Pukul dua belas siang. "Pak Samuel pergi lagi?" tanyaku saat melihat ruangan milik Mas Samuel, suamiku kosong. Reno selaku sekretaris suamiku langsung mengangguk lirih. "Betul, Bu. Pak Samuel pergi sebelum jam istirahat."Reno membuka Ipad-nya lalu menunjukkan sesuatu kepadaku. "Ini foto saat saya mengantarkan Pak Samuel mengunjungi Bu Kinan. Mereka makan siang bersama." Aku menatap miris ke tempat makan yang berada di atas meja kerja Mas Samuel. Ini ketiga kalinya masakanku seolah tak ada harga dirinya. "Apa perlu saya telepon Pak Samuel bahwa Bu Serena menunggu di kantor?" tanya Reno seakan mengerti perasaanku. Aku menggeleng keras. "Enggak. Gak perlu, Reno. Tolong jangan bilang ke Pak Samuel kalau hari ini saya datang ke kantor.""Baik, Bu.""Oh, ya, kamu sudah makan? Kalau belum, bekal ini buat kamu." Aku menyodorkan rantang tersebut dan Reno menerimanya dengan baik. "Terima kasih, Bu."Setelah tak ada yang bisa kulakukan lagi di kantor, aku memutuskan pergi dan pulang ke ru
“Tolong jawab aku, Mas,” lirihku menahan sesak di dalam sana. Pria itu tampak menghela napas sebentar. “Atas dasar apa saya mengkhianati pernikahan kita? Saya memang ke rumah sakit jenguk Kinan, tapi gak seperti yang kamu bayangkan. Alasan kenapa saya gak jujur sama kamu karena saya tau itu akan menyakiti kamu, Serena. Saya tau ketakutan kamu sangat besar.”Aku menatapnya tak percaya. “Nyakitin aku? Justru kamu yang gak jujur kaya gini lebih nyakitin perasaan aku, Mas!” Mas Samuel memegang kedua tanganku. “Saya gak mungkin mengkhianati pernikahan kita, Serena. Kamu jauh lebih berharga dibanding Kinan.”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. “Selama ini, kesembuhan Kinan selalu jadi yang paling saya harapkan. Karena Anin. Saya melakukan ini semua demi Anin. Mau bagaimanapun, Anin butuh Kinan di hidupnya.” Tatapan kami bertemu. Ingin sekali kukatakan bahwa kebaikannya adalah sumber kesakitanku. Namun, aku tak berani mengatakan itu. Fakta yang kudengar barusan sudah menjawab s
Tarikan tangan itu terlepas. Tak hanya aku yang kebingungan, tetapi Mas Samuel juga. Aku melihat dengan jelas perempuan dengan kursi roda itu berjalan ke arah kami. Itu Mbak Kinan. Aku yakin betul. Namun, apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu ada di sini? Belum sempat Mbak Kinan sampai di hadapan kami, Mas Samuel sudah lebih dulu menghampiri. Aku terdiam. Mereka seperti pasangan suami-istri, antara khawatir dan rindu dalam satu waktu. “Mas Samuel,” panggil Mbak Kinan. Mas Samuel berjongkok, pria itu terlihat khawatir. “Kondisi kamu belum pulih, kenapa ke sini?” “Aku udah sehat, Mas. Liat, aku udah bisa keluar. Kamu seneng nggk?” Aku tak bisa melihat betul ekspresi apa yang Mas Samuel tampilkan ketika pertanyaan penuh harapan itu terlontar dari mulut Mbak Kinan. Namun, aku menyadari satu hal bahwa Mbak Kinan terlalu sulit digantikan. “Lain kali kalau Kinan minta keluar, tolong kabarin saya, Nia.”Suster Nia pun mengangguk. “Baik, Pak.” “Aku mau ikut rapat, Mas.” Aku
Setelah bersiap-siap, aku menghampiri mereka, lalu tersenyum tipis. Mbak Kinan melihatku dan menyapaku dengan gestur tubuhnya. Di sana masih ada suster Nia yang menemani. “Kita berangkat sekarang aja,” ucap Mas Samuel langsung berdiri dari duduknya. Tiba-tiba Mbak Kinan menatapku seolah ada yang salah dalam diriku. Tatapan aneh yang aku saja tak tahu artinya apa. “Kamu terlihat cantik Serena,” ucap Mbak Kinan. Aku tak meresponsnya. Baik itu lewat senyuman atau yang lain, aku tak memberikan reaksi apa-apa. Diam adalah jawabanku. “Gimana kabar kamu?” tanyanya. “Kita bisa telat ke sekolah Anin, Mas,” ucapku sengaja mengalihkan pembicaraan. Sontak Mas Samuel melirik arloji di tangannya. “Kinan, kamu mau bareng kami atau sama sopir?” Lalu suster Nia angkat suara. “Maaf, Pak. Bu Kinan tidak diizinkan bepergian lebih dari satu jam, mengingat sekarang kondisinya sedang masa pemulihan.” “Mau saya antar ke rumah sakit?” tanya Mas Samuel begitu peduli. “Kami bersama sopir, Pa
“Mama Serena,” lirih Anin. Aku menoleh ke belakang. Di sana ada Anin sudah berdiri tegak bagai patung. Dengan kegugupan yang melanda, aku pun berjalan mendekat. Anin menatapku tanpa ekspresi. Bagaimana kalau Anin mendengar percakapanku dengan Mas Samuel? “Anin ngapain keluar?” tanyaku berusaha terlihat baik-baik saja. “Papa pergi ke mana, Ma?” Deg! Sontak pandanganku beralih ke arah gerbang yang masih terbuka lebar. Bohong kalau aku tak ingin menangis. Bahkan saat pria itu pergi tanpa memedulikanku saja rasanya seperti tertancap pisau, sakit. “P-papa, Papa ada kerjaan Sayang,” jawabku menahan sakit di dada. Aku tersenyum, meyakinkan bahwa yang kuucapkan barusan adalah fakta, bukan kebohongan. “Papa sibuk, ya, Ma?” Tanganku mengusap pelan rambut panjang milik Anin. Bernapas lega, sepertinya Anin tak mendengar ucapan kami. “Papa ‘kan kerja, pasti sibuk, Sayang. Sekarang Anin masuk lagi ya? Mama harus pergi, ada urusan di luar.” “Anin boleh ikut?” Kubalas senyum. “M
Tiga hari berlalu. Setelah kejadian di rumah sakit. Mas Samuel tak pernah pulang ke rumah. Dia meninggalkanku tanpa kata. Membiarkan aku menanggung rasa sakit ini sendirian. Selama tiga hari ini, aku hanya berdiam diri di rumah. Pikiranku penuh. Aku selalu menatap pintu luar, berharap Mas Samuel pulang. Namun, siang sudah berganti malam, batang hidungnya sampai saat ini belum kelihatan. Aku yang terluka.Ya, aku terluka karena harapan itu tak kunjung jadi kenyataan. Aku khawatir. Tak ada telepon ataupun pesan darinya. Ah, di mana Mas Samuel berada? Apakah hari ini sudah makan? Di luar sedang hujan, siapa yang buatkan dia kopi? Pertanyaan itu selalu berputar di kepala. Aku kesal, juga khawatir. Ting! Bella :Barusan gue liat laki lo keluar dari apartemenAku yang menerima pesan itu sedikit lega. Namun, apakah selama tiga hari ini Mas Samuel menginap di sana? Ah, memikirkannya saja membuat kepalaku hampir meledak. Me :Apartemen mana, Bel?Bella :Satu unit sama apart gu
Pagi pun tiba. Aku sudah lebih dulu bangun, setelah panggilan telepon di jam satu dini hari selesai, aku memutuskan tidur kembali. Kini jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Niatku hari ini pergi ke rumah ibu dan menginap di sana untuk beberapa hari ke depan. Tidak ada persiapan, bahkan tak ada satu pun pakaian yang kubawa. Kulihat seisi kamar, rasanya berat. Di sini, banyak kenanganku dengan Mas Samuel. Pria dengan segala ambisinya selalu saja duduk di pojok kanan ruangan di mana itu adalah tempatnya bekerja. Aku termenung di tempat. Tuhan, apakah keputusanku kali ini benar? Napasku terasa sesak. Ini menjadi keputusan terbesar yang pernah aku ambil. Aku belum pernah memutuskan pulang ke rumah ibu setelah menikah, apalagi pulang sendiri tanpa suami. Ya, paling ketika ke rumah ibu aku dan Mas Samuel hanya berkunjung saja, sebab pekerjaan Mas Suami tak bisa ditinggalkan begitu saja. Sayangnya, itu semua tak berlaku. Pulangku bukan hanya berkunjung, tetapi untuk menenangkan diri. Se
"Seberapa besar luka itu sampai kamu memutuskan ingin pulang ke rumah ibu, Serena?" tanyanya begitu pelan dan terdengar menyakitkan. Aku menggeleng kuat. Menghindar dari hadapannya. Tak dapat dipungkiri bahwa pertanyaan tersebut terdengar begitu memilukan. Menyadari satu hal bahwa selama ini, Mas Samuel tak pernah mengerti sedalam apa luka yang istrinya miliki. "Maaf, Mas."Setelah mengatakan itu, aku memutuskan pergi dari rumah. Mas Samuel tampak tak bergeming dari tempatnya. Mungkin bagi Mas Samuel, perhatian serta kepedulian yang dia berikan kepada Mbak Kinan tak membuat hatiku terluka. Itu kenapa pertanyaan ketidaktahuannya justru malah menyakitiku. Saat membuka pintu, aku dikejutkan dengan kedatangan Anin dan Neneknya yang merupakan orang tua Mbak Kinan. Aku sempat memandang keduanya dalam hitungan detik, lalu melanjutkan perjalanan keluar rumah. "Mama Serena mau ke mana?" tanya Anin. Tak peduli bagaimana reaksi Anin dan Neneknya melihat aku pergi begitu saja tanpa mengucap