi seulas senyum pada Lala.“Mau saya buatkan teh hijau, Nona?” tawar Lala yang hanya diangguki Evora.Lala bertanya-tanya dalam hati melihat respon Evora yang agak berbeda.Evora lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Tiba-tiba ia mendengar suara tawa Lizi, “Vernon, berhenti! Itu geli.”Semakin tinggi tangga yang dilangkahi Evora, semakin jelas suara tawa itu terdengar. Langkahnya lalu berhenti di anak tangga teratas.Tepat di atas tangga, Lizi berdiri berhadapan dengan Vernon tanpa jarak. Lizi mengalungkan tangannya ke leher Vernon sementara pria itu memegang bagian belakang leher Lizi. Tawa dan candaan menyelimuti mereka.Hidung mereka menempel satu sama lain dan tertawa tanpa beban. Evora mematung sejenak, matanya tak berkedip menatap mereka berdua. Perhatian mereka pun teralih ke arah Evora. Lizi sontak menutup mulut. “Ups … maaf, Evora. Kamu mau
“Maaf ... aku hanya ingin meletakkan ini sebentar.” Evora berucap tanpa melihat wajah Vernon dan Lizi. Setelah menaruh nampan di atas nakas, Evora hendak pergi. Namun, suara Lizi menghentikannya. “Evora, bisa ambilkan minyak lavender? Badanku pegal-pegal, dan aku meminta Vernon untuk memijatku sebentar.” Sebuah nyeri yang tak asing kembali menghantam dada Evora. Pemandangan Vernon dan Lizi di kamar ini mengingatkannya pada masa lalu yang pahit. Wajah Evora berubah kaku, tapi ia berusaha tersenyum. “Boleh … sebentar, aku ambilkan.” Ia lalu keluar dari kamar Lizi. Setelah kepergiannya, sempat terdengar suara tawa dan candaan. Ia berusaha mengabaikannya. Setelah mengambil minyak lavender di laci ruang keluarga, ia kembali ke kamar Lizi. “Ini minyaknya, Kak.” “Terima kasih, Evora,” ucap Lizi dengan senyum manis. Namun, Evora merasa tatapan Lizi berbeda dengan senyumannya. Ia seolah sengaja dan ingin menunjukkannya pada Evora. Gadis itu belum beranjak pergi. Ia ragu sejenak sebe
“Kebutuhan pribadi sudah, makanan ringan juga sudah … sepertinya aku butuh membeli make up setelah ini,” ujar Evora seraya memperhatikan catatan belanjanya. Ia lalu menatap Fasco. “Dari tadi kamu hanya mengikuti aku, memangnya kamu nggak jadi beli titipan Grace?”Fasco memasukkan kedua tangannya ke saku celana lalu membuang muka. “Aku cuma takut kamu bikin ulah lagi. Jadi lebih baik aku tunggu sampai kamu selesai belanja.”Evora menatap Fasco dengan malas. “Apa kamu keberatan belanja bersamaku? Kamu takut aku diculik lagi dan merepotkan kamu?”Raut wajah Fasco tampak bersalah. “Jangan banyak bicara. Ayo ke kasir dan gantian aku yang belanja!” Pria itu lalu berjalan mendahului Evora.“Terkadang dia sangat menyebalkan meski aku berhutang budi padanya,” monolog Evora.Sepuluh menit kemudian…“Tunggu aku, Fasco!” Evora mengejar Fasco dari belakang dengan tangan penuh kantong belanjaan.“Kenapa aku yang harus nunggu? Kamu saja jalannya lambat,” sahut Fasco dengan santai.Evora menarik napa
“Grace, apa hari ini kamu sibuk?” Evora bertanya lewat telepon.“Iya, maafkan aku …, hari ini, aku ada jadwal meeting.”“Yah ….” Evora tampak kecewa. “Aku merasa sedikit bosan di rumah. Sebenarnya aku ingin ajak kamu berbelanja.”“Kalau aku nggak ada meeting hari ini, pasti udah langsung nemenin kamu.” Terjadi jeda sejenak sebelum Grace melanjutkan, “Tadi Fasco bilang dia mau keluar. Mungkin kamu mau ikut dengannya?"Evora terdiam sejenak, menimbang-nimbang. “Hmmm…”“Begini, Fasco ingin membeli jam tangan di mall, dan aku sekalian menitip untuk beli bahan makanan.”Evora menghela napas. Sepertinya hanya ini jalan terakhirnya. “Baiklah... mungkin keluar sebentar tidak buruk. Kabari saja kalau Fasco ingin menjemputku.”“Baik.” Grace kemudian menjauhkan telepon dan berteriak, “Fasco, jemput Evora sekarang!”“Dia sudah keluar dari apartemen, lima belas menit lagi mungkin akan sampai di rumahmu,” ujar Grace. “Cepat siap-siap!”“Oke, Grace.”Evora sudah siap dengan memakai celana jeans panj
Mobil Fortuner berwarna merah itu berhenti di depan kediaman Keluarga Mordie.“Setelah ini istirahatlah. Jika ada apa-apa bisa hubungi aku,” ucap Grace.“Iya, terima kasih banyak, Grace. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu,” sahut Evora.“Kita ini sahabat! Jadi jika kamu kenapa-kenapa, aku akan maju paling depan.” Grace tersenyum tulus seraya menepuk pundak Evora.Mereka berpelukan lalu Evora turun dari mobil. Ia melambaikan tangannya saat mobil Grace meninggalkan Kediaman Keluarga Mordie. Gadis itu lalu masuk setelah satpam membukakan pagar.“Nona Evora sudah pulang? Anda mau dibuatkan minuman apa?” Lala yang sedang menyiram tanaman di teras menyambut kepulangan Evora.“Buatkan teh hijau saja. Nanti antar ke kamarku.” jawab Evora, ia lalu memasuki ruang tamu.Lala menyadari raut wajah Evora yang berbeda. Nona Evora kenapa, ya? Ia bertanya-tanya dalam hati.Lizi yang sedang minum sambil bersantai di sofa tampak terkejut melihat Evora pulang. Bahkan ia menyemburkan air yang baru saja