Setelah jeda hening yang terasa seperti waktu membeku, suara Mahesa kembali terdengar, rendah tapi sarat makna.
"Kirim orang untuk mengawasi Rafka dan Elvano. Walaupun mereka tak punya kecerdasan yang menonjol, mereka terlalu terbiasa mendapatkan apa yang seharusnya bukan milik mereka."
Ia menekankan tiap katanya perlahan, nyaris seperti racun yang meresap tenang ke dalam air jernih. "Hari ini mereka hanya terintimidasi. Tapi itu bukan berarti mereka akan diam. Kita tetap harus waspada."
Rafael mengangguk singkat, tubuhnya kaku. "Baik. Saya akan tugaskan orang untuk mengawasi mereka," jawabnya cepat, seperti ingin segera keluar dari tekanan udara di ruangan itu.
Mahesa kembali menunduk, matanya menyapu halaman dokumen di hadapannya. Penanya menari, sesekali berhenti untuk memastikan titik koma tak tersesat.
Tapi Rafael belum juga pergi. Ia berdiri diam, lalu menggerakkan bibirnya sedikit, seolah ingin bicara namun lidahnya terjerat oleh keraguan.
Begitu sendok menyentuh bibir dan suapan pertama masuk ke mulut, keheningan seketika pecah oleh desahan pelan yang hampir serempak.Aroma harum dari uap kaldu yang masih mengepul menguar ke seluruh penjuru dapur, menghangatkan udara malam yang mulai lembab.Nadira duduk di ujung meja, tersenyum kecil tanpa berkata apa-apa, hanya memperhatikan ekspresi mereka satu per satu, seolah menunggu pengakuan tanpa perlu diminta.Bahkan Mahesa, yang biasanya kalem dan sukar dibaca, terhenti sejenak. Sendoknya melayang di udara, lalu perlahan-lahan turun kembali ke mangkuk.Matanya menyipit, menatap isinya seolah baru saja menemukan harta karun yang terselip di dasar laut. Ia mengangguk pelan, nyaris tak sadar, seperti sedang berdialog diam-diam dengan kenikmatan yang tak bisa dijelaskan.Rasa sup itu bukan sekadar enak. Ada kedalaman yang tidak bisa ditakar dengan lidah saja. Seolah-olah Nadira berhasil menyelipkan kenangan masa kecil, senyap hujan sore hari,
Brand itu dulu lahir dari tangan Riana Wulandaru dan suaminya, Leo. Sepasang suami istri dengan intuisi bisnis yang tajam dan rasa yang tak kalah tajam.Di tengah kepungan anak usaha yang mulai kehilangan taring, Wools justru tetap berdiri gagah, menyala seperti lilin terakhir yang bertahan saat angin menerpa.Dan di belakang keberhasilan itu, nama keluarga Raditya tak bisa diabaikan. Mereka, dengan caranya masing-masing, ikut menjaga bara itu tetap menyala.Pagi menjelang siang di suite lantai atas. Sinar matahari menelusup malu-malu lewat celah gorden, menimpa lantai marmer yang dingin dan bersih.Di tengah ruang dapur yang bergaya modern, Nadira berdiri sambil mengencangkan talinya apron. Bahan-bahan telah siap, tertata rapi di atas meja dapur: tomat yang merah menggoda, daging yang masih segar, rempah-rempah yang menebar aroma menggoda, dan ikan yang menunggu giliran masuk ke dalam wajan panas.Mahesa, Lukas, dan Danu berdiri di ambang
Yang mengejutkan, Mahesa justru tampak senang ketika disuruh-suruh oleh Nadira. Langkahnya mengikuti dari belakang tanpa suara, seperti bayangan yang tak pernah jauh dari sumber cahaya.Di bawah terik pagi yang mulai mengintip dari sela-sela kain tenda pasar, bayangan itu seakan hidup, mengiringi setiap langkah Nadira tanpa ragu.Pasar tradisional itu mulai ramai. Suara tawar-menawar bersahutan dengan denting logam dari timbangan kuno.Udara pagi yang sedikit lembab membawa wangi campuran antara daun pisang, rempah-rempah, dan ikan asin yang baru saja dibongkar dari keranjang anyaman.Seorang ibu penjual sayur dengan celemek lusuh warna hijau menyerahkan ikat bayam terakhir kepada Nadira.Ia menyeka peluh di dahinya, lalu menatap Nadira dengan senyum cerah yang memantul di kerutan matanya.“Wah, banyak banget belanjanya, Mbak,” ujarnya, nada bicaranya ringan tapi menggoda. “Mau masakin buat suami, ya?”Nadira hanya mengangguk singkat,
“Enggak usah,” potong Nadira cepat, suaranya agak serak. Tangannya memeluk perut dengan lembut, lalu alisnya bertaut, menandai rasa tak nyaman yang pelan-pelan mencuat dari lambungnya.“Tadi sore kayaknya kebanyakan kopi. Perih banget, lambungnya. Kalau kamu lapar, pesan aja buat kamu sendiri, ya. Enggak usah repot-repot buat saya.”Ia menghela napas, sejenak diam. Sorot matanya menerawang, lalu melirik ke arah pintu.“Osha udah balik?”“Harusnya udah, Bu. Saya cek dulu, ya,” jawab Danu, cepat tanggap.Beberapa menit kemudian, Osha muncul bersama Danu. Wajahnya tampak rapi dan tenang, seperti biasa, dengan seragam yang masih licin meski hari sudah larut.“Bu,” sapa Osha, nada suaranya sopan dan penuh hormat.“Supnya udah dikasih ke dia?” tanya Nadira, nada suaranya ringan, tapi matanya tajam menelisik.Osha mengangguk lalu menjelaskan dengan rinci, “Pak Pradana tahu Ibu belum makan. Sekarang dia nunggu di luar. Katanya mau ajak
Sepuluh menit kemudian, suara langkah tergesa Danu terdengar memantul di koridor sebelum akhirnya pintu terbuka perlahan.Wajahnya tampak lega, tapi matanya memendam ragu.“Sudah, Bu,” ujarnya sambil berdiri di ambang pintu. “Saya sudah bujuk dia. Akhirnya dia mau kembali ke Surabaya. Tapi…”Danu berhenti sejenak, menatap Nadira seolah meminta izin untuk melanjutkan. “Dia melakukan itu karena peduli, Bu. Dia menyesal, sungguh. Sampai tampar dirinya sendiri dua kali. Saya lihat sendiri. Jadi… jangan marah terus, ya. Kalau Anda usir dia sekarang, itu lebih kejam daripada memecatnya.”Cahaya dari lampu gantung memantulkan bayangan Nadira ke meja kaca, menciptakan siluet tajam. Ia menatap Danu dengan mata tajam seperti silet yang baru diasah.“Kau kasihan padanya?” tanyanya datar. Tidak ada intonasi, tapi sorot matanya seperti jarum yang menusuk.Danu, yang baru saja merasa lega, langsung menggaruk-garuk kepalanya. Gerakannya gugup tapi berusaha
Setelah jeda hening yang terasa seperti waktu membeku, suara Mahesa kembali terdengar, rendah tapi sarat makna."Kirim orang untuk mengawasi Rafka dan Elvano. Walaupun mereka tak punya kecerdasan yang menonjol, mereka terlalu terbiasa mendapatkan apa yang seharusnya bukan milik mereka."Ia menekankan tiap katanya perlahan, nyaris seperti racun yang meresap tenang ke dalam air jernih. "Hari ini mereka hanya terintimidasi. Tapi itu bukan berarti mereka akan diam. Kita tetap harus waspada."Rafael mengangguk singkat, tubuhnya kaku. "Baik. Saya akan tugaskan orang untuk mengawasi mereka," jawabnya cepat, seperti ingin segera keluar dari tekanan udara di ruangan itu.Mahesa kembali menunduk, matanya menyapu halaman dokumen di hadapannya. Penanya menari, sesekali berhenti untuk memastikan titik koma tak tersesat.Tapi Rafael belum juga pergi. Ia berdiri diam, lalu menggerakkan bibirnya sedikit, seolah ingin bicara namun lidahnya terjerat oleh keraguan.