Ponsel Ada bergetar pelan di balik tas tangannya yang tertata rapi di atas meja kaca. Saat ia melihat nama yang terpampang di layar, alisnya terangkat sedikit, matanya menyipit seolah mengingat kembali seseorang dari masa lalu.
Suara dari seberang terdengar cepat dan penuh antusias, memberi kabar bahwa Pradana Group ingin menjajaki kerja sama.
Nada bicara itu mengisyaratkan sesuatu yang besar sedang dimulai.
Namun, di sudut lain kota, kabar itu jatuh ke telinga Nadira seperti daun kering ke tanah basah, nyaris tanpa gema.
Ia tengah berdiri di belakang layar monitor, matanya tajam memantau proses syuting iklan terbarunya.
Lampu-lampu studio menciptakan bayangan samar di wajahnya, sementara kipas angin industri di pojok ruangan menderu pelan, mencoba menandingi ketegangan yang menggantung di udara.
Begitu Ada menyampaikan kabar itu, Nadira tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang dingin, terukur, nyaris sinis.
Sudut
Nggak ada orang yang bisa tahan lihat tatapan seperti itu.Tatapan Nadira, tajam namun dibalut kelembutan yang hanya muncul saat ia mencoba menyembunyikan peduli, menusuk tepat ke dada Dipa.Sorot matanya menyala di bawah cahaya lampu ruang tengah yang remang, membuat ekspresinya tampak lebih tegas dari biasanya.Tapi hanya lima detik—ya, lima detik sebelum garis di antara alisnya melonggar, bibirnya terangkat sedikit, dan napasnya mengalir keluar seperti menurunkan perisai."Ya sudah," katanya, suaranya melembut, “kali ini aku terima hadiahnya. Tapi ini pertama dan terakhir kali, ya. Jangan pernah bikin tangan kamu luka lagi.”Dipa langsung sumringah. Wajahnya mekar seperti anak kecil yang akhirnya dibolehkan makan permen setelah seharian menahan diri.Dia mengangguk cepat, matanya berbinar penuh semangat."Iya! Siap!"Nadira menyipitkan mata, separuh geli separuh gemas. “Anak kecil banget sih,” gumamnya sambil mengangkat tang
“Semua udah siap?” tanya Nadira, langkahnya ringan menuju dapur yang remang-remang diterangi cahaya matahari sore yang menembus kisi-kisi jendela.Aroma kayu manis dari panci kecil di atas kompor menyatu dengan wangi citrus dari sabun cuci piring yang baru dipakai.Namun, sebelum ada yang menjawab, sesuatu yang sejuk menyentuh tengkuknya. Nadira refleks berhenti.Ada yang menggantung di lehernya. Ia menunduk sedikit, lalu matanya tertumbuk pada seutas rantai emas pucat dengan liontin kecil berbentuk wajah tersenyum, menggantung ringan di kulitnya yang hangat.“Hadiah ulang tahun,” suara Dipa terdengar pelan namun jelas di telinganya. “Selamat ulang tahun, Nadira.”Nadira berbalik perlahan, napasnya terjebak sesaat. Senyum Dipa tampak malu-malu, tapi ada kebanggaan kecil yang menyembul dari sorot matanya.Jantung Nadira mencubit hangat. Tapi seperti biasa, mulutnya memilih jalur logika. “Kamu masih mahasiswa, kenapa kasih hadiah mahal begini?
Lukas hanya tertawa santai, suara tawanya ringan seperti riak di permukaan danau yang terkena angin sore.“Namanya juga muka tembok,” ucapnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket, ekspresi wajahnya seolah tak pernah mengenal kata malu.Nadira memutar bola mata dengan tajam, bibirnya membentuk seringai sinis. “Itu urusanmu. Tapi jangan GR. Kamu bahkan enggak masuk daftar cadangan,” katanya, nada suaranya seperti es yang baru saja keluar dari freezer.Tanpa ragu, ia mendorong bahu Lukas dengan sikap yang dingin, cukup kuat untuk menunjukkan bahwa keberadaannya tidak diinginkan.“Pergi sana.”Namun Lukas tetap berdiri di tempat, menyeringai penuh harap, seperti anjing rumahan yang menunggu tuannya berbaik hati.“Aku serius. Biar kakak-kakakmu lihat. Siapa tahu mereka suka dan mau jadi mak comblang buat kita.”Mata Nadira menyipit. Ia menoleh perlahan, gerakannya tenang namun tajam, seperti pisau yang baru diasah.“Kalau be
Nadira mencelos. “Aduh... ganggu banget,” gumamnya dengan suara malas, matanya masih setengah terpejam.Udara pagi menyelinap dari celah gorden, membawa aroma rumput basah dan sisa embun yang belum menguap.Dengan gerakan malas, ia menyeret tubuhnya menuju jendela, lalu membuka kaca sambil mengerutkan alis.Dari lantai dua rumah bergaya kolonial itu, pandangannya langsung jatuh pada sosok yang berdiri di halaman depan: Lukas Prabawa, lengkap dengan jas abu terang, senyum menyebalkan… dan seekor kuda putih yang berdiri tegak di sampingnya.Kuda putih.Lukas mengangkat tangannya tinggi-tinggi, melambai antusias seperti anak kecil yang baru saja memenangkan undian.“Turun dong! Aku bawa hadiah spesial buat kamu!”Langkah Nadira ringan saat menuruni anak tangga, tapi bukan karena ia antusias bertemu Lukas. Ada sesuatu yang lain… sesuatu yang jauh lebih menggoda dari sekadar senyum pria itu.Begitu kakinya menyentuh rumput halaman,
“Adam ngasih kamu libur? Wah, itu sih luar biasa,” ujar Nadira sambil mengangkat alis, lalu menunduk pelan dan menyeka dahi adiknya yang lembap dengan saputangan sutra bermotif lembayung.Suara kipas langit-langit menderu pelan, menyapu udara siang yang gerah ke seluruh penjuru ruang tamu yang luas dan dingin berkat pendingin ruangan.Aroma mawar segar dari vas di meja marmer menyelinap ke sela-sela percakapan mereka.“Dia kan biasanya kerja terus,” tambah Nadira dengan senyum geli, lalu mencolek ujung hidung Veronika dengan gaya manja yang hanya dimiliki kakak sulung yang tahu betul titik lemah adiknya.“Dasar kamu, manja banget.”Tepat saat itu, Danu melangkah masuk dengan suara pintu berderit halus dan matanya langsung menangkap pemandangan: dua perempuan cantik yang sama-sama punya sinar bintang, tengah larut dalam dunia kecil mereka sendiri.Ia mendadak kaku, tangannya sempat terangkat, bingung apakah harus menyapa atau mundur perlahan.
"Jangan-jangan Andra pindahin seluruh istana ke sini..."“Oh my God!”Mata Veronika nyaris melompat dari tempatnya, membelalak saat memasuki ruang tamu yang kini berubah rupa bak gudang harta.Tumpukan kado menjulang tak karuan, seolah dinding ruangan ikut merapat untuk memberi tempat.Kotak-kotak beraneka ukuran dibungkus dalam kilauan emas, perak, dan warna-warna pastel yang membelai mata.“Nadira, siapa yang ngirim semua ini? Banyak banget!” serunya, menoleh ke arah Nadira seperti minta konfirmasi atas keajaiban yang terpampang nyata di depannya.Nadira hanya menghela napas pelan, tanpa menjawab. Dalam hatinya, sudah bisa menebak. Tak perlu jadi cenayang untuk tahu siapa dalangnya.Ayahnya, Andra, memang punya bakat luar biasa dalam hal satu ini: pamer.Sementara itu, Senja sedang jongkok di antara barisan kado, mencatat jumlahnya di buku kecil. Ia berdiri dan menyerahkan sebuah amplop ke Nadira.“Tadi pagi ada bebera