Selama ini Mahesa selalu memberikan Nadira uang bulanan dalam jumlah yang tak sedikit, cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selama berbulan-bulan.
Namun, seperti embun di pagi hari, uang itu nyaris tak pernah tersentuh. Setiap kali Mahesa menanyakannya, Nadira hanya tersenyum kecil, berkilah bahwa kebutuhannya tak banyak.
Sikap hemat itu lama-kelamaan menggelitik kecurigaan Mahesa.
Kini, saat laporan lanjutan dari asistennya sampai ke telinganya, mata Mahesa menyipit, wajahnya mengeras seperti batu pualam.
Ruang kerjanya yang biasanya dingin dengan aroma kayu cendana, terasa lebih sempit oleh hawa panas amarah yang mendidih diam-diam.
Dengan suara serak namun tegas, ia berujar, “Cari tahu ke mana dia pergi dan apa saja aktivitas terakhirnya. Kalau ternyata ada yang mengirim dia ke sini, bawa dia kembali. Saya ingin tahu, apakah dia benar-benar seperti yang dia akui. Anak yatim dari kampung?”
Tiga hari berlalu. Kawasan bisnis Sudirman yang megah, dengan gedung-gedung pencakar langit mencakar langit pagi Jakarta, tiba-tiba riuh.
Kantor pusat Wulandaru Group, sebuah bangunan kaca tinggi berarsitektur modern dengan logo berkilau di puncaknya, dipenuhi karyawan yang bergegas masuk, masing-masing membawa pertanyaan yang sama dalam benaknya.
Di lobi megah dengan lantai marmer putih berkilau, para eksekutif berkerumun. Suara sepatu hak yang berdenting cepat, percakapan pelan yang saling berbisik, dan ketegangan yang mengambang di udara membuat suasana seperti menjelang ujian besar.
Aroma kopi hitam dari kedai kecil di sudut lobi bercampur dengan wangi parfum mahal.
“Siapa sih CEO barunya? Ada yang tahu?” bisik seorang karyawan perempuan, suaranya nyaris tertelan oleh denting musik instrumental yang mengalun dari speaker tersembunyi.
“Bahkan para direksi saja nggak tahu. Misterius banget. Semoga penyelamat kita ini cowok ganteng!” sahut rekannya, mencoba mencairkan kecanggungan, meski matanya menyiratkan kegelisahan.
“Kalau ternyata cewek, gimana?” timpal lainnya sambil mengangkat alis.
“Ah, mana mungkin. Sekalian aja lo berharap Miss Wulandaru hidup lagi,” ucap salah seorang pria paruh baya dengan tawa kecil yang segera menguap begitu suara satpam bergema.
“Diam! Sudah datang!”
Semua kepala sontak menoleh ke arah pintu kaca utama. Sebuah Rolls-Royce hitam pekat meluncur perlahan, seperti kapal mewah menembus kabut pagi.
Mesin berhenti dengan dengungan halus, nyaris tak terdengar. Seorang pria berjas hitam, Wakil CEO, bergegas membuka pintu dengan gerakan sopan namun penuh hormat.
Sepasang kaki jenjang berbalut sepatu hak tinggi hitam setinggi empat inci menginjak lantai dengan keanggunan alami.
Dari balik pintu mobil, muncul sosok wanita dengan rambut pendek yang ditata rapi, setelan jas putih yang membingkai tubuh rampingnya nyaris tanpa cela.
Ia berdiri tegak, seperti seorang ratu modern, dengan mata tajam namun senyum tipis menghiasi bibirnya yang berlapis lipstik nude.
Cahaya pagi yang menembus dinding kaca gedung membuat kulitnya tampak berkilau lembut.
Beberapa eksekutif yang sudah bertahun-tahun mengabdi di Wulandaru Group membeku. Wajah itu, dulu sangat mereka kenal.
“Miss Wulandaru...”
Nadira mengangguk kecil, senyum tipisnya menyelipkan ketegasan. “Hei, sudah lama ya. Lama sekali.”
Ia melangkah masuk ke dalam lift, diikuti para eksekutif yang menahan napas. Di dalam ruang sempit berlapis cermin itu, Nadira menoleh pelan ke arah Zayyan Anargya, Wakil Direktur Utama, suaranya pelan namun tajam, seperti bisikan angin malam.
“Beberapa orang tidak hadir, kan?”
Zayyan mengangguk sopan, senyumnya hangat namun berhati-hati. “Benar, Bu. Beberapa senior, dipimpin Pak Rafka, merasa tak perlu repot-repot turun. Mereka ingin Ibu tahu bahwa merekalah yang merasa berkuasa di sini.”
Nadira menghela napas pelan, matanya tetap teduh meski sorot dingin terselip di dalamnya. “Sudah banyak yang berubah, rupanya. Tapi paman-paman saya tetap saja keras kepala.”
Sementara itu, di lantai tertinggi gedung yang menjulang menusuk awan, ruang rapat utama dipenuhi aroma kopi panas dan ketegangan yang menebal.
Ruangan luas dengan dinding kaca tembus pandang menyajikan panorama gemerlap kota Jakarta. Namun keenam pria yang duduk melingkar di sekitar meja bundar besar itu tak menikmati pemandangan.
Rafka Wulandaru duduk di kursi ketua, tubuh tambunnya sedikit condong ke depan, kaki bersilang rapi.
Tangannya meremas cangkir kopi, wajah bulatnya memerah menahan kesal. Ia menoleh pada sekretaris muda yang berdiri tegang di sudut ruangan.
“Kenapa sampai sekarang belum ada yang datang? Coba cek ke bawah lagi,” ujarnya dengan nada dingin.
Di seberangnya, Elvano Wulandaru tampak lebih santai. Dengan baju koko putih bersih, tasbih kayu cendana bergulir lembut di antara jemarinya.
Senyumnya tipis, mata sipitnya tampak mengamati keadaan bak seorang pengamat ulung.
“Tenang saja, Rafka. Pasti dia lagi pamer kuasa. Anak muda zaman sekarang memang begitu,” ucapnya kalem, suaranya seperti embusan angin yang menyejukkan, namun tak sepenuhnya menenangkan.
Rafka menggeleng pelan, bibirnya mengerucut sinis. “Anak-anak muda memang susah diatur. Sudahlah, tetap jalankan rencana kita. Bagaimanapun, perusahaan ini milik keluarga kita. Saya yang menentukan segalanya.”
Keenam pasang mata saling berpandangan, seolah-olah ada badai besar yang akan segera datang, tapi mereka pura-pura masih menikmati secangkir kopi hangat di tepi jurang.
Mahesa menunduk sedikit, membantu Nadira duduk di sofa yang empuk namun sudah agak usang, seolah menyimpan banyak cerita.Ruangan itu hening, hanya suara pendingin ruangan yang mengalun pelan dan jam dinding yang berdetak seirama detak jantung yang menahan kecewa.Dengan langkah tenang, Mahesa berjalan ke konter depan yang menyatu dengan ruang tamu, tempat cangkir-cangkir bergelantungan di rak kayu.Tangannya mengambil satu gelas bening, mengisinya dengan air panas dari dispenser. Uap hangat mengambang lembut dari permukaan air.Ia meniupnya perlahan, lalu membawanya kembali ke tempat Nadira duduk.“Pelan-pelan minumnya. Masih panas,” ucapnya sambil menyerahkan gelas itu, suaranya terdengar lembut namun penuh rasa bersalah yang tidak sepenuhnya bisa disembunyikan.Tara, yang sedari tadi berdiri menyandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan Mahesa dengan seksama.Ekspresinya yang awalnya kaku kini sedikit melunak,
“Dia keluargaku. Aku membelamu tadi karena kita punya hubungan kerja. Tapi itu bukan berarti aku izinkan kamu menyakitinya.”Suara Nadira terdengar datar, tapi nadanya seperti bilah tipis yang meluncur tajam ke kulit. Di bawah pencahayaan remang kamar hotel yang bergaya klasik kontemporer, Mahesa menatapnya tanpa berkata-kata.Bola matanya menyempit, tapi bibirnya tetap rapat. Tak ada satu pun kata keluar, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka, dipenuhi ketegangan yang hampir bisa disentuh.Melihat Mahesa yang hanya berdiri membeku, Nadira melanjutkan, kali ini lebih pelan, tapi setiap katanya dipaku dengan ketegasan.“Apa pun niatmu, arahkan ke aku. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, kalau kau menyakiti keluargaku, aku tidak akan diam saja.”Mata Mahesa menggelap, seperti langit yang kehilangan warnanya menjelang badai. Langkahnya pelan, hampir tak bersuara, mendekati Nadira hingga hanya berjarak napas.Lalu, tiba-tiba ia berd
Udara kamar masih terasa berat, seperti sisa asap dari pertengkaran yang baru saja padam. Dinding-dindingnya bergeming, namun seolah menyimpan gema amarah yang belum sepenuhnya reda.Cahaya matahari pagi menembus tipis dari tirai krem yang belum sepenuhnya ditarik, menyentuh ujung tempat tidur dengan warna keemasan yang muram.Nadira menoleh perlahan, matanya menyapu sudut-sudut kamar hotel yang berantakan. Selimut tergulung setengah di tepi ranjang, sebotol air mineral tergeletak miring di meja kecil, dan sisa-sisa malam yang kacau menggantung di udara seperti bisikan.Ia tak benar-benar mencari sesuatu, lebih seperti menggali kemungkinan. Mungkin ada pintu keluar dari situasi yang rumit ini, atau setidaknya, celah kecil untuk bernapas.Mahesa menangkap gerakan kecil itu. Matanya yang tajam menelusuri wajah Nadira, lalu mengeras, seperti bara yang kembali dipantik.Urat di rahangnya menegang, dan nada suaranya nyaris pecah saat berbicara dalam hat
Nadira mengarungi mimpi panjang yang terasa aneh sekaligus menggelitik. Di dalam mimpi itu, Mahesa hadir sebagai sosok yang ganjil, mengajaknya dalam petualangan surealis yang penuh keintiman absurd, adegan demi adegan yang begitu eksplisit hingga terasa perlu disensor.Nadira sempat tertawa kecil, geli, sekaligus malu pada dirinya sendiri. Sensasi itu begitu nyata, begitu dekat, seperti bayangan yang menempel di kulit.Pelan, matanya terbuka, cahaya samar menyelinap lewat celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara kamar terasa hening, terlalu hening, seolah menunggu sesuatu."Hhh..." helaan napas panjang mengalir keluar dari bibirnya, nyaris seperti desahan lega, tapi tidak benar-benar melegakan.Mimpi itu masih membekas di kepalanya, menggantung seperti kabut tipis di ujung subuh.Namun, tubuhnya mendadak kaku saat ia menyadari tekanan halus di lehernya. Ia menoleh. Ada wajah yang begitu dikenalnya terlelap hanya beberapa jengkal dari waja
Begitu pintu kamar tertutup rapat dan suara klik dari kuncinya terdengar samar, Rafael bersandar pada dinding, menunduk dengan napas tercekat.Ada embusan lega yang hampir menyerupai isakan. Akhirnya mereka sampai juga. Tubuhnya nyaris tak kuat menopang seluruh beban hari itu, tapi ia tahu, tugasnya baru selesai saat pintu itu tak lagi menjadi penghalang antara Mahesa dan Nadira.Di dalam kamar hotel yang senyap dan remang, Mahesa tidak ikut tenggelam dalam drama batin asistennya.Wajahnya tetap tenang, kaku dalam kontrol yang terlalu sering ia latih. Tanpa bicara sepatah kata, ia langsung berjalan menuju kamar mandi, melepas jaket, lalu kemeja yang sudah ternoda dan lengket akibat muntahan.Uap air hangat mulai memenuhi ruangan ketika ia menyalakan shower dan berdiri diam sejenak di bawah guyuran air, membiarkan suara tetesannya menghapus kekacauan pikiran.Begitu Mahesa keluar, rambutnya basah, wajahnya lebih bersih, tapi sorot matanya tetap kela
Sorot lampu gantung kristal memantul di permukaan lantai marmer, menciptakan efek kilauan yang tak kalah glamor dari pesta bertema hitam-emas malam itu.Tapi bagi Susilo, semua cahaya itu terasa dingin dan jauh. Senyum-senyum basa-basi dari kolega bisnis tak mampu menutupi kekecewaannya.Di sudut ruangan, ia berdiri bersama Ratu, mencoba menjajakan pesona selebritas itu seperti kartu truf terakhir.Namun saat matanya menangkap sosok Mahesa berdiri berdampingan dengan Nadira, raut wajahnya mengeras, seperti barisan huruf di kontrak yang baru saja dibatalkan.Di tengah riuh tawa dan denting gelas wine, Mahesa tampak seperti pusat gravitasi sendiri. Dunia luar mengecil, bergetar samar, saat pandangannya terkunci pada Nadira.Ia tak melihat panggung. Tak mendengar musik. Tak peduli bahwa Nadira kini tertawa ringan sambil menyentuhkan lengannya ke bahu Gilang.Dan batas kesabarannya pecah.Dengan langkah panjang dan mantap, Mahesa menghamp