Home / Rumah Tangga / Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi / Bab 4: Kembali dari Bayang-Bayang

Share

Bab 4: Kembali dari Bayang-Bayang

Author: Rizki Adinda
last update Huling Na-update: 2025-05-26 13:09:50

Sekretaris itu kembali, nafasnya memburu, wajahnya sepucat kertas. Di balik pintu kaca buram ruang rapat, cahaya neon memantul samar, menambah kesan tegang di koridor itu.

"Pak Rafka... ada kabar buruk," suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan angin yang terjebak di lorong sempit.

"CEO baru memanggil seluruh manajemen ke ruang rapat sebelah. Rapatnya hampir selesai..."

Sekejap, udara serasa mengental. Kursi-kursi berderit saat Rafka, Elvano, dan beberapa direktur lainnya bangkit bersamaan.

Sorot mata mereka tajam, seperti kawanan elang yang terusik.

"Apa?!" suara mereka nyaris serempak, penuh amarah yang mendidih. Dahi Rafka mengerut, pelipis Elvano berdenyut.

"Padahal kami sudah berjuang mati-matian untuk perusahaan ini!" suara Elvano melonjak, nadanya mengandung luka yang pura-pura.

"Berani-beraninya dia mengabaikan kami!"

Sekretaris itu menelan ludah. Jemarinya saling meremas gugup, matanya berusaha menghindari tatapan tajam para bosnya.

"Dan... CEO baru itu bukan laki-laki. Dia perempuan..."

Kata-kata itu jatuh seperti palu godam. Seisi ruangan seketika membeku. Tak ada yang bersuara, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan, mengiringi derasnya detak jantung masing-masing.

Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat utama terbuka. Ruangan itu dingin berkilau, dinding kacanya memperlihatkan lanskap Jakarta yang sibuk di balik langit mendung.

Di ujung meja panjang, di kursi paling megah, duduk sosok yang membuat napas Rafka dan Elvano tercekat.

"Nadira... Kamu?" suara Rafka nyaris tercekat.

Elvano melangkah satu setengah tapak, bibirnya terbuka, tapi tak ada kata yang sanggup keluar. Di hadapan mereka berdiri keponakan yang dulu mereka kira telah lenyap selamanya, kembali dengan mata setajam belati dan senyum tipis yang menyimpan misteri.

Tiga tahun lalu, desas-desus kematiannya menggelegar ke seantero keluarga. Nadira, ahli waris tunggal Wulandaru Group, dikabarkan jatuh dari tebing curam di hutan pegunungan Jawa Barat.

Jenazahnya tak pernah ditemukan. Mereka, yang menganggapnya telah menjadi bagian dari masa lalu, memanfaatkan kesempatan itu untuk membagi-bagi kekayaan keluarga, seperti serigala yang menyerbu bangkai.

Dan kini, di balik jendela besar yang basah oleh rintik gerimis, Nadira kembali. Tak sekadar hidup, tapi berkuasa.

Dengan anggun, Nadira menyilangkan kaki, tubuhnya bersandar ringan di kursi eksekutif. Ruang rapat kini seperti panggung miliknya.

"Paman Rafka, Paman Elvano... bukankah seharusnya kalian senang melihatku kembali?" suaranya lembut, namun mengandung bara.

Mata kedua pamannya saling bertatapan cepat, lalu berubah secepat aktor kawakan. Air mata pura-pura membasahi sudut mata mereka.

Mereka maju beberapa langkah, suara Rafka bergetar dramatis, "Syukurlah kau selamat, Nadira. Almarhum ayah-ibumu pasti lega di alam sana..."

Namun kursi Nadira terdorong pelan ke belakang, menjauh dari mereka. Wajahnya dingin, seperti patung marmer, kilatan matanya penuh amarah yang terpendam lama.

"Begitu, ya," ujarnya datar, nyaris berbisik, tapi cukup membuat keduanya kaku di tempat.

Tatapan Nadira menyapu seluruh jajaran direksi yang berdiri kaku seperti patung lilin. Mereka menahan napas, seakan takut salah gerak.

"Wulandaru Group dibangun dari darah dan keringat kedua orang tua saya," nadanya mengeras, tegas seperti palu ke meja.

"Kini saya kembali, dan waktunya semuanya kembali ke tempat yang seharusnya. Mereka yang setia akan saya hargai."

Matanya menyipit, menusuk ke arah dua pamannya yang mulai gemetar. "Tapi bagi mereka yang licik, yang mengkhianati kepercayaan keluarga kami... saya tidak akan beri ampun."

Sementara itu, di sebuah rumah sakit elit di Menteng, udara sore menebarkan aroma antiseptik bercampur bau samar hujan pertama.

Mahesa duduk di ruang tunggu VIP, sofa empuk cokelat muda menopang punggungnya, namun wajahnya justru tegang.

Ponselnya berdering, suara cempreng asisten terdengar di telinganya.

"Masih belum ada jejaknya? Apa kalian semua tidak berguna?" suara Mahesa datar, dingin. Jemarinya mengetuk-ngetuk lutut, ritmenya cepat, pertanda pikirannya berputar liar.

Asistennya terdiam sesaat, seperti menimbang kata. "Kami sudah memeriksa rekaman CCTV berulang kali. Nadira seperti lenyap begitu saja, Pak... Yang berhasil saya gali hanyalah data bahwa Nona Nadira berasal dari keluarga Yuniar. Kedua orang tuanya telah lama meninggal karena sakit."

Mahesa mengerutkan kening. Ruang tunggu itu seolah mengecil, dunia mengepung pikirannya. Ada sesuatu yang janggal.

Bagaimana mungkin perempuan itu menghilang dari radar begitu rapih?

Di sebelahnya, Naura bersandar manja, tangannya mengelus lengan Mahesa. Suaranya manja, namun bernada sinis.

"Dia cuma perempuan biasa. Sudah hilang, ya sudah lah. Yang penting sekarang aku di sini bersamamu, Mahesa."

Mahesa tidak menjawab. Pikirannya terbayang akan mata Nadira yang tenang, nyaris tanpa emosi, seperti permukaan danau yang dalam.

Kepergiannya yang tiba-tiba, kesederhanaannya, semua mulai menyusun pola aneh di benaknya.

Mungkinkah selama ini ia menilainya terlalu remeh?

"Pak," suara asisten itu kembali, "kami juga sudah mengirim orang ke Yuniar. Barangkali dia kembali ke kampung halamannya."

Mahesa menarik napas pelan, sorot matanya kini tajam seperti bilah es. "Kirim lebih banyak orang. Pantau semua akses keluar masuk. Tidak mungkin dia bisa menghilang begitu saja."

Ruang tunggu VIP itu tetap hening. Hanya bunyi rintik hujan di kaca jendela yang menemani kegelisahan yang mulai menguap perlahan di antara mereka.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 400: Janji di Bawah Pohon

    Di dapur yang hangat dengan sinar matahari pagi yang menyusup melalui celah jendela, Nadira terlihat sibuk mengaduk adonan pancake, sementara di sisi lain, Rebecca—anak bungsu mereka—tengah asyik menggambar di dinding dengan krayon warna-warni.Suasana di dapur itu tidak begitu rapi, tetapi itulah yang membuatnya terasa hidup dan penuh warna.“Rebecca! Itu dinding, bukan buku gambar!” Nadira berusaha mengingatkan dengan suara lembut, meski ada tawa kecil yang tak bisa ia tahan.Rebecca, dengan mata bulat yang penuh keingintahuan, menatap ibunya sejenak, lalu menjawab polos, “Tapi Ibu bilang imajinasi itu harus besar. Dinding kan besar.”Nadira tersenyum kecil, menahan geli. Kejadian seperti ini selalu menghadirkan rasa hangat di hatinya. Tak lama, Mahesa masuk ke dapur, membawa keranjang penuh daun bawang dan terong segar dari kebun kecil mereka.“Imaginasi boleh besar, asal jangan merambat ke ruang tamu,” katanya dengan senyum yang selalu mampu me

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 399: Mulai Dari Kopi yang Pahit

    Angin sejuk dari jendela dapur berdesir perlahan, membawa sentuhan lembut yang menenangkan di pagi yang baru saja pulih.Di luar, langit yang kelabu seolah mulai membuka diri, memperlihatkan seberkas cahaya tipis yang menyusup di balik awan yang perlahan menghilang.Suasana itu begitu hening, seperti pagi yang baru saja menyeka air mata malamnya. Nadira berdiri dekat Mahesa, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang selalu menjadi pelabuhan yang tak pernah berubah, meskipun banyak hal di sekitar mereka bergeser.Di tengah dapur yang sederhana dengan lantai keramik pudar, mereka berdiri bersama—tidak sempurna, tapi saling melindungi.Nadira memeluk Mahesa, bukan karena kata-kata manis yang pernah diucapkan, melainkan karena kehadirannya yang tak pernah pergi, yang selalu ada setiap kali dunia terasa begitu berat.Di tempat yang penuh keheningan itu, Mahesa, dengan tatapan mata yang dalam dan tenang, akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak bisa d

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 398: Aku Akan Tetap di Sini

    Mahesa menunduk, gelengannya lembut, seolah-olah kata-kata yang hendak keluar sudah bersusah payah mencari celah.“Enggak. Aku lakuin ini... karena aku mau,” ujarnya pelan.Kalimat itu terdengar sederhana, seperti aliran air yang tenang. Namun, bagi Nadira, seolah ada sesuatu yang menembus jauh ke dalam hatinya yang beku.Sesuatu yang hangat, mengalir perlahan hingga menyentuh bagian terdalam yang selama ini terasa mati rasa.Cinta... ternyata bisa begitu sederhana, bukan? Tak perlu janji bersumpah yang melambung tinggi, tak perlu pelukan yang meluap, atau kata-kata puitis yang bergelora.Kadang, cukup dengan kehadiran yang tulus, diam yang setia. Duduk bersama di sisi ranjang, tanpa perlu memberi harapan, tanpa perlu mencari jawaban—hanya ada keberadaan yang tidak tergantikan.Malam keempat, ketika tubuh Nadira sudah cukup kuat untuk duduk, Mahesa tetap di tempatnya. Tidak ada pertanyaan, tidak ada ungkapan cinta yang terucap.Namun,

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 397: Titik Tak Terlihat

    Kalimat itu, meskipun sederhana, seperti petir yang menggelegar. Mahesa menatap anaknya dengan tatapan yang tak mampu disembunyikan, penuh dengan rasa bersalah yang menggelayuti.Nadira ikut menatap Isa, namun matanya tak bisa lagi menahan genangan yang mulai mengalir, perlahan-lahan menetes.Suasana di ruang makan yang semula ramai tiba-tiba terasa sepi, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.Mahesa menarik napas dalam, seolah mencari kekuatan untuk melanjutkan kata-katanya. Suaranya pelan, tapi jelas, mengalir begitu berat.“Isa, kadang... dua titik itu nggak ketemu bukan karena mereka terlalu jauh. Tapi karena keduanya takut untuk saling menyentuh.”Isa menatapnya bingung, matanya penuh tanya. “Takut kenapa?” Suaranya terdengar seperti harapan yang belum pudar.Mahesa mengalihkan pandangannya ke meja, memfokuskan diri pada suapan terakhir yang ada di piringnya.“Takut kalau mereka saling bertemu, yang terlihat cuma luka,

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 396: Dua Titik yang Tak Pernah Bertemu

    Mahesa menatap adiknya dalam hening. Di matanya, ada rasa marah yang terpendam, namun lebih dari itu, ada kerinduan yang seolah sudah terlalu lama terkunci, menunggu saat yang tepat untuk meluap.Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, hanya terdengar desah napas mereka yang berat. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk minta maaf,” suara Mahesa terdengar serak.Ia menunduk sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat, lalu melanjutkan dengan pelan, “Tapi... aku ingin kesempatan, untuk menggantikan semua yang sudah aku tinggalkan.”Tiana terdiam, matanya tidak pernah lepas dari wajah Mahesa. Setelah beberapa saat yang panjang, dengan pelan, ia menggeser tubuhnya dari pintu dan melangkah mundur.“Masuklah,” katanya, suaranya masih terdengar tegas namun ada kelembutan yang disembunyikan di baliknya.Begitu Mahesa melangkah masuk ke rumah, udara di dalam terasa berat dengan kenangan yang menyelimuti setiap sudutnya.Dinding-dinding rumah yang

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 395: Kamu Kembali, Kan?

    Di balkon belakang rumah yang sunyi, Mahesa duduk diam di kursi kayu usang yang seolah tak pernah berubah sejak terakhir kali ia menempatinya.Di tangannya, sebuah jurnal tipis berisi catatan-catatan rehabilitasi yang dulu hanya ia anggap sebagai hal biasa—sekadar data medis dan jadwal terapi.Namun, hari itu, saat ia membuka halaman demi halaman, ada sesuatu yang berbeda. Di antara catatan medis, ada sisipan kertas kecil dengan tulisan tangan Nadira yang memecah kesunyian hatinya.“Hari ini kamu bisa menggenggam sendok sendiri. Terlihat kecil, tapi bagiku itu seperti melihat matahari terbit untuk pertama kali.”Tulisan itu mengalir seperti aliran air yang lembut, membawa kenangan tentang Nadira yang dulu selalu ada di sisinya, tak peduli seberapa besar beban yang ia bawa.Mahesa tersenyum tipis, menutup mata sejenak, merasakan hangatnya kata-kata itu, seperti hangatnya pagi yang perlahan menembus kabut.Halaman berikutnya menunjukkan kata-k

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status