Beranda / Rumah Tangga / Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi / Bab 3: Sang Penyelamat Misterius

Share

Bab 3: Sang Penyelamat Misterius

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-26 12:08:49

Selama ini Mahesa selalu memberikan Nadira uang bulanan dalam jumlah yang tak sedikit, cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selama berbulan-bulan.

Namun, seperti embun di pagi hari, uang itu nyaris tak pernah tersentuh. Setiap kali Mahesa menanyakannya, Nadira hanya tersenyum kecil, berkilah bahwa kebutuhannya tak banyak.

Sikap hemat itu lama-kelamaan menggelitik kecurigaan Mahesa.

Kini, saat laporan lanjutan dari asistennya sampai ke telinganya, mata Mahesa menyipit, wajahnya mengeras seperti batu pualam.

Ruang kerjanya yang biasanya dingin dengan aroma kayu cendana, terasa lebih sempit oleh hawa panas amarah yang mendidih diam-diam.

Dengan suara serak namun tegas, ia berujar, “Cari tahu ke mana dia pergi dan apa saja aktivitas terakhirnya. Kalau ternyata ada yang mengirim dia ke sini, bawa dia kembali. Saya ingin tahu, apakah dia benar-benar seperti yang dia akui. Anak yatim dari kampung?”

Tiga hari berlalu. Kawasan bisnis Sudirman yang megah, dengan gedung-gedung pencakar langit mencakar langit pagi Jakarta, tiba-tiba riuh.

Kantor pusat Wulandaru Group, sebuah bangunan kaca tinggi berarsitektur modern dengan logo berkilau di puncaknya, dipenuhi karyawan yang bergegas masuk, masing-masing membawa pertanyaan yang sama dalam benaknya.

Di lobi megah dengan lantai marmer putih berkilau, para eksekutif berkerumun. Suara sepatu hak yang berdenting cepat, percakapan pelan yang saling berbisik, dan ketegangan yang mengambang di udara membuat suasana seperti menjelang ujian besar.

Aroma kopi hitam dari kedai kecil di sudut lobi bercampur dengan wangi parfum mahal.

“Siapa sih CEO barunya? Ada yang tahu?” bisik seorang karyawan perempuan, suaranya nyaris tertelan oleh denting musik instrumental yang mengalun dari speaker tersembunyi.

“Bahkan para direksi saja nggak tahu. Misterius banget. Semoga penyelamat kita ini cowok ganteng!” sahut rekannya, mencoba mencairkan kecanggungan, meski matanya menyiratkan kegelisahan.

“Kalau ternyata cewek, gimana?” timpal lainnya sambil mengangkat alis.

“Ah, mana mungkin. Sekalian aja lo berharap Miss Wulandaru hidup lagi,” ucap salah seorang pria paruh baya dengan tawa kecil yang segera menguap begitu suara satpam bergema.

“Diam! Sudah datang!”

Semua kepala sontak menoleh ke arah pintu kaca utama. Sebuah Rolls-Royce hitam pekat meluncur perlahan, seperti kapal mewah menembus kabut pagi.

Mesin berhenti dengan dengungan halus, nyaris tak terdengar. Seorang pria berjas hitam, Wakil CEO, bergegas membuka pintu dengan gerakan sopan namun penuh hormat.

Sepasang kaki jenjang berbalut sepatu hak tinggi hitam setinggi empat inci menginjak lantai dengan keanggunan alami.

Dari balik pintu mobil, muncul sosok wanita dengan rambut pendek yang ditata rapi, setelan jas putih yang membingkai tubuh rampingnya nyaris tanpa cela.

Ia berdiri tegak, seperti seorang ratu modern, dengan mata tajam namun senyum tipis menghiasi bibirnya yang berlapis lipstik nude.

Cahaya pagi yang menembus dinding kaca gedung membuat kulitnya tampak berkilau lembut.

Beberapa eksekutif yang sudah bertahun-tahun mengabdi di Wulandaru Group membeku. Wajah itu, dulu sangat mereka kenal.

“Miss Wulandaru...”

Nadira mengangguk kecil, senyum tipisnya menyelipkan ketegasan. “Hei, sudah lama ya. Lama sekali.”

Ia melangkah masuk ke dalam lift, diikuti para eksekutif yang menahan napas. Di dalam ruang sempit berlapis cermin itu, Nadira menoleh pelan ke arah Zayyan Anargya, Wakil Direktur Utama, suaranya pelan namun tajam, seperti bisikan angin malam.

“Beberapa orang tidak hadir, kan?”

Zayyan mengangguk sopan, senyumnya hangat namun berhati-hati. “Benar, Bu. Beberapa senior, dipimpin Pak Rafka, merasa tak perlu repot-repot turun. Mereka ingin Ibu tahu bahwa merekalah yang merasa berkuasa di sini.”

Nadira menghela napas pelan, matanya tetap teduh meski sorot dingin terselip di dalamnya. “Sudah banyak yang berubah, rupanya. Tapi paman-paman saya tetap saja keras kepala.”

Sementara itu, di lantai tertinggi gedung yang menjulang menusuk awan, ruang rapat utama dipenuhi aroma kopi panas dan ketegangan yang menebal.

Ruangan luas dengan dinding kaca tembus pandang menyajikan panorama gemerlap kota Jakarta. Namun keenam pria yang duduk melingkar di sekitar meja bundar besar itu tak menikmati pemandangan.

Rafka Wulandaru duduk di kursi ketua, tubuh tambunnya sedikit condong ke depan, kaki bersilang rapi.

Tangannya meremas cangkir kopi, wajah bulatnya memerah menahan kesal. Ia menoleh pada sekretaris muda yang berdiri tegang di sudut ruangan.

“Kenapa sampai sekarang belum ada yang datang? Coba cek ke bawah lagi,” ujarnya dengan nada dingin.

Di seberangnya, Elvano Wulandaru tampak lebih santai. Dengan baju koko putih bersih, tasbih kayu cendana bergulir lembut di antara jemarinya.

Senyumnya tipis, mata sipitnya tampak mengamati keadaan bak seorang pengamat ulung.

“Tenang saja, Rafka. Pasti dia lagi pamer kuasa. Anak muda zaman sekarang memang begitu,” ucapnya kalem, suaranya seperti embusan angin yang menyejukkan, namun tak sepenuhnya menenangkan.

Rafka menggeleng pelan, bibirnya mengerucut sinis. “Anak-anak muda memang susah diatur. Sudahlah, tetap jalankan rencana kita. Bagaimanapun, perusahaan ini milik keluarga kita. Saya yang menentukan segalanya.”

Keenam pasang mata saling berpandangan, seolah-olah ada badai besar yang akan segera datang, tapi mereka pura-pura masih menikmati secangkir kopi hangat di tepi jurang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 400: Janji di Bawah Pohon

    Di dapur yang hangat dengan sinar matahari pagi yang menyusup melalui celah jendela, Nadira terlihat sibuk mengaduk adonan pancake, sementara di sisi lain, Rebecca—anak bungsu mereka—tengah asyik menggambar di dinding dengan krayon warna-warni.Suasana di dapur itu tidak begitu rapi, tetapi itulah yang membuatnya terasa hidup dan penuh warna.“Rebecca! Itu dinding, bukan buku gambar!” Nadira berusaha mengingatkan dengan suara lembut, meski ada tawa kecil yang tak bisa ia tahan.Rebecca, dengan mata bulat yang penuh keingintahuan, menatap ibunya sejenak, lalu menjawab polos, “Tapi Ibu bilang imajinasi itu harus besar. Dinding kan besar.”Nadira tersenyum kecil, menahan geli. Kejadian seperti ini selalu menghadirkan rasa hangat di hatinya. Tak lama, Mahesa masuk ke dapur, membawa keranjang penuh daun bawang dan terong segar dari kebun kecil mereka.“Imaginasi boleh besar, asal jangan merambat ke ruang tamu,” katanya dengan senyum yang selalu mampu me

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 399: Mulai Dari Kopi yang Pahit

    Angin sejuk dari jendela dapur berdesir perlahan, membawa sentuhan lembut yang menenangkan di pagi yang baru saja pulih.Di luar, langit yang kelabu seolah mulai membuka diri, memperlihatkan seberkas cahaya tipis yang menyusup di balik awan yang perlahan menghilang.Suasana itu begitu hening, seperti pagi yang baru saja menyeka air mata malamnya. Nadira berdiri dekat Mahesa, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang selalu menjadi pelabuhan yang tak pernah berubah, meskipun banyak hal di sekitar mereka bergeser.Di tengah dapur yang sederhana dengan lantai keramik pudar, mereka berdiri bersama—tidak sempurna, tapi saling melindungi.Nadira memeluk Mahesa, bukan karena kata-kata manis yang pernah diucapkan, melainkan karena kehadirannya yang tak pernah pergi, yang selalu ada setiap kali dunia terasa begitu berat.Di tempat yang penuh keheningan itu, Mahesa, dengan tatapan mata yang dalam dan tenang, akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak bisa d

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 398: Aku Akan Tetap di Sini

    Mahesa menunduk, gelengannya lembut, seolah-olah kata-kata yang hendak keluar sudah bersusah payah mencari celah.“Enggak. Aku lakuin ini... karena aku mau,” ujarnya pelan.Kalimat itu terdengar sederhana, seperti aliran air yang tenang. Namun, bagi Nadira, seolah ada sesuatu yang menembus jauh ke dalam hatinya yang beku.Sesuatu yang hangat, mengalir perlahan hingga menyentuh bagian terdalam yang selama ini terasa mati rasa.Cinta... ternyata bisa begitu sederhana, bukan? Tak perlu janji bersumpah yang melambung tinggi, tak perlu pelukan yang meluap, atau kata-kata puitis yang bergelora.Kadang, cukup dengan kehadiran yang tulus, diam yang setia. Duduk bersama di sisi ranjang, tanpa perlu memberi harapan, tanpa perlu mencari jawaban—hanya ada keberadaan yang tidak tergantikan.Malam keempat, ketika tubuh Nadira sudah cukup kuat untuk duduk, Mahesa tetap di tempatnya. Tidak ada pertanyaan, tidak ada ungkapan cinta yang terucap.Namun,

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 397: Titik Tak Terlihat

    Kalimat itu, meskipun sederhana, seperti petir yang menggelegar. Mahesa menatap anaknya dengan tatapan yang tak mampu disembunyikan, penuh dengan rasa bersalah yang menggelayuti.Nadira ikut menatap Isa, namun matanya tak bisa lagi menahan genangan yang mulai mengalir, perlahan-lahan menetes.Suasana di ruang makan yang semula ramai tiba-tiba terasa sepi, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.Mahesa menarik napas dalam, seolah mencari kekuatan untuk melanjutkan kata-katanya. Suaranya pelan, tapi jelas, mengalir begitu berat.“Isa, kadang... dua titik itu nggak ketemu bukan karena mereka terlalu jauh. Tapi karena keduanya takut untuk saling menyentuh.”Isa menatapnya bingung, matanya penuh tanya. “Takut kenapa?” Suaranya terdengar seperti harapan yang belum pudar.Mahesa mengalihkan pandangannya ke meja, memfokuskan diri pada suapan terakhir yang ada di piringnya.“Takut kalau mereka saling bertemu, yang terlihat cuma luka,

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 396: Dua Titik yang Tak Pernah Bertemu

    Mahesa menatap adiknya dalam hening. Di matanya, ada rasa marah yang terpendam, namun lebih dari itu, ada kerinduan yang seolah sudah terlalu lama terkunci, menunggu saat yang tepat untuk meluap.Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, hanya terdengar desah napas mereka yang berat. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk minta maaf,” suara Mahesa terdengar serak.Ia menunduk sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat, lalu melanjutkan dengan pelan, “Tapi... aku ingin kesempatan, untuk menggantikan semua yang sudah aku tinggalkan.”Tiana terdiam, matanya tidak pernah lepas dari wajah Mahesa. Setelah beberapa saat yang panjang, dengan pelan, ia menggeser tubuhnya dari pintu dan melangkah mundur.“Masuklah,” katanya, suaranya masih terdengar tegas namun ada kelembutan yang disembunyikan di baliknya.Begitu Mahesa melangkah masuk ke rumah, udara di dalam terasa berat dengan kenangan yang menyelimuti setiap sudutnya.Dinding-dinding rumah yang

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 395: Kamu Kembali, Kan?

    Di balkon belakang rumah yang sunyi, Mahesa duduk diam di kursi kayu usang yang seolah tak pernah berubah sejak terakhir kali ia menempatinya.Di tangannya, sebuah jurnal tipis berisi catatan-catatan rehabilitasi yang dulu hanya ia anggap sebagai hal biasa—sekadar data medis dan jadwal terapi.Namun, hari itu, saat ia membuka halaman demi halaman, ada sesuatu yang berbeda. Di antara catatan medis, ada sisipan kertas kecil dengan tulisan tangan Nadira yang memecah kesunyian hatinya.“Hari ini kamu bisa menggenggam sendok sendiri. Terlihat kecil, tapi bagiku itu seperti melihat matahari terbit untuk pertama kali.”Tulisan itu mengalir seperti aliran air yang lembut, membawa kenangan tentang Nadira yang dulu selalu ada di sisinya, tak peduli seberapa besar beban yang ia bawa.Mahesa tersenyum tipis, menutup mata sejenak, merasakan hangatnya kata-kata itu, seperti hangatnya pagi yang perlahan menembus kabut.Halaman berikutnya menunjukkan kata-k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status