“Loh, kamu masih mau berlagak seolah kamu korban?” Suara Oman terdengar dingin, seperti embusan angin malam yang menusuk kulit.
Ia merangsek naik ke panggung, menerobos barikade keamanan yang tak cukup sigap menahannya.
Sepasang matanya menyorot tajam ke arah Naura, menelanjangi keanggunan gaun putihnya dengan sorot penuh ejekan.
“Anoreksia itu kamu sebut kanker lambung? Aku sampai kasihan sama kamu, mikir kamu sekarat,” ujarnya, tawanya getir, menampar udara dengan kebencian yang tak lagi bisa disembunyikan.
“Kamu pikir bisa nipu Mahesa dan jadi istri sahnya? Mimpi!”
Tangannya mengangkat setumpuk kertas, berniat melemparkannya ke wajah Naura, tetapi Mahesa lebih cepat.
Ia menepis tangan Oman dan merebut dokumen itu. Tangannya bergetar saat membuka lembar demi lembar, matanya menyisir kalimat-kalimat medis dalam berbagai bahasa asing yang kini tampak seperti kode-kode pengkhianatan.
Diagnosis kanker
“Loh, kamu masih mau berlagak seolah kamu korban?” Suara Oman terdengar dingin, seperti embusan angin malam yang menusuk kulit.Ia merangsek naik ke panggung, menerobos barikade keamanan yang tak cukup sigap menahannya.Sepasang matanya menyorot tajam ke arah Naura, menelanjangi keanggunan gaun putihnya dengan sorot penuh ejekan.“Anoreksia itu kamu sebut kanker lambung? Aku sampai kasihan sama kamu, mikir kamu sekarat,” ujarnya, tawanya getir, menampar udara dengan kebencian yang tak lagi bisa disembunyikan.“Kamu pikir bisa nipu Mahesa dan jadi istri sahnya? Mimpi!”Tangannya mengangkat setumpuk kertas, berniat melemparkannya ke wajah Naura, tetapi Mahesa lebih cepat.Ia menepis tangan Oman dan merebut dokumen itu. Tangannya bergetar saat membuka lembar demi lembar, matanya menyisir kalimat-kalimat medis dalam berbagai bahasa asing yang kini tampak seperti kode-kode pengkhianatan.Diagnosis kanker
Pelan-pelan, tubuh Naura melemas dalam pelukan Mahesa. Aroma mawar dari buket di tangannya bercampur dengan bau karpet ballroom yang hangat lembap, mengguncang perutnya.Ia menggigit bibir bawah, menahan rasa mual yang makin menggedor dari lambung. Wajahnya sedikit menoleh ke Mahesa, matanya berkaca-kaca, suara lirih mengalun dengan getir.“Mahesa... aku nggak kuat. Bisa kita percepat aja akadnya?”Suara musik orkestra lembut di latar seolah menjauh, digantikan suara detak jantung Naura yang berlomba dengan waktu.Gaun putihnya yang mengembang tampak terlalu besar untuk tubuh yang begitu ringkih pagi itu, seolah menjebak, bukan memeluk.Mahesa hanya mengangguk, tak bertanya lebih jauh. Ia menggenggam tangan Naura lebih erat, mencoba memberi ketenangan yang bahkan dirinya tak miliki.MC di panggung, mengenakan jas krem dengan dasi kupu-kupu perak, lekas menangkap sinyal urgensi itu.Dengan senyum paksa, ia mempercepat prose
Naura menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelombang panik yang mulai merayap dari dada ke tengkuk.Lampu-lampu gantung berkilauan di langit-langit ballroom mewah itu, tetapi tak mampu menghalau bayang-bayang yang mulai membayangi hatinya.Gaun putih panjangnya bergoyang lembut setiap kali ia mempercepat langkah, menghampiri Mahesa yang berdiri tak jauh di samping panggung.Tangannya menggenggam lengan Mahesa, dingin dan gemetar. Ia menunduk, berbisik di antara kerumunan suara tamu yang mulai resah.“Sayang, aku takut. Ini pasti ada yang menjahili kita.”Mahesa menoleh pelan. Ia tidak langsung menjawab, hanya mengusap punggung Naura dengan gerakan yang lambat, lembut, seperti mencoba meredakan badai.“Jangan takut,” katanya pelan, nada suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup untuk memberi Naura dorongan yang ia butuhkan.Mengambil napas panjang, Naura melangkah kembali ke tengah panggung. Ia merebut m
Nadira mengunyah keripik perlahan, rasanya nyaris tawar, seperti mulutnya lupa memberi perintah pada lidah.Di hadapannya, MC berdiri di panggung yang dihiasi taburan lampu gantung kristal, suaranya mengalun tenang dan bersahaja, seperti pembuka opera yang dipelajari berulang-ulang.Irama suaranya menggulung penonton dalam kesan tenang, sebelum badai yang belum tampak benar-benar tiba.Tepuk tangan mendadak membuncah. Nadira menghentikan kunyahannya, matanya terarah tajam ke depan.Mahesa telah berdiri di tengah panggung, bagaikan aktor utama dalam pementasan drama klasik. Lampu sorot menyusuri siluetnya, memantul di jas putih bersih yang ia kenakan.Warna itu membuat garis wajahnya tampak semakin tegas, menciptakan kontras ganjil dengan ekspresi dingin yang selalu ia kenakan seperti mantel yang tak pernah ditanggalkan.Nadira tahu betul bentuk pundak itu, cara ia berdiri dengan satu kaki sedikit ke depan, seolah tak pernah benar-benar santa
Tama mengerucutkan bibirnya pelan, jari-jarinya menari cepat di atas layar ponsel. Di grup WhatsApp Aliansi Anti-Pelakor, notifikasi muncul bertubi-tubi.Tama: Nadira ngotot nonton live-nya. Gue nggak bisa cegah. Gimana nih?Tara: Ya udah, biarin aja! Sekalian biar dia lihat kita bantu balas dendamnya!Gilang: Live? Bukannya Mahesa nggak undang media?Tama: Skill hacking Nadira gila, bro. Nggak ada CCTV yang nggak bisa dia tembus.Tara: Dasar lo nggak guna!Nayaka: Udah, biarin aja. Nadira udah suka sama Mahesa bertahun-tahun. Mungkin ini caranya biar dia benar-benar bisa move on.Dimas: Lanjutkan rencana.Langit Jakarta seharian menggantung murung, kelabu seperti perasaan yang menggumpal dalam dada Nadira.Awan hitam bergelayut di a
Begitu mereka melangkah keluar dari kamar ganti, membiarkan gaun satin pastel membalut tubuh mereka, keheningan menyergap sejenak.Lalu datang gelombang penyesalan, menyergap dalam diam yang getir. Gaun-gaun itu jatuh seperti ironi yang menggantung di pundak mereka, terlalu ketat di dada, terlalu panjang di ekor, dan terlalu kentara mempertegas betapa mereka tak lebih dari figuran dalam panggung megah milik Naura.Salah seorang bridesmaid—Rena—memandang bayangannya sendiri di cermin panjang ruang rias hotel bintang lima itu.Lampu-lampu kekuningan menggantung manis dari langit-langit tinggi, menyinari rambutnya yang dicatok setengah hati.Di sudut bibirnya, seulas senyum kecut mengendap. Dorongan untuk merobek gaun itu dan melemparkannya ke wajah Naura menari-nari dalam benaknya.Naura sendiri tampak bersinar, bukan hanya karena highlighter yang memantul sempurna di tulang pipinya, tapi juga karena aura percaya diri yang berlebih.