Langit di luar kantor tampak cerah, membentang biru tanpa awan, seolah tak tahu bahwa di balik kaca tebal lantai delapan sebuah gedung perkantoran, sedang berlangsung percakapan yang begitu absurd hingga membuat waktu seakan berhenti berdetak.
Seperti hari-hari biasa, selalu ada saja tamu tak diundang yang datang seenaknya. Tak peduli jam, tak peduli suasana, berharap perlakuan istimewa hanya karena merasa dirinya penting.
Lukas Prabawa adalah salah satunya.
Pintu kaca terbuka pelan dengan suara dentingan yang nyaris tidak terdengar. Lukas melangkah masuk, mengenakan jas abu-abu yang menggantung asal di tubuhnya.
Senyum tipisnya muncul sebelum sempat siapa pun menyadari kehadirannya. Nadira yang tengah berdiri di dekat meja, menatapnya dengan ekspresi seperti sedang menahan rasa asam yang tiba-tiba naik ke tenggorokan.
“Pak Prabawa,” tegurnya dingin, tidak menunggu sapaan atau basa-basi. “Lain kali kalau mau ketemu saya, buat janji dulu. Saya ini s
"Eh, jangan tendang dong," keluh Danu sambil tertawa kecil, berusaha menahan kaki Veronika yang mengayun liar.Veronika, separuh sadar, tergeletak miring di atas kasur putih berseprai kusut. Wajahnya bersemu merah, seperti tersaput warna anggur muda, dan matanya yang setengah terpejam terlihat sayu tapi berkilau.Nafasnya sedikit berat, hangat dengan aroma manis minuman keras yang masih tertinggal di lidah.Danu menatapnya lekat-lekat, senyumnya tak bisa disembunyikan. Pipi Veronika, bulat dan montok, terlihat begitu menggoda untuk disentuh.Ia tak kuasa menahan godaan dan mencubitnya pelan, jari-jarinya menyentuh kulit yang selembut tahu sutra.Namun, bukannya lemah seperti yang ia kira, Veronika malah spontan menarik tangan Danu dan dengan kekuatan mengejutkan, menyeret tubuh laki-laki itu mendekat.Danu kehilangan keseimbangan. Tubuhnya condong ke depan, dan dalam sepersekian detik, bibir mereka bersentuhan.Singkat, panas, dan tak
“Eh, saya bilang saya nggak mau masuk...!”Suara Jais pecah seperti pecahan kaca, panik dan enggan, saat tubuh renta itu digotong perlahan melewati gerbang besi berkarat Rose Garden.Langkah-langkah Danu dan Tama mantap, namun tak sepenuhnya lembut, dan Jais meronta seperti bocah yang dipaksa mandi pagi-pagi buta.“Tolooong!” teriaknya lagi, seperti aktor sandiwara yang tak pernah kehilangan panggung.Tama nyaris tersungkur menahan tawa. “Jais makin manja saja,” ujarnya sambil melirik Nadira, senyumnya jahil, penuh kenakalan khas kakak yang tahu kelemahan adiknya.“Kamu persis seperti dia. Maklum, kamu dibesarkan sama dia.”Tangan Tama yang hangat menyentuh lembut ujung hidung Nadira. Gadis itu merespons dengan cemberut manja, matanya memicing, tapi senyumnya tak bisa ia sembunyikan.“Saya ini jauh lebih nurut daripada Kakek,” katanya, setengah merajuk, setengah bangga.Tama mengangkat alis, separuh geli, separuh ingin kabur da
Veronika tercekat sejenak sebelum akhirnya melangkah cepat, lalu merengkuh tubuh kurus Jais ke dalam pelukannya.Tangannya menggenggam erat kain lusuh di punggung lelaki tua itu, dan matanya basah oleh air yang nyaris tumpah.Suaranya lirih, nyaris pecah.“Kakek… ke mana saja selama tiga tahun ini? Kami cari ke mana-mana, tapi tak pernah ketemu...”Pelukannya begitu erat, seolah ingin memastikan bahwa sosok yang dipeluknya bukan fatamorgana yang akan lenyap sewaktu-waktu.Sementara itu, aroma asap cerutu, debu jalanan, dan sedikit bau matahari terperangkap dalam baju kumal Jais, menghadirkan kesan nyata bahwa lelaki tua itu bukan hanya kenangan yang kembali.Jais menoleh perlahan, dan senyum tipis muncul di bibirnya. Tatapannya melembut saat melihat wajah cucunya yang dulu ditinggalkan, kini telah dewasa.“Bajuku kotor,” ujarnya pelan, seakan tak enak hati. “Nanti malah ngotorin gaun cantikmu… Lagipula, mumpung kaki masih kuat, saya k
“Aku nggak paham…” Veronika menggeleng pelan, matanya menatap kosong ke luar jendela mobil yang meluncur di bawah cahaya sore yang menyala keemasan.“Kenapa harus mengorbankan begitu banyak hanya demi status? Apa gunanya pernikahan seperti itu?”Udara di dalam kabin terasa hangat, dibungkus aroma samar parfum vanila yang keluar dari lubang AC.Nadira tak langsung menjawab. Ia menatap jalanan dengan mata setengah sayu, seperti sedang menggali ingatan yang berat di balik kata-kata Veronika.“Setiap perempuan beda-beda,” akhirnya ia berkata, suaranya nyaris seperti bisikan. “Ada yang kejar harta, ada yang kejar hati. Tapi… cinta sejati jauh lebih langka daripada harta dan ketenaran.”Ia menoleh, wajahnya tenang tapi matanya mengandung kilau pertanyaan. “Kalau kamu sendiri, kamu pilih yang mana?”Veronika menarik napas, lalu menunduk sebentar sebelum menjawab. “Harta bisa aku usahakan sendiri. Tapi suami yang setia… kalau nggak bisa dapat itu, l
Desis tajam Edison meluncur seperti ular ke telinga Aidan, nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk musik pesta yang mulai kehilangan arah.Tapi tatapan mereka berdua saling mencengkram, penuh tekanan. Belum sempat Aidan merespons, roda kursi Rafka berderit kasar, menyibak permadani merah yang terhampar di tengah aula mewah itu.Sorot matanya tajam seperti baja, rahangnya mengeras.“Apa yang sebenarnya terjadi? Dari mana datangnya perempuan yang mengaku hamil anakmu, Aidan?” suara Rafka membelah ruangan, nyaris menggema.“Edison, jelaskan ini sekarang juga!”Beberapa tamu yang sedang menyeruput champagne sontak menghentikan gerak, kepala mereka menoleh serempak.Denting gelas tak lagi terdengar, digantikan oleh kesunyian tegang yang nyaris menyesakkan.Edison menarik napas dalam, rahangnya menggertak sebelum ia mendekat, suaranya diturunkan menjadi bisikan geram.“Rafka, ini bukan waktunya. Aku pun tidak tahu siapa dia. Bisa
Ruang pesta itu semula terang dan penuh harap. Kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya seperti serpihan bintang yang terperangkap dalam ruangan.Lantunan musik gesek perlahan meredup, tenggelam oleh bisik-bisik tamu dan desiran napas tertahan.Aroma mawar putih dan anggur merah bercampur dalam udara yang terasa makin berat.Tina berdiri di atas panggung, gaun putih gadingnya menjuntai dengan keanggunan yang kini tampak murahan.Matanya membelalak, napasnya tersengal. Lalu, seperti letupan emosi yang tak lagi bisa dibendung, ia berteriak, “Satpam! Keamanan! Usir perempuan gila itu sekarang juga!”Teriakannya menggema, memantul dari dinding-dinding marmer ke sudut-sudut aula. Para tamu menoleh, kamera-kamera yang sedari tadi mengarah padanya kini bergerak liar mencari fokus baru: sosok perempuan di dekat pintu utama.Raina.Dia berdiri tenang, meski sorotan mata menusuk dari segala arah. Rambut panjangnya tergerai lem