Beberapa tangan sudah setengah terangkat, jari-jarinya nyaris mencubit pipi Dipa yang merona. Tawa dan godaan mengambang di udara seperti balon-balon sabun, ringan tapi nyaris meletus jadi kehebohan.
Tapi sebelum aksi iseng itu benar-benar terjadi, Nadira maju satu langkah, seolah menarik garis tak kasatmata di antara mereka.
“Dia yang masak buat kalian malam ini, lho,” katanya, nada suaranya setengah menggoda, setengah peringatan.
“Kalau nggak mau makanannya hambar, atau malah dikasih bumbu spesial yang nggak kamu pesan, ya hormatin dong.”
Kata-kata itu meluncur halus, tapi cukup tajam untuk menusuk kesadaran semua yang hadir. Suasana yang semula penuh tawa mendadak surut, seperti ombak yang kembali ke laut.
Kursi-kursi ditarik, percakapan mereda, dan para staf pun duduk kembali dengan lebih sopan. Tak ada yang berani bercanda lebih jauh soal dapur.
Mereka tahu, di dunia Nadira, dapur itu medan sakral.
Senyum tipis muncul di wajah Na
Bukan Nadira yang berubah. Ia hanya menarik kembali apa yang dulu sempat ia buka: sisi lembutnya, yang dulu hanya Mahesa yang bisa menjamah.Kini, sisi itu menghilang seperti kabut pagi yang disapu angin. Yang tertinggal adalah tajamnya tatapan, dinginnya nada, dan ketegasan langkah yang menggelegar di tiap ruangan yang ia lewati.Suara Rafael menembus lamunan Mahesa seperti ketukan jari di permukaan kaca.“Pak Mahesa, tadi sempat bicara sama Mbak Nadira?” tanyanya santai, tapi matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang terlalu besar untuk disembunyikan.Mahesa hanya menoleh sekilas, bibirnya menekan satu helaan napas yang nyaris menjadi dengusan.“Kenapa cepat banget keluar? Sayang banget, padahal kesempatan langka,” lanjut Rafael, lalu tertawa kecil, “Kita udah bikin Teguh panik banget, lho. Dia kira kita mau nyulik dia. Apa saya perlu siapin bingkisan buat minta maaf?”Mahesa mendesis, lelah, “Lakukan saja apa yang menurutmu perlu.”
“Nadira, benda antik ini berasal dari zaman apa, sih? Kenapa kelihatannya mirip kayak enamel?”Tama mencondongkan tubuhnya, alisnya menyatu dalam ekspresi penasaran. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantul samar di permukaan botol porselen yang ia pegang, membuat warnanya tampak hidup sesaat.Nadira berdiri tak jauh dari sana, dikelilingi rak-rak kayu tua yang penuh barang antik dari berbagai zaman.Udara di ruangan itu berbau kayu tua dan kertas usang, membawa kesan masa lalu yang tak lekang. Ia meraih botol itu dengan hati-hati, seperti sedang menyentuh sesuatu yang memiliki napasnya sendiri.“Ini bukan enamel,” ucapnya perlahan, suaranya mengalun lembut namun penuh keyakinan. Jemarinya yang ramping menelusuri garis halus di permukaan botol.“Ini porselen lima warna, dari masa Renaisans. Kemungkinan besar dari era Kaisar Gilang.”Cahaya kekuningan dari lampu minyak kecil di pojok ruangan membelai wajahnya, memantulkan semangat di ma
Di ambang tangga restoran tua yang menghadap taman kecil bercahaya lampu-lampu gantung, Mahesa berdiri terpaku.Langit senja belum sepenuhnya padam, dan udara hangat yang mengambang membawa aroma bunga melati dari pot-pot besar di dekat pintu masuk.Matanya tak beralih, menatap sosok di dalam ruangan.Nadira.Gadis itu berdiri di tengah kilau lampu gantung kristal, dikelilingi keluarga dan suara obrolan hangat yang belum mereda.Gaun merah yang membungkus tubuhnya tampak seperti ciptaan dari dongeng klasik, motif sisik ikan mengilap halus ketika disentuh cahaya.Sanggulnya tinggi, rapi, dihiasi tusuk konde berujung burung phoenix ungu yang tampak seolah hendak terbang.Lehernya yang jenjang berhias kalung emas pucat, liontin wajah tersenyum yang ganjil tapi entah kenapa, serasi dengannya.Mahesa menahan napas. Kerongkongannya mengering.“Lehermu…” suaranya lirih, hampir tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendir
Nadira tak banyak berkata. Wajahnya datar, tenang seperti danau sebelum badai. Ia mengangkat sebuah ketapel otomatis berwarna hijau tua, hadiah dari Tara saat kumpul keluarga tahun lalu, dan mengarahkannya tanpa ragu.Gerakannya cepat dan mantap, nyaris tanpa suara. Tama sontak menunduk, berlindung di balik tubuh Gilang seperti anak ayam di bawah induknya, meski tubuh Gilang tak cukup lebar untuk jadi perisai.Di seberang ruangan, Nayaka belum selesai menyelesaikan leluconnya. Sudut bibirnya masih mengangkat sisa tawa saat matanya melirik ke arah Nadira.Tapi ekspresi sang adik membuatnya berhenti sejenak, ragu. Dahi Nadira berkerut, rahangnya mengeras.Nayaka menghela napas, mencoba meredakan tensi dengan gaya santainya yang khas. “Aku nggak pernah ngerti,” ujarnya sambil mengangkat bahu, “adik kita ini dari kecil jeniusnya nggak kira-kira. Main kecapi, catur, kaligrafi, melukis… semua langsung bisa. Guru-guru privat sampe antre minta jadi mentornya.”
"Ogah," sahut Nadira cepat, tanpa pikir panjang, suaranya tegas namun penuh gugup yang disembunyikan di balik sikap keras kepala.Ia menyilangkan tangan di dada, dagunya sedikit terangkat seperti hendak menantang siapa pun yang berani menyuruhnya."Aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa nari. Masa aku harus pecahin batu di dada juga?"Tara yang duduk menyender di sofa sambil memainkan ujung rambutnya, menimpali dengan santai, “Bisa aja sih, kalau kamu niat.”Nadira menyambar segenggam kuaci dari mangkuk di meja dan melemparkannya ke arah Tara. Beberapa butir kuaci mengenai pipi dan rambut Tara, sisanya berceceran di lantai.“Pergi sana!” Nadira melotot, tapi senyumnya hampir tak bisa ditahan.“Kamu tuh bisa nyanyi, kok,” sahut Nayaka sambil bersandar pada kursi rotan tua yang berderit setiap kali ia bergerak.“Suaramu merdu banget. Kayak suara burung murai di pagi hari.”“Bener,” tambah Tama, yang sedang duduk bersila di lantai samb
Aroma gurih sup yang hampir matang merayap dari dapur, menyusup pelan ke sudut-sudut rumah kayu bergaya kolonial itu.Uap tipis mengepul dari panci yang dibiarkan terbuka sedikit, sesekali bergoyang halus oleh angin sore yang menyelinap dari jendela yang tak sepenuhnya tertutup.Di antara kehangatan itu, Nadira menyelipkan ketapelnya ke dalam saku apron dan tersenyum kecil.“Boleh,” katanya sambil menatap isi panci, “sebentar lagi sup-nya matang.”Seakan menjawab ucapannya, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Dipa muncul membawa semangkuk sup hangat, aroma rempahnya langsung menguar begitu ia menjejakkan kaki ke ruang tengah.“Nona Nadira, apakah kita bisa mulai jamuannya sekarang?” tanyanya dengan nada sopan dan wajah yang berseri cerah.Nadira mengangguk, senyumnya ringan. “Bisa, kita mulai aja.”Saat meletakkan mangkuk di atas meja, mata Dipa sempat terpaku pada kalung liontin yang tergantung di leher Nadira.Liontin kec