Danu menunduk sedikit, jari-jarinya menari cepat di atas layar tablet. “Siap. Saya akan tangani langsung,” ucapnya dengan nada tenang tapi tegas.
Nadira hendak membuka suara lagi ketika Danu mendahului, nadanya seperti sudah tahu arah pembicaraan.
“Pak Hidayat, ya? Sayang banget punya keponakan kayak gitu.”
Senyum tipis terukir di wajahnya, namun matanya menyimpan sinyal waspada, seperti sudah terlalu sering menyaksikan kecurangan yang berulang.
Di sudut ruang, Veronika terlihat kaku. Bahunya sedikit terangkat, tangan menggenggam ujung tas seolah mencari pegangan.
Udara di sekelilingnya padat, berat oleh ketegangan yang belum sepenuhnya reda. Ia menelan ludah sebelum akhirnya berani bersuara, lirih namun jujur, “Nadira… aku nyusahin kamu, ya?”
Danu melirik ke arahnya, lalu mendekat dan menepuk bahunya ringan, seperti kakak yang ingin menenangkan adik.
“Tidak. Justru kamu membantu.”
“Hah?” Alis Veronika terangkat. “Bantu gimana?
Gilang muncul di ambang pintu, tubuhnya setengah diterangi cahaya senja yang tumpah dari jendela kaca besar.Langkahnya ringan, tapi mantap, membawa tas selempang berwarna krem yang tampak agak menggembung.Begitu melihat sosoknya, Nayaka bangkit dari sofa dan langsung memeluknya sebentar, hangat dan penuh kerinduan, seperti dua orang yang diam-diam menyimpan banyak cerita tak terucap selama bertahun-tahun."Gil," sapa Nayaka sambil menunjuk tas yang dibawa. "Bawa apa tuh?"Dengan senyum jenaka yang mengendap-endap di sudut bibir, Gilang mengangkat tas itu sedikit. “Hadiah ulang tahun dong, buat si kecil.”Tatapan Gilang kemudian beralih ke Nadira, yang duduk bersila di atas karpet, dikelilingi pita warna-warni dan serpihan tisu kado.Senyumnya melunak saat melihat aksesori rambut Nadira—hiasan bunga laut berkilau di sisi kepala—berpadu manis dengan wajah adik perempuannya yang mulai beranjak dewasa, namun masih menyimpan binar anak kecil di
Pintu gerbang Rose Garden mengatup rapat dengan dentuman logam yang membelah udara sore. Mahesa berdiri hanya beberapa langkah dari gerbang itu, wajahnya datar, tapi matanya tajam, seperti bilah pisau yang sedang diasah.Hujan belum turun, tapi udara sudah mengandung aroma tanah basah, pertanda langit akan pecah kapan saja.“Hei, kalian ini kenapa sih?” suara Rafael menggelegar, nadanya tak bisa diredam, “Begini caranya Keluarga Wulandaru memperlakukan tamu?”Namun Mahesa tak menjawab. Ia hanya meraih kerah Rafael dengan tenang dan menggiringnya kembali ke mobil, seolah ingin menyapu sisa emosi yang sempat membuncah.Tak ada letupan marah dari mulutnya, hanya ketegangan diam yang menggantung seperti petir yang belum menyambar.Begitu duduk di jok belakang, Mahesa memberi aba-aba singkat pada sopir, “Ke Rasa Nusantara.”Restoran mewah itu bukan tempat biasa. Tempat yang tak bisa dibooking sembarangan, kecuali oleh seseorang seperti Nadira Wul
Meski warna catnya nyaris menjeritkan selera yang dipertanyakan—ungu metalik menyilaukan dengan aksen kuning menyala di velg dan spoiler—mobil modifikasi itu meluncur lincah, menggeram lembut seperti predator yang sedang main-main dengan mangsanya.Asap tipis dari knalpotnya membentuk garis-garis samar di udara Jakarta Selatan yang mulai gelap, bercampur aroma bensin dan udara lembap setelah hujan sore.Nadira duduk di balik kemudi dengan ekspresi serius namun penuh kenikmatan. Tangan kirinya menggenggam kemudi ringan, sementara tangan kanan sesekali berpindah ke persneling dengan gerakan gesit, nyaris seperti penari yang hafal betul ritmenya.Jalanan yang basah, lampu-lampu jalan yang memantul di aspal, suara gemuruh mesin, semuanya menyatu dalam tarian liar mobil itu.Tama dan Nayaka berdiri di depan restoran kecil yang lampunya temaram, papan kayunya menggantung miring dengan tulisan "Warung Pagi Rasa Petang".Dari dalam dapur, Dipa muncul sambi
“Nayaka, sayang banget dia nggak bisa ikut makan bareng. Tapi liat deh hadiah dari kita!”Nada suaranya ringan dan ceria seperti lagu anak-anak. Dengan penuh semangat, Nayaka menyerahkan sebuah map cokelat ke tangan Nadira, seolah-olah ia baru saja menyelesaikan misi rahasia yang penting.Wajahnya memancarkan antusiasme polos, seperti anak SD yang baru saja mendapat bintang emas dari guru kelasnya.“Kita habiskan setengah hari cari ide. Dan akhirnya kita sepakat, ini dia hadiahnya!”Nadira memandangi map itu, alisnya mengernyit pelan. Jemarinya ragu menyentuh pita karet yang mengikatnya.Isinya foto? Surat? Kontrak kerja?Di seberangnya, Tama sudah tak sabar menyendokkan suapan demi suapan ke mulut sambil melirik ke arah map itu, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.Saat pita terlepas, Nadira menarik keluar isi mapnya dengan hati-hati. Bukan foto, bukan kontrak, bukan surat ucapan ulang tahun bergaya vintage.Melainkan… sele
Nggak ada orang yang bisa tahan lihat tatapan seperti itu.Tatapan Nadira, tajam namun dibalut kelembutan yang hanya muncul saat ia mencoba menyembunyikan peduli, menusuk tepat ke dada Dipa.Sorot matanya menyala di bawah cahaya lampu ruang tengah yang remang, membuat ekspresinya tampak lebih tegas dari biasanya.Tapi hanya lima detik—ya, lima detik sebelum garis di antara alisnya melonggar, bibirnya terangkat sedikit, dan napasnya mengalir keluar seperti menurunkan perisai."Ya sudah," katanya, suaranya melembut, “kali ini aku terima hadiahnya. Tapi ini pertama dan terakhir kali, ya. Jangan pernah bikin tangan kamu luka lagi.”Dipa langsung sumringah. Wajahnya mekar seperti anak kecil yang akhirnya dibolehkan makan permen setelah seharian menahan diri.Dia mengangguk cepat, matanya berbinar penuh semangat."Iya! Siap!"Nadira menyipitkan mata, separuh geli separuh gemas. “Anak kecil banget sih,” gumamnya sambil mengangkat tang
“Semua udah siap?” tanya Nadira, langkahnya ringan menuju dapur yang remang-remang diterangi cahaya matahari sore yang menembus kisi-kisi jendela.Aroma kayu manis dari panci kecil di atas kompor menyatu dengan wangi citrus dari sabun cuci piring yang baru dipakai.Namun, sebelum ada yang menjawab, sesuatu yang sejuk menyentuh tengkuknya. Nadira refleks berhenti.Ada yang menggantung di lehernya. Ia menunduk sedikit, lalu matanya tertumbuk pada seutas rantai emas pucat dengan liontin kecil berbentuk wajah tersenyum, menggantung ringan di kulitnya yang hangat.“Hadiah ulang tahun,” suara Dipa terdengar pelan namun jelas di telinganya. “Selamat ulang tahun, Nadira.”Nadira berbalik perlahan, napasnya terjebak sesaat. Senyum Dipa tampak malu-malu, tapi ada kebanggaan kecil yang menyembul dari sorot matanya.Jantung Nadira mencubit hangat. Tapi seperti biasa, mulutnya memilih jalur logika. “Kamu masih mahasiswa, kenapa kasih hadiah mahal begini?