Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
Wajah Grady tampak merah padam saat melihat papan kayu berwarna cokelat tua itu. Alkohol benar-benar telah membuatnya kehilangan akal sehat."Keluar kamu, Amora!" teriaknya lantang seraya mendobrak pintu.Tidak berhasil dengan dobrakan pertama, lelaki itu mencobanya untuk yang kedua."Kamu pikir bisa sembunyi dariku, hah?!" murka Grady sebelum mendobrak pintu itu lagi.Pintu terbuka dengan keras. Papan kayu itu nyaris hancur menghantam dinding, hingga meja yang digunakan untuk mengganjalnya ikut terbanting. Grady berdiri di ambang pintu dengan netra sayu yang sarat amarah, memindai seluruh ruangan."AMORA!" Suara itu menggelegar, membuat dinding di sekitarnya ikut bergetar.Entakan pantofel menggema kuat, ketika Grady memasuki ruangan. Membuat wanita itu semakin menggigil ketakutan."Bukan aku pembunuhnya. Bukan aku," lirih wanita yang sedang bersembunyi di dalam lemari, memeluk lutut seraya merapalkan afirmasi untuk diri sendiri."Amora ...." Grady menyenandungkan nama si wanita. Ter
Hanya tangis yang menjadi teman Evita, saat lelaki yang dia cintai itu mencumbunya dengan kasar. Sama sekali tidak ada kelembutan, Grady menggagahinya dengan penuh amarah. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya, Grady mengikat tangan Evita pada tiang ranjang dengan ikat pinggang. Sementara lelaki itu benar-benar memperlakukannya seperti wanita hina untuk memuaskan nafsunya. "Eergh ...!" Grady menggeram dengan gerakan yang semakin cepat mengoyak raga Evita. Wajahnya merah padam, menjelang ledakan gairah di puncak kenikmatan. Hingga akhirnya lelaki itu melenguh panjang dengan tubuh yang mengejang. Napasnya terdengar berat, saat tekanan di pangkal paha Evita terasa semakin kuat.Otak Evita terasa beku. Tubuhnya pun lunglai dan tak ada perlawanan lagi atas apa yang dilakukan Grady. Dia hanya bisa pasrah, ketika lelaki itu kembali mencumbunya. Mungkin Grady merasa tidak ada lagi perlawanan yang Evita lakukan, sehingga lelaki itu melepas ikatan tangannya. Sayang, tub
Perlakuan tidak menyenangkan yang diterima Evita selama bekerja di Neo Creative memang sudah menjadi makanan sehari-hari. Hinaan, cibiran, dan tatapan merendahkan, sudah sering Evita dapatkan. Entah apa yang membuat mereka begitu tidak menyukai Evita, karena wanita itu merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang neko-neko. Namun, baru kali ini ada pegawai yang berani melakukan tindakan di luar batas. Lalu, tiba-tiba saja seseorang muncul menyelamatkan dirinya. Evita merasa begitu lega, namun saat melihat sosok itu, mendadak wajah Evita menjadi pucat. 'Grady?' Evita hanya dapat menyebut nama lelaki itu di dalam hati.Sekujur tubuh Evita terasa membeku. Jantung di dalam dadanya mengentak dengan kuat, hingga rasanya seperti akan melompat. Evita mendengar semuanya, ketika lelaki itu menegaskan siapa dia dan apa saja yang dapat dilakukannya terhadap Willy. Buru-buru wanita itu menundukkan kepala, setengah memutar badan agar Grady tidak melihat wajahnya.Sudah satu tahun, dan Evita pun tel