Udara malam menyelimuti halaman rumah bergaya kolonial di bilangan Kemang, lembut tapi menyisakan rasa kosong.
Lampu-lampu taman yang kekuningan menyinari kerikil-kerikil jalan setapak, menciptakan bayangan panjang pepohonan yang seolah ikut diam memperhatikan.
Di dalam mobil hitam yang terparkir rapi di depan gerbang besi tempa, Nadira duduk bersandar di kursinya.
Aroma lembut parfumnya masih menggantung samar di udara, bertabrakan dengan jejak samar hairspray dari salon yang baru saja ia tinggalkan.
Ia menghela napas pelan, seperti melepaskan sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.
“Mahesa, pandanganmu ke depan,” katanya pelan, suara itu nyaris tenggelam dalam deru angin malam.
“Mari kita lanjut jalan masing-masing.”
Langkahnya mantap meninggalkan bangunan bercermin kaca itu. Begitu pintu salon berderit terbuka, sosok Danu langsung berdiri dari bangku trotoar, wajahnya tegang, rahang mengeras menahan cemas.
“Tuan Wulandaru, An
Nadira tak pernah membayangkan bahwa si "calon bintang basket kampus", yang dulu hanya ia dengar dari celoteh mahasiswa jurusan sebelah, kini berdiri di hadapannya—di tengah wangi kaldu dan bawang goreng dapur Rasa Nusantara—dengan celemek putih tergantung di pinggang, tangan sedikit gemetar memegang buku catatan kecil.Hidup memang pandai menyelipkan kejutan dalam sela-sela rutinitas."Namamu Dipa, ya?" suara Nadira mengalun pelan namun mantap, mengaduk-ngaduk ingatannya yang samar tentang nama itu dari obrolan teman-teman kuliahnya dulu.Dipa mengangguk kecil, matanya tak berani menatap langsung. Wajahnya merona, seperti habis tersengat matahari pagi."I-iya, saya Dipa," jawabnya tergagap.Angin sore menyusup lewat jendela kecil dapur, mengibaskan sedikit ujung jilbab Nadira saat ia menyipitkan mata meneliti wajah pemuda itu."Kamu ada hubungan apa dengan Ghani?"Sejenak, waktu seperti berhenti di sela-sela bunyi sayatan daging dan
Rasa Nusantara, restoran dengan interior hangat berbalut kayu jati dan lampu gantung temaram, dipenuhi aroma harum rempah yang seolah menggantung di udara.Di salah satu sudutnya yang tak terlalu mencolok, Nadira duduk sendirian, memandangi layar ponselnya.Senyumnya muncul perlahan, seperti bunga yang enggan mekar penuh, saat pesan dari Lukman masuk."Nggak usah ribet ke hotel deh. Di Rasa Nusantara aja, aku kangen masakanmu!"Bayangan tawa Lukman terngiang di benaknya, hangat dan ringan seperti angin sore yang menyusup lewat jendela dapur.Nadira membalas cepat."Lukman, kamu lagi ngidam apa malam ini?""Udah lama banget nggak makan bakso enak kayak buatan kamu."Bakso. Sederhana, tapi penuh kenangan. Nadira mengetik satu kalimat terakhir, pendek tapi mantap."Oke, biar aku yang urus."Sore itu, langkah Nadira cepat dan ringan. Bukan menuju rumah, seperti biasanya setelah jam
Setelah melangkah keluar dari gedung Akademi Olahraga yang bergaya kolonial modern, wajah Nadira terasa lebih ringan.Angin sore yang hangat menyapu rambutnya yang dikuncir longgar, dan derai tawa para lulusan muda masih terdengar samar di belakangnya.Ada sesuatu yang menular dari semangat mereka, seperti nyala api kecil yang menjalar diam-diam ke dalam hatinya.Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa... optimis.Aula besar kampus itu hari ini menjadi panggung bagi perayaan dan harapan. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu gantung berkilau, seperti kilauan masa depan yang belum tergenggam.Rektor, seorang pria paruh baya dengan suara tebal dan cara bicara lamban, berdiri di mimbar. Ia menyampaikan pidato panjang, kalimat-kalimatnya rapi tapi hambar, seperti sudah diulang terlalu sering.Namun kalimat pamungkasnya, “Hari ini kalian bangga pada kampus ini, suatu hari nanti kampus ini pun akan bangga pada kalian,” tet
“Kak, bisa fotoin kami nggak?”Suara ceria itu membuat Nadira menoleh. Di hadapannya berdiri seorang pemuda dengan wajah yang masih muda, segar, dan ada semacam semangat naif dalam sorot matanya.Sorot mata yang membuat Nadira, tanpa sadar, memandang sedikit lebih lama. Jernih. Penuh rasa ingin tahu.Seperti mata rusa yang baru pertama kali mengintip dunia di balik semak.Ia menatapnya lebih seksama. Anak muda ini tinggi—amat tinggi, mungkin nyaris dua meter. Sosoknya tegap, atletis, dan nyaris seperti keluar dari halaman komik olahraga.Jersey putih yang melekat di tubuhnya sudah basah oleh keringat, begitu pula ikat kepala yang menjinakkan poni yang sedikit menutupi dahi kecokelatannya.Kulitnya terbakar matahari, tapi bersih, sehat, seolah ia tinggal di lapangan lebih lama daripada di rumah.Tapi yang paling menonjol adalah ekspresinya, polos dan hangat, seolah dunia belum pernah sempat menyakitinya.“Kenapa anak-anak zaman
“Siapa anak kecil ini? Pak dosen, jawabannya bener nggak?”Suara mahasiswi itu melengking, penuh ketidakpercayaan, seakan tak percaya apa yang barusan didengarnya.Sang dosen langsung tertawa terpingkal, matanya berbinar penuh kenakalan. Ia menunjuk papan tulis di belakangnya, lalu menoleh pada para mahasiswa yang duduk dengan wajah kusut.“Lihat tuh! Anak kecil aja bisa jawab. Otak kalian isinya lem apa, hah?!”Seketika ruangan kelas yang pengap itu dipenuhi dengusan frustasi dan rintihan halus.Namun, suara kecil itu menyela, tegas dan bulat.“Aku bukan anak kecil,” Nadira mengangkat dagu, wajahnya tak goyah sedikit pun. “Aku udah sepuluh tahun!”Hening sesaat menyelimuti ruangan. Lalu terdengar gumaman tak percaya.Sepuluh tahun. Dan berhasil menyelesaikan soal yang membuat para mahasiswa tingkat akhir memutar otak sejak tadi pagi.Para mahasiswa mendekat satu per satu, penasaran, kagum, sedikit tersengat.“Dar
Tina yang sedari tadi manja seperti kucing yang sedang dielus, mendadak diam. Sorot matanya menajam, mengikuti arah pandangan Aidan.Dan di sanalah dia berdiri—Nadira. Tapi bukan Nadira yang biasanya. Tak ada lagi jaket blazer abu-abu dan sepatu kantor berhak dua senti yang sering membuat langkahnya terdengar seperti detik jam di ruangan rapat.Hari itu, ia muncul dalam balutan kemeja putih bersih yang menyatu manis dengan rona kulit kuning langsatnya, rok selutut yang ringan seperti ditiup angin laut, dan sepatu espadrille putih yang menambah kesan santai tapi tetap elegan.Langkahnya tenang, nyaris tanpa suara, tapi setiap geraknya seolah memahat udara. Ujung rok berayun lembut, menciptakan irama yang ganjilnya terasa familiar.Ada semacam aroma pagi yang belum sempat dikacaukan kebisingan kota. Sederhana, segar, memesona.Seperti baris puisi yang belum selesai ditulis.Aidan terdiam. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena da