Grady berjalan ke arah Evita sambil membawa dua dasi di tangan.“Bagusan yang mana? Hitam? Biru?” tanya lelaki itu seraya menunjukkan dua benda di tangannya pada Evita.“Yang biru,” jawab Evita sedikit lesu.Grady melemaskan bahu sambil membuang napas dengan keras. Dia turunkan kedua tangan lalu duduk di samping istrinya.“Kamu memang tetap cantik biarpun sedang cemberut seperti itu, tapi kamu akan tambah cantik lagi kalau bibir ini tersenyum,” ujar Grady seraya menarik kedua ujung bibir Evita ke atas dengan jemarinya.Evita memaksakan senyum dengan malas. Grady memintanya untuk menemani lelaki itu dalam jamuan makan malam bisnis bersama beberapa rekan kerja. Andai Grady tahu bahwa segala hal yang berhubungan dengan publik, membuat wanita itu tidak nyaman. Bukan karena anti sosial, melainkan karena aib yang tak terhapuskan. Evita tidak tahu siapa saja yang akan ditemuinya di sana nanti. Masih dengan ketakutan yang sama, bahwa salah satu yang hadir dalam jamuan itu adalah lelaki yang p
Wajah Evita memucat. Jantung di dalam dada wanita itu berdentum ribut tak keruan. Saking kuatnya entakan, Evita sampai takut menyentuh meja. Khawatir tangannya yang tremor akan membuat benda-benda di atas meja turut bergetar.“Kukira kamu tidak akan datang,” seloroh salah satu dari mereka.Lody terkekeh renyah.“Kan aku sudah bilang, mau bawain kalian arsiteknya sekalian,” balas Lody. Lelaki itu lantas berpaling ke arah laki-laki yang datang bersamanya. “Ini Jonathan, arsitek yang akan menangani pembangunan Paradise. Jadi kalian bisa request langsung mau dibuatkan penginapan yang seperti apa,” lanjut Lody.Lelaki bernama Jonathan itu memperkenalkan diri. Setelahnya, dia dan Lody segera bergabung dengan yang lain di meja makan. Sialnya, kursi kosong yang tersisa adalah di samping Evita dan satu lagi di seberang meja, sebelah kiri lelaki berkacamata. Posisi yang sangat untuk mengintimidasi.Evita sangat ingin lari dari sana, terlebih ketika Lody mendaratkan diri di kursi yang ada di sam
Setelah puas menangis di dalam taksi, Evita meminta si sopir untuk mengantarnya ke sebuah alamat. Bukan ke kediaman keluarga Ferdinata, melainkan ke alamat kos kedua temannya, Ranti dan Dewi.Turun di pintu masuk gang, Evita berjalan kaki menuju tempat kos Ranti dan Dewi. Wanita itu berjalan gontai, bahkan hanya menanggapi sekadarnya saja beberapa orang yang menyapa. Malam memang belum terlalu larut, masih banyak warga yang berseliweran di sana. Namun, saat tiba di depan kamar kos Ranti dan Dewi, Evita mendapati lampu kedua kamar tersebut padam."Apa mereka belum pulang?" gumamnya."Belum pada pulang, Mbak!" seru tetangga kos yang letaknya berseberangan dengan kamar Ranti dan Dewi.Evita membalik badan."Oh, belum ya, Bu?" ucapnya pada tetangga kos itu."Belum, Mbak," sahutnya lagi.Evita mengangguk, kemudian tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih karena sudah diberi informasi.Melemaskan bahu sembari membuang napas keras melalui mulut, Evita lantas melepas kedua heels yang memb
"Pak Grady?" cicit Ranti.Wanita muda itu meneliti penampilan Grady. Jas yang sudah tidak terkancing dan dasi yang dilonggarkan menggantung di leher. Dugaan Ranti, bosnya ini tadi pergi bersama Evita ke sebuah acara."Apa Evita di sini?" tanya Grady to the point.Ranti membasahi bibir sambil mengerutkan alis. Bukankah dia tadi sudah menyuruh Evita untuk memberitahu suaminya? Lantas, mengapa sekarang Grady bertanya seperti itu padanya?"Apa dia ada di dalam?" tanya Grady sekali lagi.Ranti tergagap."Umh ... anu, Pak. Emh ..." Wanita itu tersenyum bodoh sambil menggaruk kepala. Bola matanya bergulir liar, menghindari objek di hadapannya.Jawaban itu mengundang hela napas lelah, kemudian Grady memutar mata jengah. Pada saat itu, tak sengaja netranya menangkap heels yang mirip dengan milik istrinya di rak sepatu. Alisnya berkerut, lantas lelaki itu membungkuk. Memungut heels tersebut dan memperhatikannya baik-baik. Setelah benar-benar yakin, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Rant
Sempat tercengang beberapa waktu setelah mendengar pertanyaan Evita, Grady lantas mendengkus pelan. Lelaki itu tertawa kecil lalu menyentuh dahi istrinya, yang langsung dihindari oleh Evita.“Kamu tadi nggak jatuh di toilet, kan? Udah tiba-tiba ngilang, eh sekarang nanya yang aneh-aneh,” tanya Grady setengah bercanda.Evita menarik napas dalam sambil menundukkan kepala.“Apa aku terlihat sedang bercanda di sini?” tanya wanita itu dengan suara lirih.Seketika, tawa Grady berhenti. Lelaki itu kembali memasang raut serius dan menggeser posisi duduknya menjadi lebih serong ke arah sang istri.“Hei ….” Grady meraih tangan Evita lalu menggenggamnya. Sementara satu tangannya menyelipkan anak rambut wanita itu ke belakang telinga. “Sori,” ucapnya lembut.Sudut bibir Evita terangkat. Wanita itu memaksakan sebuah senyum di tengah rasa sesak yang mendera batinnya.“Bukan kamu yang harus minta maaf, Grad, tapi aku,” ucap Evita. “Aku memang nggak pantas jadi istri kamu. Aku terlalu kotor, bahkan s
“Nah, ini dia sudah datang. Baru juga diomongin,” seloroh Lody.“Ngomongin apa?” tanya Grady seraya duduk di kursinya.“Paradise,” jawab Lody.“Oh,” sahut Grady singkat, seperti tak tertarik untuk membahas masalah itu.Dia lantas tersenyum pada Evita yang sedang mengambilkan sarapan untuknya. “Banyakin sayurnya,” titah lelaki itu.Patuh, Evita menyendok tumisan brokoli dan udang dari mangkok lalu meletakkannya di piring Grady. Dia juga menambahkan cumi goreng tepung untuk melengkapi menu sarapan sang suami.“Makasih,” ucap Grady ketika mendapatkan piringnya.“Jadi, mulai kapan kamu akan berangkat?” tanya Arman.“Lusa,” jawab Grady santai sembari menyendok makanan dari piring lalu memasukkannya ke mulut.“Yakin, bakal tahan nggak pulang dua bulan?” ledek Lody sambil menatap penuh arti pada Evita.Sontak tangan Evita yang sedang mengambil lauk berhenti bergerak. Wanita itu berpaling pada Grady yang sempat melirik padanya, tapi buru-buru menurunkan pandangan dan sok sibuk dengan makanann
Beberapa hari selepas Grady pergi ke luar kota, keadaan masih aman terkendali. Sepertinya pekerjaan Lody di kantor juga sedang banyak, sehingga Evita jarang bertatap muka dengan lelaki itu di rumah. Namun, ini tak lantas membuat Evita tenang. Masih banyak waktu yang tersisa untuk menggenapi dua bulan kepergian Grady. Maka selama itu pula, tinggal satu atap dengan Lody masih menjadi ancaman serius untuknya.Di saat sedang menghabiskan waktu membaca buku, tiba-tiba saja Evita teringat dengan ucapan ayah mertuanya. Lelaki paruh baya itu pernah menyarankannya untuk melanjutkan pendidikan. Dan sepertinya itu adalah ide yang cukup bagus untuk menghindari Lody di rumah. Dengan kesibukan yang dia miliki, paling tidak bisa meminimalisir pertemuannya dengan predator berbahaya itu.Meninggalkan bukunya, Evita beralih ke layar ponsel dan mulai melakukan penelusuran yang dibutuhkannya. Wanita itu mencari referensi beberapa Universitas yang sekiranya cocok untuk dirinya.“Mencari tempat belajar?” s
Rasa perih yang melilit di ulu hati, memaksa Evita untuk beranjak dari tempat tidur. Wanita itu mendesis lirih sambil menekan perut bagian atas. Belakangan ini, dia terlalu fokus mencari informasi tentang beberapa perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikan, hingga seringkali melewatkan waktu makan.Jam di layar ponsel masih menunjukkan pukul 1 dini hari. Waktu yang masih cukup panjang untuk beristirahat, tetapi dengan rasa sakit seperti ini, Evita tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Wanita itu pun akhirnya memutuskan untuk mencari obat maag di kotak persediaan. Sayang, dia tidak memilikinya di kamar ini, sehingga dia harus turun ke lantai bawah untuk mencarinya.Cahaya temaram dari lampu-lampu sudut menjadi penerang ketika wanita itu menuruni anak tangga. Kotak persediaan obat itu ada di dapur, dan dia sedang menuju ke sana.Evita mengambil kotak tersebut dan membawanya ke meja bar, karena di sana ada lampu duduk yang bisa dia gunakan sebagai penerangan tanpa harus menyalakan lam