Nadira paham betul, menghadapi Lukas itu seperti menantang gelombang laut. Makin ditahan, makin tinggi datangnya.
Makin diladeni, makin menjadi. Maka kali ini, ia memilih untuk tak meladeni sama sekali. Ia membuang muka, berpura-pura mengamati langit-langit ruangan, seolah ada sesuatu di sana yang lebih menarik dari keberadaan lelaki menyebalkan di hadapannya.
Lukas, yang memang sejak lahir sepertinya punya relasi khusus dengan makanan, langsung duduk dan menyambar satu ekor udang dari piring terdekat.
Tanpa malu, tanpa basa-basi. Suara gigitannya terdengar renyah, memotong suasana yang sempat hening.
“Ini bukan masakan kamu,” gumamnya sambil mengunyah, mata sedikit menyipit menakar rasa. “Bukan juga masakan Pak Nashiruddin. Tapi... yah, masih bisa dimakan. Rekrut chef baru, ya?”
“Kamu tuh cerewet banget,” sahut Nadira datar, masih enggan menatap ke arahnya.
Lukas tertawa pelan, senyum nakalnya terpulas jelas. “Emang! Dan kamu masih aja nyeb
"Dia bermain-main dengan terlalu banyak orang... Sepertinya dia sudah siap keluar dari industri ini."Kalimat itu menggantung di udara, tajam seperti embusan angin yang membawa firasat buruk. Dipa menatap Nadira dengan mata yang menyipit, mencoba menangkap sesuatu dari nada suara atau sorot matanya yang bisa menjelaskan semuanya.Tapi wajah Nadira tampak seperti topeng, rapat dan dingin. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja mengucapkan sesuatu seberat itu."Kenapa kamu bilang begitu?" Suara Dipa keluar lebih pelan dari yang ia maksudkan, nyaris berbisik.Namun ketegangan dalam nada bicaranya tidak bisa disembunyikan. Ada sesuatu yang menggigit di dadanya, naluri yang berkata bahwa semua ini pasti berkaitan dengan Ghani, kakaknya.Naluri yang tidak membutuhkannya menjadi detektif untuk tahu ada yang salah.Nadira memalingkan wajahnya, menatap jalanan lengang di luar jendela kafe tempat mereka duduk.Matanya menerawang, seolah
Wajah Nadira mengeras, sorot matanya berubah tajam, seperti langit mendung yang menyimpan hujan deras."Kakinya belum sembuh benar, kenapa malah ambil job akting? Mau bunuh diri?"Kalimat itu meluncur dingin saat ia memasuki ruang rawat, tanpa basa-basi. Nadira berdiri di kaki ranjang, lengan terlipat, seragam medisnya masih rapi meski sudah seharian berkutat di rumah sakit.Di hadapannya, Ghani terbaring pucat di ranjang pasien, pipinya cekung, rambutnya berantakan seolah tak sempat disisir.Namun di balik tatapan tegas itu, Ghani menangkap sesuatu yang lain. Ada semacam kepedulian tulus yang asing, yang tidak ia temukan di wajah para produser atau manajer yang selama ini hanya menghitung angka rating dan popularitas."Aku nggak apa-apa, dr. Wulandaru," katanya pelan, mencoba menahan nyeri yang menusuk dari lutut kirinya.Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Ini cedera lama. Aku sudah urus dengan baik."Nadira men
Anak itu biasanya setenang danau di pagi hari. Tapi hari ini, seolah ada riak yang tak bisa diredam. Kakinya tak berhenti bergerak di bawah meja, jari-jarinya menggenggam pinggir kursi, matanya menatap kosong ke luar jendela, tapi jelas ada badai kecil yang sedang berputar di balik sorotnya.Tak ada satu pun kata yang keluar untuk menjelaskan, hanya sunyi yang terasa berat.Karena itu, suara di ujung telepon terdengar cemas namun penuh harap.“Anak ini biasanya tenang banget. Tapi kali ini dia gelisah bukan main. Tapi dia nggak mau cerita apa-apa. Jadi aku hubungi kamu, siapa tahu bisa bantu cari tiket buat dia...”“Aku urus sendiri. Kamu nggak perlu khawatir,” jawab Nadira mantap. Suaranya tenang, tapi cepat dan tanpa ragu, seperti seseorang yang sudah mengambil keputusan sejak sebelum kalimat itu selesai diucapkan.Begitu panggilan berakhir, Nadira langsung menekan nomor Dipa. Tak ada basa-basi, tak ada ruang untuk ragu.Begitu tersambung,
Mahesa duduk tegak di seberang meja batu, tepat di hadapan Lukas. Kedua tangannya bersedekap, tubuhnya nyaris tak bergerak, seperti patung batu di tengah taman yang lengang.Tapi matanya, tajam seperti ujung belati, menancap pada Lukas dengan pandangan penuh siaga. Bibirnya terkatup rapat, seakan menahan sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata."Jago naik kuda? Dari mana dia dapat rasa percaya diri itu?" gumamnya dalam hati, tak sudi mengalihkan sorot matanya.Lukas, tampak lebih santai, menyalakan fitur speakerphone dan meletakkan ponsel di atas permukaan meja yang dingin.Batu meja itu memantulkan cahaya matahari sore yang jatuh dari sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan bergerigi di wajah Zayyan yang duduk di sisi kanan.Suasana hening sejenak, hanya diiringi suara burung-burung kecil dari kejauhan dan deru angin yang menggoyangkan ranting.Lalu suara Nadira terdengar, jernih namun sedikit tergesa dari seberang sambungan, “Aku lagi sib
Udara sore menyusup perlahan dari jendela yang terbuka setengah. Tirai tipis berayun pelan, seolah ikut menenangkan hati dua insan yang tengah duduk berdampingan di ruang keluarga yang kini terasa lebih luas dari biasanya.Rak buku tua berdiri tenang di sudut, sebagian lampunya redup, memancarkan cahaya hangat kekuningan yang membingkai foto-foto lama di dinding.Nadira dan Nayaka duduk dalam diam, menghadap bingkai kayu besar yang berisi potret kedua orangtua mereka.Dalam foto itu, sang ayah tampak memeluk bahu ibu mereka, keduanya tersenyum penuh kehidupan.Sekilas, Nadira menahan napas, seakan bisa mencium lagi wangi sabun khas Ibunya, atau mendengar tawa Bapak dari belakang dapur.Keheningan pecah saat Nayaka perlahan berdiri. Suara gesekan kain sofa terdengar samar. Ia menatap adiknya, dan tanpa banyak kata, mengulurkan tangan, mengusap lembut rambut Nadira yang sudah ditata rapi sejak pagi.Matanya memancarkan kehangatan, ada sesuatu
Mahesa mengangkat botol kaca itu dengan tangan kanan yang dibalut perban putih tipis, sudah mulai tembus warna merah muda dari luka yang belum kering.Ia berniat menuangkan wiski ke dalam gelas, tapi tangan Lukas lebih cepat, menahan gerakannya dengan tegas.“Lo luka, masih juga mau minum? Mau infeksi, hah?” Nada suara Lukas seperti gabungan antara kesal dan cemas, matanya mengerjap cepat, penuh teguran.“Cuma luka kecil,” jawab Mahesa dengan enteng, menepis tangan sahabatnya. “Gak papa.”Tanpa menunggu tanggapan, ia menuang dua gelas penuh. Cairan keemasan itu mengalir mulus, memantulkan cahaya lampu gantung yang hangat di ruang tamu kayu tua mereka, menciptakan ilusi seolah api menari di dasar gelas.“Minum,” katanya pendek, menyodorkan satu gelas. “Temani gue.”Lukas menatap gelas itu sebentar. Pandangannya tersangkut pada pantulan cahaya di permukaan minuman, lalu sebuah senyum samar mengendap di wajahnya.Senyum yang lebih banyak