—POV SerenaSiang ini aku sedang berbelanja kebutuhan dapur di minimarket terdekat. Selama tinggal di rumah ibu, aku tak ingin merepotkan siapa pun. Makan dan segalanya adalah tanggung jawabku. Ibu hanya perlu menerima aku di rumahnya. Namun, dua hari sudah berlalu ibu belum juga bertegur sapa denganku. Ia tak menanyakan apa masalah kami dan kenapa anaknya memutuskan pulang ke rumah. Ibu terus mendiamiku.Melupakan masalah yang ada, aku bergegas mendorong troli belanjaan menuju rak buah-buahan. Di sana buahnya terlihat segar. Aku mengambil beberapa buah kesukaan ibu dan menaruhnya di troli. Saat hendak mengambil apple, tiba-tiba lenganku menyenggol seseorang. Aku terkejut bukan main. Itu Bayu. Kalian masih ingat Bayu kan? Bayu yang sempat memberikan cokelat kepada Anin. "Serena?" ucap Bayu seakan tak percaya kami bisa bertemu di sini. Aku tersenyum kikuk ke arahnya. Tak langsung menjawab, hanya tersenyum saja. Sampai pada akhirnya Bayu kembali membuka suara. "Apa kabar, Ser?" ta
—POV Samuel"Saya rasa Bu Kinan belum bisa pulang dalam waktu dekat, Pak." Kedua pundakku seketika melemah. Mungkin hal itu terjadi karena Kinan sempat tenggelam dan mengakibatkan dokter Fahmi khawatir akan kondisi yang menimpa pasiennya. "Mau bagaimanapun, Bu Kinan salah satu pasien dengan penyakit depresi ringan yang tak bisa kami lepas begitu saja. Saya sebagai dokter yang menanganinya merasa belum cukup untuk memulangkan Bu Kinan. Beliau masih harus melakukan proses pemulihan, mengingat bagaimana kemarin beliau mendapat kecelakaan kecil. Saya takut psikisnya kembali terganggu, Pak Samuel," jelas dokter Fahmi. Sontak aku mengusap kasar wajahku sendiri. Bulan lalu, ada harapan Kinan bisa segera pulang dan kembali beraktivitas seperti biasa di luar rumah sakit. Namun, rupanya keadaan perempuan itu tak sepenuhnya membaik. Karena sampai detik ini, ia belum juga diberi izin pulang ke rumah. "Berapa lama Kinan harus dirawat lagi, Dok?" tanyaku. "Kemungkinan satu atau tiga bulanan la
"Kembalilah Serena, pulang ke rumah suamimu. Ibu selalu dukung apa pun keputusan kamu," ujar Ibu. Ibu mendekatiku, lalu memeluk erat tubuhku. Mendapat pelukan itu justru air mataku luruh dalam hitungan detik, tangisku pecah. Aku menangis di pelukan Ibu. Ini hal menyakitkan yang pernah aku terima. "Kamu kuat." Ibu melepaskan pelukan itu, lalu mengusap air mataku. "Saat kamu bilang dan kamu yakin, ingin menikah dengan Samuel. Ibu tak bisa mencegah itu, walau Ibu tau badai dalam rumah tangga pasti selalu ada. Ibu percaya sama kamu. Kamu pasti bisa melewati ini semua."Aku mengangguk setuju. Walau dengan napas tercekat sekalipun, sakit yang tak ada habisnya. Aku harus berdiri tegak. Bukan melawan badainya, tapi melewatinya. Ibu menepuk pundakku, lagi lagi senyum itu terpancar dari bibirnya. Ibu menyemangati diriku lewat senyuman. Aku tak bisa apa-apa, kepergian Ibu kembali meruntuhkan segalanya. "Kenzo! Gelasnya jangan dibawa lari, nanti jat–toh," ucap Mbak Yuni langsung memelankan s
"Halo, kenapa, Ren?"Itu, Reno. Barusan dia meneleponku. Untung aku sudah di dalam kamar. Di bawah sana, aku melihat Anin dan Kenzo sedang bermain mobil-mobilan dengan boneka sebagai penumpangnya. "Saya mau melaporkan bahwa Pak Samuel kembali mengunjungi Bu Kinan di jam makan siang, Bu. Maaf karena saya telat kasih tau Bu Serena," jelas Reno. "Gak apa-apa, Ren. Sekarang suami saya di mana, sudah kembali ke kantor?" "Sudah, Bu. Pak Samuel ada di ruangannya," balas Reno dari seberang sana. Aku menghembuskan napas kasar. Informasi dari Reno tak begitu membuat aku sakit. Aku bahkan biasa saja. Seolah sakit itu sudah biasa ku terima. Sekarang, aku mulai menjalankannya dengan lapang hati. Meski tak mudah, aku harus terbiasa membebaskan masalah yang ada. Karena semuanya malah menjadi beban pikiran ketika dipikirkan lebih dalam. "Reno, soal kamu yang sering kasih saya informasi kaya gini, suami saya enggak tau kan?" tanyaku. Entah kenapa pertanyaan itu tiba-tiba terbesit di kepala. Aku
Pukul tujuh malam. "Kita di mana, Ma?" tanya Anin kebingungan. Aku mengusap rambut Anin. "Anin mau ketemu Papa kan? Di sini kita bisa ketemu sama Papa."Pasalnya, kini kami sudah berada di depan unit apartemen milik Bella dan di sampingnya adalah apartemen Mas Samuel. Setelah dari rumah Ibu, kami memang sempat mandi dan berganti pakaian, lalu aku mengajak Anin ke sini. Berniat melancarkan aksi dengan membawa anak itu sebagai umpannya. Tunggu, aku tak bermaksud jahat. Sama sekali tidak. "Papa ada di sini, Ma?"Aku mengangguk. Lalu mengabari Bella bahwa aku sudah di depan apartemennya, sebab sedari tadi pintu tersebut tak kunjung dibuka. "Sorry gue... " Bella menatapku seolah meminta penjelasan. "Hai, Anin?" sapanya. Anin yang disapa seperti itu langsung tersenyum, walau terlihat raut muka kebingungan dari wajahnya. "Ah, masuk-masuk. Sorry tadi gue dari toilet." Aku pun menuntun Anin masuk ke dalam. Bella dengan cepat menyenggol lenganku. Ia seakan bertanya, kenapa Anin bisa iku
—Apartemen, POV Samuel. Aku memutuskan pulang ke apartemen. Hari ini lelah sekali. Sesampainya di dalam, hal yang pertama kulakukan ialah melonggarkan dasi. Rasanya sesak seharian memakai dasi apalagi mengingat project di Singapore jauh dari kata baik-baik saja. Dibarengi dengan itu, aku juga melepas jam tangan Rolex lalu meletakkannya di meja. Satu per satu kancing kemeja kubuka, sampai pada akhirnya kemeja itu bisa kulepas dengan lega. Juga melepas celana panjang tersebut, hingga tersisa boxer pendek. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan membiarkan guyuran shower membasahi seluruh tubuhku. Rasanya percikan air mandi lebih menenangkan dibanding notifikasi surat pemutusan kerja dari pihak Angela Clarissa. Ku pejamkan mata sebentar, menikmati dinginnya air yang mencoba menusuk ke dalam kulit putihku. Lama menghabiskan waktu di kamar mandi, akhirnya aku bergegas dan memakai baju santai dengan setelan kaos dan celana pendek. Aku pun mengambil ponsel, mencari nama Serena dan mengetik s
—POV Serena"Tolong lepaskan Mbak Kinan. Demi aku, Mas."Aku memintanya melepaskan Mbak Kinan, sebab aku sudah tak sanggup lagi. Perkataan Ibu soal mereka berciuman terus menghantui. Aku tak tahu sebab-akibatnya sampai ciuman itu terjadi, Ibu juga tak memberitahuku lebih lanjut. Karena bisa kutebak, Ibu pasti langsung pergi setelah melihat itu semua. "Serena, kita bisa lupain sejenak permasalahan ini?" Mas Samuel berkacak pinggang, lalu meremas rambutnya sendiri. Pria itu tampak frustrasi. Ia bahkan membalas tanpa menatap kedua bola mataku. "Saya enggak tau. Saya bingung, Serena. Saya tau ini salah. Yang saya lakuin jelas menyakiti kamu. Tapi untuk melepas Kinan setelah apa yang sudah saya perjuangan selama ini demi kesembuhannya, itu sulit. Saya harus ngeliat Kinan sembuh, supaya saya bisa lega melepas Anin. Semuanya masih tentang Anin, enggak pernah berubah.""Enggak, Mas. Kamu salah. Justru yang aku liat sekarang bukan karena Anin, tapi karena perempuan itu Mbak Kinan." "Kamu t
Seusai menjemput Anin. "Anin, pokoknya bilang sama Papa kalau Anin pengen tidur bertiga sama Mama dan Papa, ya? Kalau Papa nyuruh Anin tidur di kamar sebelah, Anin jangan mau, oke?" ucapku mewanti-wanti Anin. Anak itu mengangguk setuju tanpa protes sedikitpun. Lantas aku tersenyum senang. Meski Anin anak yang penurut, tak jarang ia juga banyak mau dan memprotes apa yang ia tak suka. Aku lega, sebab kali ini Anin gampang diatur. Kutekan bel apartemen Mas Samuel. Lama tak ada jawaban dari dalam. Aku melirik ke arah di mana Anin terus menautkan jari-jemarinya dengan tanganku. Ia tak bisa diam seakan ingin cepat masuk ke dalam. "Tadi ngapain aja di apartemen Tante Bella?" tanyaku menunggu pintu terbuka. Belum sempat Anin menjawab, pintu sudah terbuka. Mas Samuel muncul dari balik pintu dan Anin yang melihat itu langsung memeluk sang Papa. Mas Samuel pun dengan gerak cepat mensejajarkan tubuhnya dengan Anin, lalu memeluk tubuh kecil anaknya. "Papa gendong Anin!" pinta anak itu. Tanp