Semenjak hari itu, Evita mulai membuka hati untuk Grady. Sikapnya kepada lelaki tersebut tidak lagi sengak, dan dia juga tidak lagi menghindari pertemuan dengannya. Memang, ketakutan itu masih ada. Ketakutan tentang Grady yang akan mengetahui masa lalu kelamnya. Namun, wanita itu semakin tak bisa membohongi hati, bahwa bersama Grady adalah mimpi yang menjadi kenyataan.Lalu, bagaimana kalau Grady tahu bahwa dia adalah Lady Amora? Setiap kali memikirkan hal itu, Evita seolah menghindari diskusi dengan diri sendiri.“Kita mau ke mana, sih?” tanya Evita saat Grady menjemput dirinya.“Jalan,” jawab lelaki itu.“Iya tahu. Maksudnya, kita mau jalan ke mana?” Evita memutar mata malas.“Sama kamu, aku nggak punya tujuan lain kecuali menikah,” jawab Grady dengan senyum nakal yang kontan mengundang cubitan dari wanita di sampingnya.Lelaki itu terbahak-bahak. “Ampun! Ampun! Hei, aku lagi nyetir,” katanya.Evita mencebik kesal. “Jadi kita mau ke mana?” ulangnya.“Mh … makan malam,” jawab Grady.
Ingin mundur, tetapi sudah kepalang tanggung. Orang-orang itu sudah terlanjur melihat dirinya datang bersama Grady. Jika dia pergi saat ini, apa nanti yang harus dia katakan pada Grady?Duduk melingkar mengitari meja, ada Arman, Gracy, dan … lelaki yang Evita temui di taman waktu itu, Lody. Mengapa bisa kebetulan seperti ini?Sungguh, ini adalah makan malam paling istimewa yang pernah Evita rasakan. Bukan hanya Evita yang terkejut. Ketiga orang itu pun tak kalah kaget melihat Evita hadir di sana. Menariknya, mereka bertiga memiliki alasan keterkejutan yang berbea-beda. Dan satu-satunya yang menjadi perhatian Evita adalah reaksi Arman ketika melihat dirinya.“Selamat malam,” sapa Grady dengan suara renyah seraya merengkuh pinggang Evita dan membimbing wanita cantik itu untuk mendekat ke arah meja makan.Tidak ada yang menyahut sapaan itu untuk beberapa waktu. Sampai akhirnya, Lody membalas sapaan tersebut dengan senyum lebar.“Kalian terlambat,” ucap Lody. “Ayo, silakan duduk,” lanjutn
Evita duduk dalam diam di sofa panjang menyaksikan beberapa pegawai butik yang sedang mempersiapkan baju pengantin untuknya. Selama beberapa hari terakhir, Evita disibukkan dengan segala urusan yang berhubungan dengan pernikahan. Cincin pernikahan juga sudah dipesan, sesuai dengan keinginannya. Masih terasa seperti mimpi. Evita tidak menyangka bahwa lelaki yang dia pikir tidak akan pernah dia miliki itu sebentar lagi akan resmi menjadi suaminya.“Kok bengong aja?” seloroh Grady seraya mendaratkan pantatnya di samping Evita.Wanita itu tersenyum. “Sudah selesai kerjaannya?” tanyanya.Grady menjawab pertanyaan itu dengan mengedikkan bahu dan menarik sudut bibir ke bawah.“Selesai nggak selesai ya bakal tetap aku tinggal,” jawabnya.“Lho, kok gitu?” Evita menggeser posisi duduknya. “Kerjaan kamu lebih penting dari fitting baju, Grad. Kalau nggak bisa fitting sekarang kan bisa ditunda besok.” ujarnya.“Kamu salah.” Grady menyandarkan punggung pada sofa sambil meluruskan kaki. Lantas, dia
Pernikahan harusnya menjadi momen yang sakral. Pernikahan harusnya menjadi acara keluarga yang hangat dan meriah. Namun, di antara riuh tamu undangan yang hadir di ruangan itu, Evita justru menjadi satu-satunya orang yang merasa kesepian. Wanita itu merasa sendirian di pesta pernikahannya sendiri. Evita merasa sedang berada di tempat yang salah, waktu yang salah, dan … keputusan yang salah. Tidak tahu apa, tetapi Evita merasa ada yang salah di sini.“Ini sudah terjadi,” gumam wanita itu seraya memutar-mutar cincin tanda pengikat hubungan dengan Grady yang melingkar di salah satu jari lentiknya. Di tengah keraguan, Evita mencoba menanamkan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.Wanita itu duduk menyendiri dengan tatapan hampa di sudut ruangan, menyaksikan tamu-tamu undangan yang sedang menikmati hidangan. Meski Grady mengatakan bahwa undangan itu hanya terbatas—seperti yang Evita minta, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa Evita merasa asing di sana. Evita merasa terasing di pesta
“Sejak kapan kamu ada di sini?”Pertanyaan itu membuat Evita sedikit terkejut. Ditambah dengan raut wajah Grady, wanita itu sempat berpikir kalau Grady tersinggung dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Terlihat perubahan ekspresi Evita, sesaat setelah pertanyaan itu dilontarkan kepadanya.“Maaf. Aku—”“Oh …nggak, maksudku … apa yang kamu lakukan di sini?” Grady menyadari perubahan ekspresi Evita dan langsung meralat pertanyaannya. Lelaki itu memasukkan ponsel ke saku lantas mendekat pada sang istri. Dia daratkan satu tangan di pinggang wanita itu, dan satu lagi dia gunakan untuk membelai wajah ayu istrinya. “Nyariin aku, ya?” tebaknya.Sebuah senyum terukir di bibir Evita.“Aku … sendirian di sana,” adu wanita itu.Alis Grady berkerut heran. Lelaki itu kemudian tersenyum dan mendengkus samar.“Masa iya kamu sendirian. Terus itu,” dagu Grady bergerak menunjuk tamu undangan yang sedang menikmati pesta, “kamu anggap mereka apa?”“Nggak kenal,” jawab Evita.Grady tertawa kecil lalu mengecu
“Kita … nggak pulang ke apartemen saja?” Evita memberanikan diri untuk bertanya.Grady melepas sabuk pengaman lantas tersenyum pada Evita.“Kamu itu sekarang istriku. Jadi kamu nggak akan tinggal di sana lagi, tapi di rumah ini,” jawab Grady. “Ayo,” ajak lelaki itu seraya menggerakkan kepalanya.Evita berusaha menyembunyikan pias yang dirasa. Wanita itu menarik napas dalam, kemudian membuka sabuk pengaman dan mengikuti Grady turun dari mobil.Grady merengkuh pinggang Evita, berjalan beriringan menuju teras.“Siapa aja yang tinggal di sini?” tanya wanita itu.“Kenapa, sih?” Grady memiringkan kepala, melihat wajah Evita yang terlihat tegang. “Tegang banget kayaknya,” seloroh lelaki itu sambil tersenyum kecil.“Ya … aku ….” Evita menggantung ucapannya, bingung harus menjawab apa.Lalu, Grady menarik tubuh wanita itu semakin rapat, seolah ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.“Semua tinggal di sini,” ujar lelaki itu. “Papa, Gracy, Bang Lody, dan Tania.”Memasuki rumah besar it
Perubahan sikap Evita ini jelas mengundang tanda tanya dalam benak Grady. Lelaki itu menatap cemas pada istrinya lalu bertanya, “Kenapa?”Evita beringsut, menutup bagian tubuhnya yang terbuka dengan selimut. Wanita itu mengambil sisi yang lain dari ranjang, lantas duduk memunggungi sang suami.Ketakutan itu datang lagi. Memori tentang malam nahas itu kembali menyergap ingatan. Evita takut kalau Grady akan tiba-tiba mengingat siapa dia yang sebenarnya.Grady menghela napas, kemudian berjalan ke sisi lain ranjang agar lebih nyaman bicara dengan istrinya. Berdiri di hadapan Evita, lelaki itu lantas memberi pelukan. Dia dekap kepala wanita itu, membenamkan sisi wajah Evita di perut telanjangnya.“Ada masalah? Kamu bisa cerita ke aku,” tanya Grady seraya membelai rambut wanita itu.Evita membiarkan air matanya terjatuh saat netranya memejam. Bagaimana caranya dia mengatakan bahwa bayangan percintaan mereka yang tak berhati itu sangat mengganggu pikiran?“Aku … belum siap,” jawab wanita itu
Hari-hari yang Evita lalui di rumah keluarga Ferdinata tidak terlalu buruk. Meski Gracy masih saja bersikap acuh tak acuh, namun kakak iparnya itu tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk terhadap Evita. Dan yang paling membuat Evita betah—selain Grady, adalah Tania. Bocah itu selalu menempel padanya, dan ini menjadi hiburan tersendiri bagi wanita itu.“Tania kenapa nggak mau sekolah?” tanya Evita pada satu hari.Grady pernah bercerita kalau Gracy pernah memasukkan Tania ke lembaga pendidikan prasekolah. Namun, hanya bertahan satu minggu dan Tania tidak mau lagi datang ke sana. Anak itu tidak pernah mau bicara, ketika ditanya tentang apa yang membuatnya tidak mau datang lagi. Bahkan, Gracy sempat mendatangi lembaga pendidikan tersebut untuk mencari tahu. Namun, dia tetap tidak menemukan jawaban.Tahun ini, Tania akan berusia lima tahun. Keluarga khawatir jika keengganan Tania untuk sekolah akan berkelanjutan. Oleh sebab itu, keluarga melakukan beberapa upaya termasuk membawa Tania ke