“Lah, itu motor kamu, kan?” Dewi yang baru keluar dari kamar untuk menjemur handuk, juga terkejut melihat sepeda motor Evita yang sudah ada di depan kamar.Evita memutar kepala. Bingung harus menjawab bagaimana, diam adalah solusi yang paling aman.“Eh, iya. Udah parkir aja di situ. Katanya mogok, terus yang bawa ke sini siapa?” Ranti yang sudah rapi pun ikut berkomentar.“Oh … ini … tadi malam aku coba cari bengkel online. Daripada nebeng sama kamu, kan,” jawab Evita sambil tersenyum bodoh.“Bengkel online?” Dewi dan Ranti sama-sama mengerutkan wajah.“I-iya. Ada kok yang pasang iklan di internet,” kata Evita lagi.“Terus kamu suruh bawa ke sini gitu?” telisik Ranti.Mau tidak mau, Evita megangguk untuk menguatkan kebohongannya.‘Ampuni aku, Tuhan. Aku banyak sekali berbohong akhir-akhir ini,’ batin wanita itu.“Ya udah, yuk, berangkat. Telat absen potong gaji lho,” ajak Evita.“Eh, bentar-bentar. Aku ambil tas dulu,” kata Dewi yang langsung berlari masuk ke kamar.Ketiga office girl
Brak!Pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Pelakunya bahkan sampai berjingkat dengan mulut menganga, saking terkejut dengan hasil perbuatannya. Kalau sampai pintu itu rusak, bisa habis gajinya dipotong untuk biaya perbaikan. Ruangan itu dilengkapi dengan CCTV, jadi tidak akan sulit untuk mencari tahu siapa pelaku perusakannya. Meskipun dia tidak sengaja, perusahaan tidak akan mau tahu.“Ah, sial!” rutuk Evita.Setelah keluar dari keterkejutan, wanita itu menggulir pandangannya menyapu seiri ruangan. Ekspresi di wajahnya pun langsung berubah, dengan alis yang berkerut dalam.“Kok kosong?” gumamnya.Tidak ada satu manusia pun yang dia lihat di ruangan itu. Hening, bersih, dan rapi. Aroma parfum Grady yang tertinggal di sana, membuat Evita yakin jika lelaki itu belum lama meninggalkan ruangan.“Yah … telat,” ujarnya kecewa.Dengan berat hati, Evita menutup kembali ruangan tersebut lalu memutar badan. Berjalan malas menyusuri koridor yang sepi dengan rasa kecewa yang membuatnya semakin
“Grady! Turunin aku!” Evita menahan suaranya karena khawatir akan menarik perhatian orang-orang.“Diam dan jangan berontak. Kamu mau, nanti warga pada bangun terus mengira aku sedang menculik kamu?” Grady mengangkat kedua alis. “Ini sudah hampir tengah malam, Ev. Orang-orang sudah pada tidur.”Wanita itu mengedar pandangan ke sekitar, dan benar saja gang ini sudah sepi. Ada beberapa orang yang masih tampak duduk di depan kamar kos, tapi sebagian besar sudah mematikan lampu dan mengunci pintu. Evita memutar kepala, menyembunyikan wajah di dada Grady, yang sialnya aroma parfum lelaki itu membuat dia semakin betah berlama-lama dalam posisi begitu.“Tapi aku bisa jalan sendiri,” kata Evita, seraya memandang wajah Grady.“Dan aku mau menggendongmu sampai ke kosan,” balas lelaki itu. “Lagian … coba lihat pakaian kamu. Celana kamu penjang sebelah, baret-baret lagi, jalannya pincang. Aku mana tega biarin kamu jalan sendiri?” imbuhnya.Evita mendengkus pelan dengan raut gusar. Orang-orang bisa
“Evita! Evita!” panggilan itu sejurus dengan gedoran pintu yang begitu keras.Kaget dengan suara berisik itu, Evita yang masih terlelap pun langsung membuka mata. Dan, seketika itu rasa nyeri menyerang kepala.“Ssh ... aduh,” desisnya sambil memegang kepala. “Apaan sih itu anak,” ujarnya sambil menahan rasa sakit yang menusuk.“Ev, buka pintunya! Aku tahu kamu masih hidup!” teriak Ranti sambil menggedor pintu.Netra Evita menyipit, menoleh ke arah jendela yang manampakkan siluet seseorang tengah mengintip ke dalam. Evita yakin orang itu adalah Dewi. Dia lantas menyingkap selimut, berniat untuk membukakan pintu. Akan tetapi, ketika kakinya menekuk, wanita itu kembali terduduk sambil mengaduh kesakitan. Lututnya terasa kaku, dan terasa lebih nyeri dibandingkan tadi malam.“Sakit banget, sih,” keluhnya.Mengantisipasi Ranti yang mungkin akan menjebol pintu kamarnya, Evita memaksakan diri untuk bangkit. Pelan-pelan, dia angkat badan tanpa menekuk kakinya yang terluka. Setelah berdiri, bar
Selama beberapa waktu, Evita mematung. Pandangannya tak lepas dari sosok lelaki yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. Sampai dia tersadar bahwa lelaki ini adalah lelaki yang sama dengan yang dia tampar semalam. Evita mundur satu langkah, lalu menarik daun pintu untuk menutupnya.“Tunggu!” cegah Grady seraya menahan papan kayu tersebut. “Jangan tutup pintunya,” ujar lelaki itu.Evita memalingkan wajah sambil membasahi bibir. “Mau apa lagi kamu ke sini?” tanyanya.Kejadian semalam membuat dada Evita terasa sesak. Wanita itu enggan melihat pada Grady karena dia tidak ingin lelaki itu melihat kelemahannya. Mati-matian Evita menahan air mata agar tidak tumpah, karena dia tidak ingin terlihat lemah.“Aku cuma ingin memastikan kalau kamu sudah minum obat. Aku juga harus memastikan kalau sebelum minum obat, kamu sudah makan,” jawab lelaki itu seraya mengangkat kantong kresek di tangannya.“Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kamu nggak perlu repot-repot seperti ini,” balas Evita.Grady mel
Kalimat itu memang terucap dari mulut Evita sendiri, namun rasanya sungguh menyayat hati. Dia merasa seperti baru saja menelan pecahan kaca yang menggores setiap tempat yang dilewatinya.“Aku tidak mencintaimu.”Itu adalah kebohongan besar yang untuk melakukannya saja membutuhkan energi luar biasa banyak. Setelah berhasil melontarkan kalimat itu dan mengusir Grady dari kamar kosnya, Evita merasa tubuhnya begitu lemas. Wanita itu menangis sejadinya, meluapkan rasa sakit yang menggerogoti jiwa.Evita pikir, setelah dia mengusir Grady, lelaki itu akan berhenti melakukan hal yang semakin membuatnya terluka. Setelah dua hari tidak masuk kerja, akhirnya Evita mulai beraktivitas seperti biasa. Meski tak memungkiri bahwa kakinya masih terasa nyeri. Namun, Evita yakin dia dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.“Kakimu masih sakit, lho, Ev. Yakin nggak mau istirahat sehari lagi?” tanya Ranti dengan raut khawatir.Evita tersenyum lalu membonceng motor Ranti.“Bosan diam saja di kosan. Nggak a
Kamar berukuran 3x4 meter itu hanya tersisa ruang kosong yang dapat dia gunakan untuk memarkir motor ketika malam. Memang lebih rapi dan bersih, tetapi juga terkesan penuh jika harus digunakan untuk memarkir motor miliknya. Dan kini, Dewi dan Ranti yang sedang menempati ruang kosong itu, semakin terlihat mirip seperti dua tugu lilin yang berdiri kokoh dengan simbol api di atas kepala mereka.“Jangan bilang kalau yang ngasih semua ini adalah Pak Grady, bos kita,” kata Dewi dengan mata menyipit curiga.Duduk di hadapan Ranti dan Dewi, Evita tampak seperti seorang pesakitan yang sedang diinterogasi. Lihat saja dua wanita yang berdiri di hadapannya sambil bersedekap itu! Tatapan mereka mengandung tuduhan tentang affair antara Evita dan Grady.“Jangan-jangan yang ngantarin kamu pulang pas habis kecelakaan kemarin juga Pak Grady,” terka Dewi kemudian.“Ada apa antara kamu sama Pak Grady?” tanya Ranti to the point.Evita mengembuskan napas keras kemudian menutup wajah dengan telapak tangan.
“Ev, kemarin kamu apain sih Pak Grady? Sudah tiga hari lho doi nggak datang ke kantor,” tanya Dewi yang sedang menumpang nonton televisi di kamar Evita.Sejak kejadian waktu itu, tidak ada yang berani bertanya pada Evita tentang apa saja yang mereka bicarakan di dalam ruangan. Karena Evita menjadi lebih tertutup dan seperti tidak tertarik untuk membagi cerita. Wanita itu lebih sering menyendiri, dan tidak ada malam yang dia lewati tanpa air mata.“Aku tampar,” jawab Evita seraya memasukkan benang pada lubang jarum, untuk menjahit seragamnya yang sobek.“Hah?!” Dewi memutar kepala cepat dengan kedua mata melotot. “Serius kamu tampar bos kita?” tanyanya tak percaya.“Ya kali aku bohong,” seloroh Evita dengan pandangan terfokus pada lubang jarum.“Wah … ini kalau Ranti dengar, aku yakin dia langsung salto kanan, kiri, depan, belakang.” Dewi menggeleng kepala. “Parah kamu mah,” ujar wanita itu yang tak dipedulikan oleh Evita.Setelah tiga hari, suasana hati Evita sudah terasa lebih baik.