“Kalau mau ngomong, ngomong aja. Jangan muter-muter kayak orang gagap. Kamu mau berlutut di situ sampai pagi?”
Nada suara Elvano seperti cambuk, dingin dan tegas. Di hadapannya, Veronika masih menunduk, lututnya menyentuh lantai marmer yang dingin dan sedikit lembap akibat udara malam.
Ruangan itu sepi, hanya suara jarum jam tua di dinding dan derik angin yang menyelinap lewat celah jendela.
Di luar, hujan mengguyur deras, menimbulkan denting rapat di atas atap rumah tua itu.
“Iya,” gumam Veronika akhirnya, suaranya nyaris tertelan suara hujan.
Ia mulai bicara, dengan suara lirih namun penuh luka.
“Tiga tahun lalu, nggak lama setelah kamu hilang, Rafka datang ke rumah. Dia cari ayahku. Mereka berdua bertengkar di ruang kerja karena pembagian warisan yang nggak adil…”
Veronika menggigit bibirnya, menahan ingatan yang menyesak. Malam itu terekam jelas dalam benaknya.
Angin mendesak masuk lewat jendela tua yang lupa ditutup rapat,
“Kalau mau ngomong, ngomong aja. Jangan muter-muter kayak orang gagap. Kamu mau berlutut di situ sampai pagi?”Nada suara Elvano seperti cambuk, dingin dan tegas. Di hadapannya, Veronika masih menunduk, lututnya menyentuh lantai marmer yang dingin dan sedikit lembap akibat udara malam.Ruangan itu sepi, hanya suara jarum jam tua di dinding dan derik angin yang menyelinap lewat celah jendela.Di luar, hujan mengguyur deras, menimbulkan denting rapat di atas atap rumah tua itu.“Iya,” gumam Veronika akhirnya, suaranya nyaris tertelan suara hujan.Ia mulai bicara, dengan suara lirih namun penuh luka.“Tiga tahun lalu, nggak lama setelah kamu hilang, Rafka datang ke rumah. Dia cari ayahku. Mereka berdua bertengkar di ruang kerja karena pembagian warisan yang nggak adil…”Veronika menggigit bibirnya, menahan ingatan yang menyesak. Malam itu terekam jelas dalam benaknya.Angin mendesak masuk lewat jendela tua yang lupa ditutup rapat,
Dipa hanya mengangguk singkat lalu masuk ke mobil Nadira dengan langkah mantap namun tenang, seperti seorang siswa teladan yang tahu dirinya tengah diawasi guru wali kelas.Hening mengisi udara di antara mereka, hanya suara mesin mobil dan lalu lintas malam yang menyelinap masuk lewat celah jendela.Lampu-lampu jalan menari di permukaan dashboard, memantulkan bayangan di wajah Dipa yang tampak lebih dewasa dari usianya."Kamu atlet basket," suara Nadira memecah keheningan, nada herannya dilapisi rasa penasaran yang sungguh-sungguh."Kenapa sekarang malah magang di dapur?"Dipa menoleh sekilas, lalu mengangkat bahu, sederhana. "Dari kecil aku suka masak. Cita-citaku jadi chef, sebenarnya. Tapi pas SMA aku tiba-tiba tumbuh tinggi dan kebetulan jago main basket. Masuk tim sekolah. Ghani pernah bilang, kalau bisa sampai tim nasional, itu bakal jadi kebanggaan buat negara."Suara Dipa tenang, tapi ada bara kecil yang menyala dalam intonasinya, me
“Nadira, aku baru bikin kopi segar. Mau?” tawar Dipa sambil menahan uap dari mug yang masih mengepul, aroma robusta yang baru diseduh melayang ringan di udara.Nadira hanya mengangguk kecil tanpa mengalihkan pandangan dari layar tablet di depannya. Jemarinya sibuk menggulir angka dan grafik, sementara mulutnya bergumam pelan, nyaris tak terdengar.Di hadapannya, sang manajer berdiri kaku, menunduk sedikit, seperti anak sekolah yang tertangkap membolos.“Tentu saja kita ingin untung,” ujar Nadira, suaranya lembut tapi tak membuka ruang debat, “tapi kualitas makanan juga harus ditingkatkan. Bahan baku, jangan sampai ada yang gak segar. Gak ada toleransi buat yang setengah-setengah. Dan soal kebersihan…”Ia berhenti sejenak, memutar tubuhnya ke arah jendela kaca yang memisahkan ruang rapat dari dapur.“Coba kamu lihat dapur kita. Kekacauan.”Ucapan itu terucap dengan tenang, tapi ada tajam halus yang menyusup di antara jeda kata. Manajer itu me
Ghani bersandar, menyipitkan mata. Suaranya terpotong tajam, seperti pisau yang mengiris tenang malam.“Malam itu aku juga ada di sana. Tapi bukan Ratu yang diincar Joni, melainkan aku.”Ia berhenti sebentar, menghela napas, membiarkan keheningan mengalir sesaat.“Ratu melindungiku. Ia duduk menemani Joni, membiarkannya menuang gelas demi gelas, bertahan sampai matahari hampir menyentuh garis cakrawala. Apa yang terjadi setelah itu... aku tidak tahu pasti.”Di sudut ruangan yang temaram, aroma tembakau melayang samar. Ratu mengisap rokoknya dalam-dalam.Asapnya berputar lambat di udara, seolah mengulur waktu.“Lalu... Joni mulai semakin berani,” katanya, nyaris berbisik, suaranya lirih, kosong seperti ruang yang tak lagi bisa diisi.“Dia minta aku dari Susilo. Dan Susilo, dengan muka datar seperti batu, memberikanku begitu saja. Seperti mucikari picisan yang kehilangan harga diri.”Ratu tertawa. Tawa pendek yang tidak punya nad
“Maaf, aku terlambat. Macet di Sudirman,” suara Lukman terdengar kalem, tapi tiap katanya membawa gema ketegasan, seperti langkah sepatu kulit di lantai marmer.Ratu dan Ghani langsung menyambutnya dengan senyum ramah, mencoba meredakan ketegangan yang sempat menggantung di udara.“Tenang saja, kamu datang tepat waktu,” ujar Ghani sambil menepuk punggung kursi kosong di sebelahnya.Namun Nadira, yang duduk santai dengan kaki bersilang, tak bisa menahan godaannya. Dengan senyum miring dan mata menyipit jahil, ia menyelutuk, “Kalau kamu datang lima menit lagi, bakso ini udah dingin, Luk.”Sekilas, wajah Lukman masih menyimpan sisa keseriusan, tapi akhirnya sudut bibirnya melunak, tersungging senyum tipis.Ia melepas jasnya perlahan dan menggantungnya di sandaran kursi, lalu berkata, “Kalau begitu, ayo langsung saja. Gara-gara bakso ini aku ngebut dari Ardiyanto ke sini.”Udara malam di teras restoran semi-terbuka itu dipenuhi aroma rempah dan
Nadira tak pernah membayangkan bahwa si "calon bintang basket kampus", yang dulu hanya ia dengar dari celoteh mahasiswa jurusan sebelah, kini berdiri di hadapannya—di tengah wangi kaldu dan bawang goreng dapur Rasa Nusantara—dengan celemek putih tergantung di pinggang, tangan sedikit gemetar memegang buku catatan kecil.Hidup memang pandai menyelipkan kejutan dalam sela-sela rutinitas."Namamu Dipa, ya?" suara Nadira mengalun pelan namun mantap, mengaduk-ngaduk ingatannya yang samar tentang nama itu dari obrolan teman-teman kuliahnya dulu.Dipa mengangguk kecil, matanya tak berani menatap langsung. Wajahnya merona, seperti habis tersengat matahari pagi."I-iya, saya Dipa," jawabnya tergagap.Angin sore menyusup lewat jendela kecil dapur, mengibaskan sedikit ujung jilbab Nadira saat ia menyipitkan mata meneliti wajah pemuda itu."Kamu ada hubungan apa dengan Ghani?"Sejenak, waktu seperti berhenti di sela-sela bunyi sayatan daging dan