Share

Bab 222: Bukan Orang Biasa

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-19 08:18:15

Persaingan antara Wulandaru Starry Media dan Wijaya Media sempat membara, seperti dua naga bersaing merebut langit.

Wijaya menyerang dari celah yang paling menyakitkan, membajak sejumlah artis dari Wulandaru. Bukan bintang papan atas, tapi justru para talenta menengah, tulang punggung produktivitas, yang kerap tak disorot sorotan kamera namun vital di balik layar.

Meski Gilang masih menjadi poros utama perusahaan, sosok flamboyan yang tetap bercahaya di tengah pusaran industri, rasa kehilangan tetap merayap diam-diam, seperti luka yang tidak berdarah namun terus nyeri saat disentuh.

Untuk kembali mengaum di industri hiburan, Wulandaru butuh lebih dari sekadar sinematografi apik atau plot yang merobek emosi.

Mereka butuh darah segar, energi baru, wajah-wajah yang belum pernah terpapar kejenuhan kamera.

Gilang, betapapun memesona, tak bisa terus menjadi satu-satunya pilar dalam istana megah yang lambat-laun mulai goyah.

Malam itu, langit Jakar

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 247: Tidak Bisa Mundur

    Ghani bersandar, menyipitkan mata. Suaranya terpotong tajam, seperti pisau yang mengiris tenang malam.“Malam itu aku juga ada di sana. Tapi bukan Ratu yang diincar Joni, melainkan aku.”Ia berhenti sebentar, menghela napas, membiarkan keheningan mengalir sesaat.“Ratu melindungiku. Ia duduk menemani Joni, membiarkannya menuang gelas demi gelas, bertahan sampai matahari hampir menyentuh garis cakrawala. Apa yang terjadi setelah itu... aku tidak tahu pasti.”Di sudut ruangan yang temaram, aroma tembakau melayang samar. Ratu mengisap rokoknya dalam-dalam.Asapnya berputar lambat di udara, seolah mengulur waktu.“Lalu... Joni mulai semakin berani,” katanya, nyaris berbisik, suaranya lirih, kosong seperti ruang yang tak lagi bisa diisi.“Dia minta aku dari Susilo. Dan Susilo, dengan muka datar seperti batu, memberikanku begitu saja. Seperti mucikari picisan yang kehilangan harga diri.”Ratu tertawa. Tawa pendek yang tidak punya nad

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 246: Lebih Rela Menghancurkan

    “Maaf, aku terlambat. Macet di Sudirman,” suara Lukman terdengar kalem, tapi tiap katanya membawa gema ketegasan, seperti langkah sepatu kulit di lantai marmer.Ratu dan Ghani langsung menyambutnya dengan senyum ramah, mencoba meredakan ketegangan yang sempat menggantung di udara.“Tenang saja, kamu datang tepat waktu,” ujar Ghani sambil menepuk punggung kursi kosong di sebelahnya.Namun Nadira, yang duduk santai dengan kaki bersilang, tak bisa menahan godaannya. Dengan senyum miring dan mata menyipit jahil, ia menyelutuk, “Kalau kamu datang lima menit lagi, bakso ini udah dingin, Luk.”Sekilas, wajah Lukman masih menyimpan sisa keseriusan, tapi akhirnya sudut bibirnya melunak, tersungging senyum tipis.Ia melepas jasnya perlahan dan menggantungnya di sandaran kursi, lalu berkata, “Kalau begitu, ayo langsung saja. Gara-gara bakso ini aku ngebut dari Ardiyanto ke sini.”Udara malam di teras restoran semi-terbuka itu dipenuhi aroma rempah dan

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 245: Bukan Sekadar Bakso

    Nadira tak pernah membayangkan bahwa si "calon bintang basket kampus", yang dulu hanya ia dengar dari celoteh mahasiswa jurusan sebelah, kini berdiri di hadapannya—di tengah wangi kaldu dan bawang goreng dapur Rasa Nusantara—dengan celemek putih tergantung di pinggang, tangan sedikit gemetar memegang buku catatan kecil.Hidup memang pandai menyelipkan kejutan dalam sela-sela rutinitas."Namamu Dipa, ya?" suara Nadira mengalun pelan namun mantap, mengaduk-ngaduk ingatannya yang samar tentang nama itu dari obrolan teman-teman kuliahnya dulu.Dipa mengangguk kecil, matanya tak berani menatap langsung. Wajahnya merona, seperti habis tersengat matahari pagi."I-iya, saya Dipa," jawabnya tergagap.Angin sore menyusup lewat jendela kecil dapur, mengibaskan sedikit ujung jilbab Nadira saat ia menyipitkan mata meneliti wajah pemuda itu."Kamu ada hubungan apa dengan Ghani?"Sejenak, waktu seperti berhenti di sela-sela bunyi sayatan daging dan

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 244: Tatapan yang Membeku

    Rasa Nusantara, restoran dengan interior hangat berbalut kayu jati dan lampu gantung temaram, dipenuhi aroma harum rempah yang seolah menggantung di udara.Di salah satu sudutnya yang tak terlalu mencolok, Nadira duduk sendirian, memandangi layar ponselnya.Senyumnya muncul perlahan, seperti bunga yang enggan mekar penuh, saat pesan dari Lukman masuk."Nggak usah ribet ke hotel deh. Di Rasa Nusantara aja, aku kangen masakanmu!"Bayangan tawa Lukman terngiang di benaknya, hangat dan ringan seperti angin sore yang menyusup lewat jendela dapur.Nadira membalas cepat."Lukman, kamu lagi ngidam apa malam ini?""Udah lama banget nggak makan bakso enak kayak buatan kamu."Bakso. Sederhana, tapi penuh kenangan. Nadira mengetik satu kalimat terakhir, pendek tapi mantap."Oke, biar aku yang urus."Sore itu, langkah Nadira cepat dan ringan. Bukan menuju rumah, seperti biasanya setelah jam

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 243: Pisau yang Menusuk Perlahan

    Setelah melangkah keluar dari gedung Akademi Olahraga yang bergaya kolonial modern, wajah Nadira terasa lebih ringan.Angin sore yang hangat menyapu rambutnya yang dikuncir longgar, dan derai tawa para lulusan muda masih terdengar samar di belakangnya.Ada sesuatu yang menular dari semangat mereka, seperti nyala api kecil yang menjalar diam-diam ke dalam hatinya.Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa... optimis.Aula besar kampus itu hari ini menjadi panggung bagi perayaan dan harapan. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu gantung berkilau, seperti kilauan masa depan yang belum tergenggam.Rektor, seorang pria paruh baya dengan suara tebal dan cara bicara lamban, berdiri di mimbar. Ia menyampaikan pidato panjang, kalimat-kalimatnya rapi tapi hambar, seperti sudah diulang terlalu sering.Namun kalimat pamungkasnya, “Hari ini kalian bangga pada kampus ini, suatu hari nanti kampus ini pun akan bangga pada kalian,” tet

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 242: Sorot Mata Sehabis Hujan

    “Kak, bisa fotoin kami nggak?”Suara ceria itu membuat Nadira menoleh. Di hadapannya berdiri seorang pemuda dengan wajah yang masih muda, segar, dan ada semacam semangat naif dalam sorot matanya.Sorot mata yang membuat Nadira, tanpa sadar, memandang sedikit lebih lama. Jernih. Penuh rasa ingin tahu.Seperti mata rusa yang baru pertama kali mengintip dunia di balik semak.Ia menatapnya lebih seksama. Anak muda ini tinggi—amat tinggi, mungkin nyaris dua meter. Sosoknya tegap, atletis, dan nyaris seperti keluar dari halaman komik olahraga.Jersey putih yang melekat di tubuhnya sudah basah oleh keringat, begitu pula ikat kepala yang menjinakkan poni yang sedikit menutupi dahi kecokelatannya.Kulitnya terbakar matahari, tapi bersih, sehat, seolah ia tinggal di lapangan lebih lama daripada di rumah.Tapi yang paling menonjol adalah ekspresinya, polos dan hangat, seolah dunia belum pernah sempat menyakitinya.“Kenapa anak-anak zaman

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status