Dua tahun menikah dengan Samuel, Serena tak pernah merasa bahagia atas pernikahannya. Pria yang berstatus sebagai suaminya itu terlalu memprioritaskan Kinan, sang mantan istri. Menyakitkan. Serena menyadari bahwa sedari awal tak pernah ada ia di dalam hati Samuel. Ya, Samuel terlalu abu-abu. Ingin dengan Serena, tetapi enggan melepas Kinan. Lantas, bagaimana kalau ternyata pernikahan itu tak terselamatkan? Akankah Samuel lebih memilih kembali bersama Kinan dan meninggalkan Serena?
View MorePukul dua belas siang.
"Pak Samuel pergi lagi?" tanyaku saat melihat ruangan milik Mas Samuel, suamiku kosong.Reno selaku sekretaris suamiku langsung mengangguk lirih. "Betul, Bu. Pak Samuel pergi sebelum jam istirahat."Reno membuka Ipad-nya lalu menunjukkan sesuatu kepadaku. "Ini foto saat saya mengantarkan Pak Samuel mengunjungi Bu Kinan. Mereka makan siang bersama."Aku menatap miris ke tempat makan yang berada di atas meja kerja Mas Samuel. Ini ketiga kalinya masakanku seolah tak ada harga dirinya."Apa perlu saya telepon Pak Samuel bahwa Bu Serena menunggu di kantor?" tanya Reno seakan mengerti perasaanku.Aku menggeleng keras. "Enggak. Gak perlu, Reno. Tolong jangan bilang ke Pak Samuel kalau hari ini saya datang ke kantor.""Baik, Bu.""Oh, ya, kamu sudah makan? Kalau belum, bekal ini buat kamu." Aku menyodorkan rantang tersebut dan Reno menerimanya dengan baik."Terima kasih, Bu."Setelah tak ada yang bisa kulakukan lagi di kantor, aku memutuskan pergi dan pulang ke rumah. Untuk melampiaskan amarah, menyibukkan diri dengan mencoba berbagai hal adalah pelarianku. Kini, jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan aku sudah beres membersihkan rumah, masak serta membuat brownis matcha kesukaanku.Kudengar suara mobil masuk ke dalam garasi, tak lama dari itu pintu rumah terbuka lebar. Mas Samuel masuk ke dalam rumah, seperti biasa dia langsung menghampiriku, mengecup kening dan melonggarkan dasinya."Hari ini kamu keliatan beda, kenapa?" tanyanya.Dia mengedarkan pandangan dan tertuju ke meja makan yang sudah terisi penuh. "Kamu masak?""Ada brownis juga. Kamu yang bikin?" Pergerakan Mas Samuel terhenti ketika pertanyaanku terlontar begitu saja.“Seharian ini kamu pergi ke mana, Mas?” Aku sengaja mengabaikan pertanyaannya. Biarkan saja, biarkan pertanyaan dibalas pertanyaan.Aku butuh penjelasan. Tentang foto tadi siang di mana Mas Samuel menyuapi makan buat Mbak Kinan atau kenapa selama ini dia menyembunyikan semuanya dariku? Aku melihat wajahnya, dia tampak ingin menjelaskan sesuatu, tetapi mulutnya kembali terkatup.“Stop curiga yang berlebihan Serena.”“Kenapa? Bukannya wajar kalau aku curiga kaya gini?” Aku menatapnya penuh arti. “Seharian ini kamu nemenin Mbak Kinan di rumah sakit ‘kan?”Diamnya adalah jawaban. Aku mengerti akan kondisi yang menimpa Mbak Kinan. Depresi adalah penyakit serius yang tak boleh diabaikan oleh siapa pun. Namun, mereka sudah lama berpisah. Perempuan itu bukan lagi tanggung jawab suamiku.Dan yang perlu kalian tahu, Mas Samuel dengan Mbak Kinan merupakan sahabat sedari kecil. Saat Mbak Kinan dinyatakan hamil, Mas Samuel lah orang pertama yang berani menikahi sahabatnya, kala itu pelaku yang menghamili Mbak Kinan tidak lain adalah pacarnya sendiri enggan bertanggung jawab.Namun, saat usia pernikahan kami menginjak satu tahun, suamiku kembali menjadi pahlawan ketika Mbak Kinan mengalami gangguan kecemasan hingga berujung depresi ringan karena tekanan dari mantan pacarnya yang ingin mengambil hak asuh anak mereka.“Saya di kantor. Saya gak ke mana-mana Serena.”Aku tertegun mendengar jawabannya. “Kali ini yang ke berapa, Mas?” tanyaku lagi.“Saya di kantor, Serena.” Mas Samuel kembali menegaskan.Aku mengambil napas sebentar. “Aku rasa kita perlu jarak, Mas.”Fakta Mbak Kinan adalah cinta pertama Mas Samuel membuatku makin terasa sakit. Cinta pria itu habis di masa lalu. Mungkin selamanya akan seperti itu. Denganku, Mas Samuel hanya melanjutkan hidupnya.“Maksud kamu?”“Tadi siang aku pergi ke kantor kamu Mas, tapi kamu gak ada di sana. Aku pikir kamu pergi karena ada urusan meeting di luar. Tapi tebakan aku salah. Kamu pergi ke rumah sakit dan nemuin Mbak Kinan di sana."Aku menghela napas dalam-dalam. “Dari awal harusnya kamu jujur, Mas. Aku gak pernah larang kamu ketemu sama Mbak Kinan, tapi bukan dengan cara kamu diam-diam nemuin dia di belakang aku. Aku butuh jawab itu dari kamu."“Segitu gak percayanya kamu sama saya?”“Aku bukan gak mau percaya, tapi kamu yang gak pernah mau jujur, Mas.”“Kejujuran aja gak akan buat kamu puas, Serena. Bahkan mau saya jelasin yang sebenarnya, belum tentu dapat kamu terima.”“Aku bisa terima kalau pernyataan kamu masuk akal.” Aku menatap pilu ke arahnya. “Aku istri kamu, Mas. Tolong berhenti buat aku berpikir kalau kamu memang punya hubungan lebih dengan Mbak Kinan.”Mas Samuel menegakkan tubuhnya. Mengikis jarak di antara kami. Belum saja menghindar, kedua tangannya sudah lebih dulu menahan pergerakanku.“Saya gak mungkin berpaling dari kamu, Serena.” Dia berbisik tepat di telingaku.Kalian ingin tahu? Aku dibuat tak berkutik olehnya. Sungguh, aku merinding sendiri. Dia malah mengendus bebas di area sana. Geli makin terasa.“Saya suka aroma tubuh kamu.”Gila, gila. Ini sungguh gila. Aku hampir mendesah! Pria itu bukan hanya mengendus, tetapi juga mengecup dan menggigit telingaku. Namun, tak berselang lama aku pun tersadar hingga mendorong tubuhnya, naasnya itu tak mudah.“Kenapa?” tanya Mas Samuel sebab aku berani menghindar dari serangannya.Aku melepaskan tangannya dari pinggangku. Mundur satu langkah. Kutatap wajahnya sebentar, lalu meninggalkannya dengan kebisuan yang pria itu ciptakan sendiri. Rasanya sakit, sesak. Aku tak sekuat itu. Pernikahan ini makin hari terlihat abu-abu. Aku bahkan sempat tak mengenali apa arti cinta di dalamnya.“Kamu bisa gak si sedikit aja peduli sama pernikahan kita?” tanyaku tiba-tiba berbalik dengan mata yang sudah memerah.“Gak bisa?” kataku lirih.Miris. Kamu terlihat miris Serena. Apa yang perlu dipertahankan dari pernikahan penuh kepura-puraan ini? Tidak ada. Kamu hanya menyiksa diri sendiri. Ya, apalagi yang kuharapkan? Semuanya, makin tak terlihat.“Apa yang gak aku punya dari Mbak Kinan?”Tidak ada jawaban. Lagi, ku lontarkan pertanyaan yang berbeda.“Kenapa kamu bisa sepeduli itu sama dia, Mas?”Kutatap matanya dalam-dalam. “Secinta itu kamu sama Mbak Kinan?”“Serena .... “Aku melangkah mundur, menjauh. “Gak ada yang perlu dipertahankan dari pernikahan ini, Mas.”Tanpa pikir panjang, Mas Samuel malah mendekat dan mencium bibirku dengan rakus. Aku dapat merasakan emosinya. Namun, itu bukan ciuman penuh cinta, tetapi ciuman penuh emosi yang menyakitkan.“Mmph—lepas!”Napas kami memburu setelah ciuman panas itu selesai. Aku yang lebih dulu mengakhiri ciuman tersebut.“Saya lebih suka kita memperbaikinya, daripada mengakhirinya, Serena.”Dia memandangku lekat. Mengusap lembut area pipiku yang sudah basah dan tangan berakhir di bibirku. “Saya hanya perlu meyakinkan kamu.”Aku menggeleng keras dengan sakit yang makin terasa jelas. Sengaja tubuhku sedikit menjauh darinya.“Kamu gak mungkin mengkhianati pernikahan kita ‘kan, Mas?” tanyaku pilu.Dia berusaha menggapai tanganku. “Serena .... ““Tolong jawab aku, Mas,” lirihku menahan sesak di dalam sana.Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments