Sekretaris itu kembali, nafasnya memburu, wajahnya sepucat kertas. Di balik pintu kaca buram ruang rapat, cahaya neon memantul samar, menambah kesan tegang di koridor itu.
"Pak Rafka... ada kabar buruk," suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan angin yang terjebak di lorong sempit.
"CEO baru memanggil seluruh manajemen ke ruang rapat sebelah. Rapatnya hampir selesai..."
Sekejap, udara serasa mengental. Kursi-kursi berderit saat Rafka, Elvano, dan beberapa direktur lainnya bangkit bersamaan.
Sorot mata mereka tajam, seperti kawanan elang yang terusik.
"Apa?!" suara mereka nyaris serempak, penuh amarah yang mendidih. Dahi Rafka mengerut, pelipis Elvano berdenyut.
"Padahal kami sudah berjuang mati-matian untuk perusahaan ini!" suara Elvano melonjak, nadanya mengandung luka yang pura-pura.
"Berani-beraninya dia mengabaikan kami!"
Sekretaris itu menelan ludah. Jemarinya saling meremas gugup, matanya berusaha menghindari tatapan tajam para bosnya.
"Dan... CEO baru itu bukan laki-laki. Dia perempuan..."
Kata-kata itu jatuh seperti palu godam. Seisi ruangan seketika membeku. Tak ada yang bersuara, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan, mengiringi derasnya detak jantung masing-masing.
Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat utama terbuka. Ruangan itu dingin berkilau, dinding kacanya memperlihatkan lanskap Jakarta yang sibuk di balik langit mendung.
Di ujung meja panjang, di kursi paling megah, duduk sosok yang membuat napas Rafka dan Elvano tercekat.
"Nadira... Kamu?" suara Rafka nyaris tercekat.
Elvano melangkah satu setengah tapak, bibirnya terbuka, tapi tak ada kata yang sanggup keluar. Di hadapan mereka berdiri keponakan yang dulu mereka kira telah lenyap selamanya, kembali dengan mata setajam belati dan senyum tipis yang menyimpan misteri.
Tiga tahun lalu, desas-desus kematiannya menggelegar ke seantero keluarga. Nadira, ahli waris tunggal Wulandaru Group, dikabarkan jatuh dari tebing curam di hutan pegunungan Jawa Barat.
Jenazahnya tak pernah ditemukan. Mereka, yang menganggapnya telah menjadi bagian dari masa lalu, memanfaatkan kesempatan itu untuk membagi-bagi kekayaan keluarga, seperti serigala yang menyerbu bangkai.
Dan kini, di balik jendela besar yang basah oleh rintik gerimis, Nadira kembali. Tak sekadar hidup, tapi berkuasa.
Dengan anggun, Nadira menyilangkan kaki, tubuhnya bersandar ringan di kursi eksekutif. Ruang rapat kini seperti panggung miliknya.
"Paman Rafka, Paman Elvano... bukankah seharusnya kalian senang melihatku kembali?" suaranya lembut, namun mengandung bara.
Mata kedua pamannya saling bertatapan cepat, lalu berubah secepat aktor kawakan. Air mata pura-pura membasahi sudut mata mereka.
Mereka maju beberapa langkah, suara Rafka bergetar dramatis, "Syukurlah kau selamat, Nadira. Almarhum ayah-ibumu pasti lega di alam sana..."
Namun kursi Nadira terdorong pelan ke belakang, menjauh dari mereka. Wajahnya dingin, seperti patung marmer, kilatan matanya penuh amarah yang terpendam lama.
"Begitu, ya," ujarnya datar, nyaris berbisik, tapi cukup membuat keduanya kaku di tempat.
Tatapan Nadira menyapu seluruh jajaran direksi yang berdiri kaku seperti patung lilin. Mereka menahan napas, seakan takut salah gerak.
"Wulandaru Group dibangun dari darah dan keringat kedua orang tua saya," nadanya mengeras, tegas seperti palu ke meja.
"Kini saya kembali, dan waktunya semuanya kembali ke tempat yang seharusnya. Mereka yang setia akan saya hargai."
Matanya menyipit, menusuk ke arah dua pamannya yang mulai gemetar. "Tapi bagi mereka yang licik, yang mengkhianati kepercayaan keluarga kami... saya tidak akan beri ampun."
Sementara itu, di sebuah rumah sakit elit di Menteng, udara sore menebarkan aroma antiseptik bercampur bau samar hujan pertama.
Mahesa duduk di ruang tunggu VIP, sofa empuk cokelat muda menopang punggungnya, namun wajahnya justru tegang.
Ponselnya berdering, suara cempreng asisten terdengar di telinganya.
"Masih belum ada jejaknya? Apa kalian semua tidak berguna?" suara Mahesa datar, dingin. Jemarinya mengetuk-ngetuk lutut, ritmenya cepat, pertanda pikirannya berputar liar.
Asistennya terdiam sesaat, seperti menimbang kata. "Kami sudah memeriksa rekaman CCTV berulang kali. Nadira seperti lenyap begitu saja, Pak... Yang berhasil saya gali hanyalah data bahwa Nona Nadira berasal dari keluarga Yuniar. Kedua orang tuanya telah lama meninggal karena sakit."
Mahesa mengerutkan kening. Ruang tunggu itu seolah mengecil, dunia mengepung pikirannya. Ada sesuatu yang janggal.
Bagaimana mungkin perempuan itu menghilang dari radar begitu rapih?
Di sebelahnya, Naura bersandar manja, tangannya mengelus lengan Mahesa. Suaranya manja, namun bernada sinis.
"Dia cuma perempuan biasa. Sudah hilang, ya sudah lah. Yang penting sekarang aku di sini bersamamu, Mahesa."
Mahesa tidak menjawab. Pikirannya terbayang akan mata Nadira yang tenang, nyaris tanpa emosi, seperti permukaan danau yang dalam.
Kepergiannya yang tiba-tiba, kesederhanaannya, semua mulai menyusun pola aneh di benaknya.
Mungkinkah selama ini ia menilainya terlalu remeh?
"Pak," suara asisten itu kembali, "kami juga sudah mengirim orang ke Yuniar. Barangkali dia kembali ke kampung halamannya."
Mahesa menarik napas pelan, sorot matanya kini tajam seperti bilah es. "Kirim lebih banyak orang. Pantau semua akses keluar masuk. Tidak mungkin dia bisa menghilang begitu saja."
Ruang tunggu VIP itu tetap hening. Hanya bunyi rintik hujan di kaca jendela yang menemani kegelisahan yang mulai menguap perlahan di antara mereka.
Udara kamar masih terasa berat, seperti sisa asap dari pertengkaran yang baru saja padam. Dinding-dindingnya bergeming, namun seolah menyimpan gema amarah yang belum sepenuhnya reda.Cahaya matahari pagi menembus tipis dari tirai krem yang belum sepenuhnya ditarik, menyentuh ujung tempat tidur dengan warna keemasan yang muram.Nadira menoleh perlahan, matanya menyapu sudut-sudut kamar hotel yang berantakan. Selimut tergulung setengah di tepi ranjang, sebotol air mineral tergeletak miring di meja kecil, dan sisa-sisa malam yang kacau menggantung di udara seperti bisikan.Ia tak benar-benar mencari sesuatu, lebih seperti menggali kemungkinan. Mungkin ada pintu keluar dari situasi yang rumit ini, atau setidaknya, celah kecil untuk bernapas.Mahesa menangkap gerakan kecil itu. Matanya yang tajam menelusuri wajah Nadira, lalu mengeras, seperti bara yang kembali dipantik.Urat di rahangnya menegang, dan nada suaranya nyaris pecah saat berbicara dalam hat
Nadira mengarungi mimpi panjang yang terasa aneh sekaligus menggelitik. Di dalam mimpi itu, Mahesa hadir sebagai sosok yang ganjil, mengajaknya dalam petualangan surealis yang penuh keintiman absurd, adegan demi adegan yang begitu eksplisit hingga terasa perlu disensor.Nadira sempat tertawa kecil, geli, sekaligus malu pada dirinya sendiri. Sensasi itu begitu nyata, begitu dekat, seperti bayangan yang menempel di kulit.Pelan, matanya terbuka, cahaya samar menyelinap lewat celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara kamar terasa hening, terlalu hening, seolah menunggu sesuatu."Hhh..." helaan napas panjang mengalir keluar dari bibirnya, nyaris seperti desahan lega, tapi tidak benar-benar melegakan.Mimpi itu masih membekas di kepalanya, menggantung seperti kabut tipis di ujung subuh.Namun, tubuhnya mendadak kaku saat ia menyadari tekanan halus di lehernya. Ia menoleh. Ada wajah yang begitu dikenalnya terlelap hanya beberapa jengkal dari waja
Begitu pintu kamar tertutup rapat dan suara klik dari kuncinya terdengar samar, Rafael bersandar pada dinding, menunduk dengan napas tercekat.Ada embusan lega yang hampir menyerupai isakan. Akhirnya mereka sampai juga. Tubuhnya nyaris tak kuat menopang seluruh beban hari itu, tapi ia tahu, tugasnya baru selesai saat pintu itu tak lagi menjadi penghalang antara Mahesa dan Nadira.Di dalam kamar hotel yang senyap dan remang, Mahesa tidak ikut tenggelam dalam drama batin asistennya.Wajahnya tetap tenang, kaku dalam kontrol yang terlalu sering ia latih. Tanpa bicara sepatah kata, ia langsung berjalan menuju kamar mandi, melepas jaket, lalu kemeja yang sudah ternoda dan lengket akibat muntahan.Uap air hangat mulai memenuhi ruangan ketika ia menyalakan shower dan berdiri diam sejenak di bawah guyuran air, membiarkan suara tetesannya menghapus kekacauan pikiran.Begitu Mahesa keluar, rambutnya basah, wajahnya lebih bersih, tapi sorot matanya tetap kela
Sorot lampu gantung kristal memantul di permukaan lantai marmer, menciptakan efek kilauan yang tak kalah glamor dari pesta bertema hitam-emas malam itu.Tapi bagi Susilo, semua cahaya itu terasa dingin dan jauh. Senyum-senyum basa-basi dari kolega bisnis tak mampu menutupi kekecewaannya.Di sudut ruangan, ia berdiri bersama Ratu, mencoba menjajakan pesona selebritas itu seperti kartu truf terakhir.Namun saat matanya menangkap sosok Mahesa berdiri berdampingan dengan Nadira, raut wajahnya mengeras, seperti barisan huruf di kontrak yang baru saja dibatalkan.Di tengah riuh tawa dan denting gelas wine, Mahesa tampak seperti pusat gravitasi sendiri. Dunia luar mengecil, bergetar samar, saat pandangannya terkunci pada Nadira.Ia tak melihat panggung. Tak mendengar musik. Tak peduli bahwa Nadira kini tertawa ringan sambil menyentuhkan lengannya ke bahu Gilang.Dan batas kesabarannya pecah.Dengan langkah panjang dan mantap, Mahesa menghamp
Tatapan tiga saudara laki-laki Nadira menusuk tajam, seperti belati yang siap melayang ke dada Mahesa.Diam-diam mereka saling bertanya dalam hati, apa selera pria ini memang secacat itu? Di balik kerah bajunya yang licin dan rambut yang disisir nyaris sempurna, ada sesuatu yang janggal.Sesuatu yang membuat mereka gelisah.Di sudut ruangan, wajah Tuan Pradana menegang seperti batu karang diterpa gelombang. Sorot matanya menggelap, rahangnya mengatup kencang.Ia meneguk amarahnya bulat-bulat, meski tenggorokannya tercekat. Gengsi dan harga diri yang ia bangun selama bertahun-tahun retak dalam sekejap, hanya karena ulah satu pria dan satu ejekan dari putrinya sendiri.Tapi... mungkinkah itu tanda Nadira masih peduli? Di dalam dadanya, emosi-emosi saling berdesakan, tak sabar untuk meledak tapi juga ragu untuk keluar.“Aku juga nggak nyangka Naura akan muncul,” suara Mahesa nyaris tenggelam di antara ketegangan yang menggumpal di udara.
Nadira tersenyum tipis, seperti sedang mencoba menambal retakan halus yang merambat di balik wajahnya.Senyuman itu bukan untuk meyakinkan orang lain, melainkan dirinya sendiri. “Nggak seburuk itu, kok. Waktu bisa menyembuhkan, kan?” ucapnya, pelan tapi mantap.Suaranya seperti mengalir dari mulut seseorang yang ingin meyakini kata-katanya sendiri. “Kadang cuma fisik aja yang bereaksi, bukan karena aku takut beneran.”Ia mengangkat gelasnya tinggi, kilauan lampu menggantung memantul di permukaannya yang bening.“Gilang sudah balik, dan itu yang penting. Jangan bahas yang berat-berat. Ayo, bersulang!” katanya, lebih lantang kali ini, mencoba menarik semua kembali ke permukaan yang ringan.Gilang, Tama, dan Tara tertawa kecil, mengikuti semangat yang Nadira coba bangun. Gelas beradu, dan malam kembali terasa hangat.Suara tawa menggema, bercampur dengan alunan musik latar yang mengalun pelan, seperti soundtrack yang mengisi kekosongan antara s