Tawa ringan Nadira meluncur, nyaris seperti alunan piano yang pelan tapi tajam nadanya. Senyumnya muncul, tak sepenuhnya ramah, lebih seperti senyuman orang yang tahu bahwa ia menguasai permainan.
“Kalau Anda sudah semanis ini bicaranya,” katanya sambil meneguk teh yang mulai dingin, “baiklah saya jelaskan.”
Ruang makan restoran itu temaram, lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat ke meja mereka yang dihiasi serbet linen dan lilin ramping.
Aroma anggur merah dan daging panggang samar menyatu dengan keheningan antisipasi.
“Lahan itu memang dibeli dua paman saya, Pak Rafka dan Pak Elvano,” lanjutnya, sembari meletakkan cangkir ke tatakan dengan pelan, nyaris tanpa bunyi.
“Tapi saya tidak berniat mengubahnya jadi lapangan golf. Tanahnya tidak cocok, kontur dan kandungannya tak mendukung. Justru paling ideal dijadikan sirkuit balap.”
Lukas menyandarkan punggung, senyum mengembang di wajahny
Naura menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelombang panik yang mulai merayap dari dada ke tengkuk.Lampu-lampu gantung berkilauan di langit-langit ballroom mewah itu, tetapi tak mampu menghalau bayang-bayang yang mulai membayangi hatinya.Gaun putih panjangnya bergoyang lembut setiap kali ia mempercepat langkah, menghampiri Mahesa yang berdiri tak jauh di samping panggung.Tangannya menggenggam lengan Mahesa, dingin dan gemetar. Ia menunduk, berbisik di antara kerumunan suara tamu yang mulai resah.“Sayang, aku takut. Ini pasti ada yang menjahili kita.”Mahesa menoleh pelan. Ia tidak langsung menjawab, hanya mengusap punggung Naura dengan gerakan yang lambat, lembut, seperti mencoba meredakan badai.“Jangan takut,” katanya pelan, nada suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup untuk memberi Naura dorongan yang ia butuhkan.Mengambil napas panjang, Naura melangkah kembali ke tengah panggung. Ia merebut m
Nadira mengunyah keripik perlahan, rasanya nyaris tawar, seperti mulutnya lupa memberi perintah pada lidah.Di hadapannya, MC berdiri di panggung yang dihiasi taburan lampu gantung kristal, suaranya mengalun tenang dan bersahaja, seperti pembuka opera yang dipelajari berulang-ulang.Irama suaranya menggulung penonton dalam kesan tenang, sebelum badai yang belum tampak benar-benar tiba.Tepuk tangan mendadak membuncah. Nadira menghentikan kunyahannya, matanya terarah tajam ke depan.Mahesa telah berdiri di tengah panggung, bagaikan aktor utama dalam pementasan drama klasik. Lampu sorot menyusuri siluetnya, memantul di jas putih bersih yang ia kenakan.Warna itu membuat garis wajahnya tampak semakin tegas, menciptakan kontras ganjil dengan ekspresi dingin yang selalu ia kenakan seperti mantel yang tak pernah ditanggalkan.Nadira tahu betul bentuk pundak itu, cara ia berdiri dengan satu kaki sedikit ke depan, seolah tak pernah benar-benar santa
Tama mengerucutkan bibirnya pelan, jari-jarinya menari cepat di atas layar ponsel. Di grup WhatsApp Aliansi Anti-Pelakor, notifikasi muncul bertubi-tubi.Tama: Nadira ngotot nonton live-nya. Gue nggak bisa cegah. Gimana nih?Tara: Ya udah, biarin aja! Sekalian biar dia lihat kita bantu balas dendamnya!Gilang: Live? Bukannya Mahesa nggak undang media?Tama: Skill hacking Nadira gila, bro. Nggak ada CCTV yang nggak bisa dia tembus.Tara: Dasar lo nggak guna!Nayaka: Udah, biarin aja. Nadira udah suka sama Mahesa bertahun-tahun. Mungkin ini caranya biar dia benar-benar bisa move on.Dimas: Lanjutkan rencana.Langit Jakarta seharian menggantung murung, kelabu seperti perasaan yang menggumpal dalam dada Nadira.Awan hitam bergelayut di a
Begitu mereka melangkah keluar dari kamar ganti, membiarkan gaun satin pastel membalut tubuh mereka, keheningan menyergap sejenak.Lalu datang gelombang penyesalan, menyergap dalam diam yang getir. Gaun-gaun itu jatuh seperti ironi yang menggantung di pundak mereka, terlalu ketat di dada, terlalu panjang di ekor, dan terlalu kentara mempertegas betapa mereka tak lebih dari figuran dalam panggung megah milik Naura.Salah seorang bridesmaid—Rena—memandang bayangannya sendiri di cermin panjang ruang rias hotel bintang lima itu.Lampu-lampu kekuningan menggantung manis dari langit-langit tinggi, menyinari rambutnya yang dicatok setengah hati.Di sudut bibirnya, seulas senyum kecut mengendap. Dorongan untuk merobek gaun itu dan melemparkannya ke wajah Naura menari-nari dalam benaknya.Naura sendiri tampak bersinar, bukan hanya karena highlighter yang memantul sempurna di tulang pipinya, tapi juga karena aura percaya diri yang berlebih.
Tawa ringan Nadira meluncur, nyaris seperti alunan piano yang pelan tapi tajam nadanya. Senyumnya muncul, tak sepenuhnya ramah, lebih seperti senyuman orang yang tahu bahwa ia menguasai permainan.“Kalau Anda sudah semanis ini bicaranya,” katanya sambil meneguk teh yang mulai dingin, “baiklah saya jelaskan.”Ruang makan restoran itu temaram, lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat ke meja mereka yang dihiasi serbet linen dan lilin ramping.Aroma anggur merah dan daging panggang samar menyatu dengan keheningan antisipasi.“Lahan itu memang dibeli dua paman saya, Pak Rafka dan Pak Elvano,” lanjutnya, sembari meletakkan cangkir ke tatakan dengan pelan, nyaris tanpa bunyi.“Tapi saya tidak berniat mengubahnya jadi lapangan golf. Tanahnya tidak cocok, kontur dan kandungannya tak mendukung. Justru paling ideal dijadikan sirkuit balap.”Lukas menyandarkan punggung, senyum mengembang di wajahny
“Putar lagu,” bisik Nadira, suaranya nyaris tenggelam oleh dengung mesin mobil yang melaju pelan di tengah malam Jakarta.Danu, asisten setianya, hanya mengangguk singkat lalu menekan tombol pemutar musik tanpa bertanya lebih jauh.Nada-nada awal sebuah lagu lawas mulai mengalun, pelan dan berat, seolah menyusup dari balik kaca jendela yang berembun oleh pendingin ruangan.Lagu itu bercerita tentang perpisahan yang tak dielakkan, tentang cinta yang dahulu menyala kini tinggal bara yang hampir padam.Nadira memejamkan mata. Kepalanya bersandar di sandaran kursi, dan ia membiarkan dirinya terseret arus lagu itu.Saat bait demi bait mengalir, setiap kata seakan menari di ruang batinnya, menampar-nampar halus luka yang belum sembuh benar.Lagu itu menceritakan dua insan yang pernah begitu saling menggenggam, namun perlahan menjelma menjadi dua orang asing yang saling lewat di keramaian hidup.Tak ada ledakan, hanya senyap yang