Nadira menyunggingkan senyum tipis, seakan ada kepuasan dingin yang menyelinap di balik ketenangannya.
"Situasi luar biasa butuh langkah luar biasa. Segera jalankan. Era orang-orang lama sudah selesai." Suaranya datar, namun tajam, seperti bilah pisau yang baru diasah. Begitu Zayyan melangkah pergi, meninggalkan aroma kopi yang masih samar di udara, ponsel Nadira bergetar di atas meja kaca yang berkilau dalam sorotan lampu gantung. Nama "Tama" menyala di layar. Nadira menghela napas perlahan, angkat bicara dengan malas yang nyaris mendesah. Ia sudah bisa menebak, berita baik jarang sekali datang dari Tama. "Ada apa?" suaranya tenang, tetapi dingin. Tama di seberang sana langsung menyembur dengan suara geram, "Kamu tuh, nggak sabaran banget sih. Bukan masalah besar, tapi cukup buat bikin darahmu mendidih. Coba deh buka media sosial. Si jalang itu udah berhasil mencuci otak mantanmu. Sekarang merWajah Mahesa tampak tegang, seperti ada benang halus yang menahan emosinya agar tak putus di depan Naura.Sorot matanya tajam, penuh perhitungan, namun tak sepenuhnya dingin. Ia berdiri di tepi sofa, satu tangan menyelip di saku celana, yang satu lagi menggenggam ponsel seolah menanti panggilan penting yang tak kunjung datang."Aku masih harus beresin beberapa administrasi sama Nadira," ucapnya, suaranya berat tapi terukur. "Kita ngurus surat nikah setelah acara pernikahan selesai."Naura hanya mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti dadanya.Bibirnya tersenyum, tapi matanya tak bisa berbohong. Ia melangkah mendekat, tubuhnya yang ramping bergerak luwes, lalu perlahan melingkarkan lengannya ke leher Mahesa.Aroma parfum vanila samar tercium saat ia mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu."Sayang, kamu nginep sini malam ini?" bisiknya, menggoda.Mahesa menatapnya tanpa banyak emosi. “Malam ini eng
Selain dentuman musik EDM yang masih menggetarkan langit-langit, ruangan itu mendadak dicekam kesunyian ganjil.Sorotan lampu sorot menari-nari di antara kepulan asap dan siluet tubuh-tubuh yang sempat bergoyang bebas kini terdiam membatu.Semua mata tertuju pada satu titik — seorang perempuan yang tadi menggoda dengan tarian berani, kini menjelma menjadi badai yang tak bisa dikendalikan.Gadis itu, Nadira, berdiri dengan napas tersengal. Rambut panjangnya berantakan, bibirnya merah basah karena minuman keras, dan mata kelamnya menyorotkan bara yang belum padam.Beberapa pengunjung berbisik dengan kagum bercampur gentar.“Wah, jago dansa ternyata jago berantem juga,” ucap seorang pria di pojok ruangan, suaranya setengah kagum, setengah takut.Nadira nyaris melayangkan tendangan ke arah seorang wanita yang sempat menyenggolnya, namun sebuah tangan cepat menariknya ke belakang.Tama, kakaknya, datang seperti rem darura
Ia melangkah keluar dari mobil dengan anggun, seolah seluruh malam bersiap memberi panggung khusus untuknya.Sepatu hak tinggi berwarna emas memantulkan kilauan lampu jalan yang lembut, mengikuti langkah kakinya yang jenjang.Gaun merah tanpa lengan membalut tubuhnya dengan pas, menonjolkan siluet ramping yang membuat udara malam seolah ikut menahan napas.Aroma parfum mawar samar tercium, bercampur dengan semilir angin yang membelai rambut panjangnya.Di pintu masuk klub, dua penjaga berdiri terpaku, mata mereka membelalak tak berkedip. Salah satunya bahkan menelan ludah tanpa sadar, sementara bibirnya berbisik nyaris tak terdengar."Pacar baru Tama? Cantik sekali, gila," desisnya pada rekannya yang mengangguk setuju, masih terpukau.Tama melirik Nadira dengan tatapan menilai, matanya bergerak lambat dari ujung rambut hingga ke ujung sepatu.Senyum puas perlahan merekah di wajahnya. "Jauh lebih baik daripada tampilanmu
"Bu Fayra, saya tahu Ibu tidak menyukai saya karena konflik masa lalu dengan tante saya. Tapi waktu itu, tante saya dan Pak Surya benar-benar saling mencintai, seperti saya dan Mahesa yang sudah saling mencintai sejak lama. Kalau bukan karena pertentangan keluarga dan penolakan Ibu, saya tidak akan pergi ke luar negeri dan berpisah dengan Mahesa. Mungkin sekarang kami sudah menikah, bahkan Ibu sudah punya cucu."Kata-kata Naura meluncur lirih namun penuh keberanian, bagaikan embusan angin panas yang menusuk dingin hati Fayra.Mata Naura yang bulat menatap lurus ke mata mertuanya, seakan berusaha menembus lapisan es di dalam dada perempuan itu.Di sekeliling mereka, ruang tamu keluarga Pradana yang megah, dipenuhi ukiran kayu jati mengkilap dan lampu gantung kristal, terasa menyesakkan, seolah setiap benda ikut menonton duel batin yang sedang berlangsung."Hah! Menghayal saja kamu!" sergah Fayra, nadanya dingin seperti mata pedang. Senyumnya sinis,
Naura mulai gelisah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Jemarinya yang gemetar menari-nari di layar ponsel, berusaha menghubungi satu per satu blogger yang dulu dengan semangat membantunya.Setiap sambungan yang terhubung justru menyisakan gelombang amarah yang menusuk."Artikel ngawurmu bikin kami kena masalah besar! Kamu pikir gampang nikah sama orang kaya? Gua kayak orang bego percaya sama lo. Sekarang akun gua dibekukan, sponsor kabur semua. Duit lo udah gua ambil, tapi gua kapok!"Suaranya penuh bara, seperti ledakan kembang api yang meletus beruntun di telinga Naura. Beberapa bahkan tak memberi kesempatan bicara, hanya suara makian singkat sebelum sambungan diputus kasar.Ada pula yang langsung memblokir nomornya, membuat layar ponsel Naura hanya menampilkan nada dering gagal sambung yang hampa.Naura menggigit bibir bawahnya, mencoba meredam badai cemas yang merayap dari ulu hati. Bagaimana bisa semua ini berantakan secepat in
Bayu menarik napas panjang, menahan riak amarah yang mendesak keluar dari dadanya. Matanya menatap Mahesa dengan sorot kecewa yang sulit disembunyikan.Di sekeliling mereka, ruangan kerja Mahesa terasa begitu hening, seakan segala benda di sana turut menyimak percakapan panas itu.Sebuah lukisan abstrak di dinding, rak buku berjejer rapi, dan aroma samar kopi hitam yang tertinggal di meja, semua terbingkai dalam ketegangan yang membeku."Nadira sudah merawatmu dengan setia waktu kamu sakit dulu," suara Bayu bergetar, mencoba tetap tenang."Dia patuh, tidak pernah mengeluh. Waktu kamu sembuh, aku kira hubungan kalian akan semakin kuat. Tapi sekarang? Kamu ceraikan dia, dan malah memilih anak dari keluarga Levana itu? Kamu waras?"Mahesa berdiri tegak di balik mejanya, tangannya mengatup di depan dada. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, seperti dinding marmer dingin."Tanpa alasan," ujarnya dengan dingin yang membekukan. "Aku memang t