"Nin, tunggu!"
Billy mencengkram tangan Nindy ketika kekasihnya itu terus berjalan tanpa memperdulikan panggilan darinya.
"Lepas!" Nindy menghempaskan tangan Billy dengan kuat dengan mata yang menyala.
Billy nampak terkejut melihat reaksi berlebih yang ditunjukkan oleh Nindy, terlebih saat melihat raut wajah dingin kekasihnya. Dia sempat tertegun, sebelum akhirnya menunduk dan menatap dengan heran ke arah gadis yang berstatus sebagai kekasihnya itu.
"Kenapa beberapa hari ini kamu menghindar dan nggak pernah merespon pesan atau panggilan dari aku?"
Nindy yang sejak tadi memalingkan wajahnya ke samping, akhirnya beralih menatap Billy dengan sorot mata dinginnya. "Bukannya kamu duluan yang menghindari aku sebelumnya?"
Kamu?
Billy mengerutkan keningnya.
Nindy tidak pernah sekali pun memanggilnya dengan kata itu. Biasanya, dia akan memanggilnya dengan sebutan "Kakak" atau "Kak" padanya.
"Aku nggak bermaksud menghindari kamu. Aku cuma lagi ada masalah aja waktu itu," terang Billy lembut. "Aku bakal jelasin sama kamu, tapi nggak di sini. Ikut aku ke apartemen, ya? Aku jelasin semuanya di sana," bujuk Billy dengan lembut.
"Aku nggak mau dengar penjelasan apa pun dari kamu," tolak Nindy dengan tegas.
Billy menautkan kedua alisnya melihat sikap aneh Nindy. Ini pertama kalinya, melihat kekasihnya itu marah dan bersikap ketus padanya.
"Nin, ada apa sebenarnya?" Billy masih berusaha bersikap lembut, meskipun kekasihnya itu bersikap ketus padanya.
"Aku mau kita putus," ucap Nindy spontan.
Netra Billy melebar setelah mendengar itu. "Kenapa tiba-tiba minta putus?"
Melihat Nindy bungkam, Billy semakin membungkuk, memegang kedua bahu Nindy dengan lembut, lalu berkata, "Aku minta maaf kalau selama beberapa hari ini kamu merasa diabaikan. Aku cuma butuh waktu sendiri. Aku janji bakal lebih merhatiin kamu mulai sekarang. Jangan pernah bilang putus lagi, aku nggak suka dengernya."
Nindy mendesis dengan wajah mencibir setelah mendengar ucapan Billy. Dia menunduk sejenak dengan senyuman mengejek, lalu mengangkat kepalanya setelah menghilangkan senyuman di wajahnya.
"Jangan pura-pura lagi. Aku sudah tahu semuanya Bill. Kamu sebenarnya udah nggak sabar lepas dari aku, kan?"
Billy tiba-tiba mengernyit. "Apa maksud kamu? Aku nggak ngerti yang kamu bicarain."
Nindy kembali mendesis dengan senyuman miring ketika melihat wajah bingung Billy. Entah dia berpura-pura tidak tahu atau dia memang tidak tahu maksud dari perkataannya.
"Aku tahu rahasia yang selama ini kamu sembunyikan dari aku."
Billy kembali mengernyit. "Rahasia apa maksud kamu? Tolong jelasin sama aku. Aku nggak ngerti maksud perkataan kamu, Nin."
"Billy, sejak awal, seharusnya aku nggak nerima kamu. Aku memang bodoh karena bisa tertipu sama sikap manis kamu."
Sorot mata Billy menjadi dingin seketika. "Aku nggak pernah nipu kamu."
"Penjelasan kamu udah nggak penting lagi buat aku. Sekarang, aku cuma mau kita putus."
Billy mengertakkan giginya usai mendengar itu. Bahkan sorot matanya berubah menjadi tajam. "Tidak semudah itu kamu bisa putus dari aku. Kasih tahu aku dulu alasan kau ingin mengakhiri hubungan kita."
Karena Billy terus mendesaknya, Nindy pun akhirnya menjadi semakin kesal. "Billy, bukannya kamu yang udah nggak sabar putus sama aku? Kenapa sekarang kamu nggak mau ngelepasin aku?"
"Aku nggak pernah bilang kayak gitu. Jangan cari-cari alasan untuk putus dari aku, Nin."
Ingin sekali Nindy berteriak dan menampar Billy untuk meluapkan kemarahannya saat ini. Namun, sekuat tenaga dia tahan karena tidak ingin membuat keributan di tempat umum.
"Kalau aku punya salah, tolong jelasin di mana letak kesalahanku supaya bisa aku perbaiki. Jangan langsung minta putus begini, Nin," ucap Billy lembut. Sejak tadi dia masih berusaha keras untuk menahan dirinya agar emosinya tidak terpancing.
"Kamu nggak salah apa-apa. Aku yang salah. nggak seharusnya aku percaya sama kamu."
Dia memang bodoh karena mengira kalau Billy mencintainya. Dia pikir sikap lembut Billy selama ini karena dia memang mencintainya, ternyata itu hanya sandiwara saja.
"Sayang, ada apa sebenarnya? Jangan bikin aku bingung."
Menghilang beberapa hari, tidak merespon semua pesan serta telponnya, dan sekarang tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka secara sepihak, tentu saja Billy merasa ada yang aneh dan janggal pada kekasihnya.
"Nggak ada apa-apa." Tidak sanggup bertatapan lebih lama dengan iris coklat Billy, Nindy akhirnya memalingkan wajahnya ke kiri. "Aku cuma ngerasa bosan sama kamu. Aku udah nggak cinta lagi sama kamu."
Rahang Billy seketika mengetat setelah mendengar itu. Dia memicingkan mata, lalu berkata penuh penekanan, "Apa udah ada orang lain di hati kamu, makanya kamu tiba-tiba minta putus?"
"Nggak ada."
Setelah mendengar sanggahan Nindy, Billy merasa kalau sikap Nindy semakin tidak wajar. Belakangan ini, mereka tidak pernah berselisih ataupun bertengkar. Nindy pun masih rajin menelpon dan mengirimkan pesan padanya.
Billy memang sempat melihat ada sedikit perubahan pada Nindy 3 hari yang lalu, tapi dia abaikan karena dia pikir kekasihnya itu mungkin sedang ada masalah denga keluarga ataupun temannya.
"Kalau gitu, kasih tahu aku, apa alasan kamu sebenarnya minta putus? Aku nggak percaya kalau kamu bilang bosan dan nggak cinta lagi sama aku."
"Aku memang udah nggak cinta sama kamu. Makanya, aku nggak mau ngelanjutin hubungan ini lagi. Lagian, dari awal aku pacaran sama kamu cuma buat iseng aja."
Aura di sekujur Billy mendadak menggelap, sorot matanya terlihat sangat tajam dan cengkraman di bahu Nindy semakin kuat usai mendengar itu. "Apa kamu bilang? Iseng?"
Dengan berani, Nindy mengangkat kepalanya dan berkata dengan tegas, "Iyaa. Dari awal, aku ga serius sama kamu. Aku cuma kasihan sama kamu, makanya aku terima kamu waktu itu."
Nindy mengerutkan wajah ketika merasakan cengkraman yang sangat kuat di bahunya.
"Nindy, berani sekali kamu mainin perasaan aku." Suara Billy terdengar berat dan penuh penekanan. Seperti sedang menahan sesuatu dalam dirinya agar tidak meledak.
Nindy menunduk, kemudian menarik salah satu sudut bibir dengan ekspresi menertawakan diri.
Sebenarnya, siapa mempermainkan siapa? Dari awal, Billy yang sudah mempermainkan dirinya, menipunya mentah-mentah dan membuatnya seperti orang bodoh hingga dia rela memberikan kesuciannya pada laki-laki itu.
"Terserah kamu mau berpikir apa tentang aku," ucap Nindy dengan wajah acuh tak acuh.
"Kalau nggak ada lagi yang mau kamu bicarain, aku permisi. Aku ada kelas sebentar lagi," ucap Nindy dengan wajah malas setelah menyingkirkan tangan Billy dari bahunya.
"Tunggu dulu," ucap Billy dengan raut wajah dinginnya. Dia langsung menghentikan Nindy ketika melihatnya sudah berbalik dan akan melangkah pergi.
"Apa lagi?" tanya Nindy dengan raut wajah malasnya.
"Apa kamu beneran mau mengakhiri hubungan kita?" Billy membalik tubuhnya dan melangkah ke hadapan Nindy sambil menunggu jawaban darinya.
Dengan wajah tenangnya, Nindy menjawab, "Ya."
"Gimana kalau aku nggak mau putus sama kamu?"
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C