Setelah meninggalkan rumah keluarga Bayu di kawasan Menteng, Mahesa kembali ke rumah besar keluarga Pradana yang terletak di jantung Kebayoran Baru.
Udara malam Jakarta terasa lembap, menyusup lewat celah jendela mobil yang terbuka sedikit, membawa bau aspal basah dan jejak kenangan yang tak diundang.
Begitu memasuki halaman rumah, sorotan lampu taman menyoroti tirai-tirai putih yang masih menjuntai dari rangkaian dekorasi pernikahan.
Kelopak bunga, sebagian mulai layu, bertaburan di anak tangga depan. Rumah itu, yang dulunya menjadi simbol kebanggaan keluarga, kini tampak seperti panggung pertunjukan yang sudah kehilangan pemain utamanya.
Wajah Mahesa mengeras. Pandangannya menyapu seluruh halaman dengan tajam, lalu ia memberi isyarat singkat pada kepala pelayan yang segera menghampiri, nyaris tanpa suara.
"Hapus semua ini malam ini juga," katanya pendek. "Aku ingin rumah ini kembali seperti semula. Segera."
Tanpa menunggu jawaban, Mahesa m
Begitu Nadira muncul di ambang pintu Rose Garden, napas Tina tercekat, seolah-olah ruangan yang semula hangat mendadak diliputi kabut dingin dari dalam dadanya sendiri.Nadira tak melangkah, ia melayang. Jumpsuit beludru merah yang membalut tubuhnya tampak membara di bawah semburat lampu gantung kristal, seperti bara api yang berkilau sabar dalam kegelapan.Potongan bahu terbuka memamerkan lekuk tulang selangka yang tinggi dan tenang, seolah Nadira bukan datang untuk menghadiri acara lelang amal, tapi untuk mendeklarasikan kemenangan—tanpa satu pun pertempuran.Tina sempat melihat gaun itu pagi tadi di media sosial. Koleksi haute couture terbaru dari perancang ternama, hanya bisa dimiliki dengan koneksi atau kekayaan yang tak tahu malu.Dan kini gaun itu melekat di tubuh kakaknya, lengkap dengan tas LV edisi terbatas serta kilau hijau zamrud yang menggantung di leher bak tali kendali bangsawan.Total penampilannya mungkin setara harga apartem
Begitu rapat berakhir dan para direksi mulai membubarkan diri, Nadira melangkah kembali ke ruang kerjanya.Sepasang hak tingginya beradu lembut dengan lantai marmer, menghasilkan suara ketukan halus yang seolah menegaskan wibawanya.Aroma kopi masih menggantung di udara, bercampur dengan bau kertas hangat dari laporan-laporan yang belum sempat disentuh.Ia menoleh sebentar ke luar jendela, ke langit Jakarta yang kelabu, sebelum menekan tombol interkom.“Danu, masuk sebentar.”Tak butuh lama, pintu diketuk ringan dan Danu masuk dengan langkah tenang. Ia membawa secangkir kopi luwak di atas nampan perak, uapnya mengepul samar.“Masalah di Grup Pradana sudah selesai?” tanya Nadira, langsung ke pokok perkara.Ia sempat melihat Grup Pradana trending di media sosial pagi tadi, sekilas di antara padatnya agenda rapat.Judul-judul berita menari di sudut matanya, tapi ia menepisnya demi fokus. Baru sekarang, deng
Senja pun membiarkannya begitu saja.Begitu langkah Nadira melintasi pintu rumah, tanpa melepas sepatu, ia langsung menuju ruang pengawas.Langit di luar menghitam perlahan, dan lampu-lampu otomatis menyala satu per satu, memantulkan kilau kebiruan di permukaan marmer putih.Deretan layar CCTV menyala dingin di hadapannya, menampilkan rekaman selama dua hari terakhir. Di ruangan senyap itu, hanya terdengar detak jam dinding dan dengung rendah dari mesin pendingin.Perut kosong memang musuh yang tak pernah kalah dalam jangka panjang.Di salah satu layar, Tina tampak terpuruk di tepi ranjang—wajahnya pucat, bibirnya kering, dan tubuhnya nyaris tak lagi bisa menopang dirinya sendiri.Rambutnya kusut menutupi sebagian wajah, seperti tirai yang melindungi sisa harga diri. Tatapannya terpaku pada sepotong roti basi yang tergeletak di lantai.Lama ia menahan, tapi akhirnya tangan kurusnya bergerak ragu-ragu, perlahan meraih makanan itu
Lukas bahkan sempat terpikir untuk mengirimkan foto itu pada Mahesa, entah sebagai lelucon pahit atau pengingat akan ironi hidup.Suami Nadira itu, tiga tahun menikah tanpa satu pun potret istrinya, seolah hidup dalam versi domestik dari film noir, kelam dan kabur.Sementara Lukas, pria yang tak pernah punya ikatan resmi, justru memiliki seberkas citra Nadira yang lebih hidup daripada kenangan Mahesa sendiri.Mobil melaju tenang di bawah langit senja yang kian pekat, membelah jalanan kawasan Menteng yang sudah mulai diterangi lampu kota.Bangunan kolonial dan pepohonan besar berbaris seperti saksi bisu, memberi nuansa tenang namun tak pernah sepenuhnya hening.Nadira membuka mata perlahan. Sekilas kebingungan melintas di wajahnya, lalu pandangannya bertumbukan dengan mata Lukas yang berbinar seperti anak kecil menemukan mainan baru.Ia mengernyit, bingung sekaligus jengkel, “Kenapa kamu masih di sini?”“Aku nunggu ka
Nadira melongo, nyaris tak percaya apa yang baru saja ia lihat."Serius? Itu tadi Mahesa? Hacking-nya segitu doang?" katanya dengan nada tak puas, alis terangkat tinggi.Lukas tak bisa menahan tawanya, suara tawanya menggema ringan di ruang sempit itu. "Kayaknya cuma kamu deh yang tega ngejek kemampuan hacking dia. Orang lain paling cuma bisa nyindir halus."Tanpa menjawab, Nadira buru-buru membuka laptopnya kembali. Jemarinya menari di atas keyboard, cepat dan gugup.Matanya terpaku pada alamat IP yang tertangkap sistem. Titik-titik kecil di peta digital menunjukkan satu lokasi—sebuah rumah sederhana di Pradana.Ia langsung mengenalinya. Itu markas Mahesa.Lukas mengedikkan bahu sambil tersenyum, seolah merasa kasihan. "Kasian sih, jujur aja. Udah lama pensiun, ilmunya karatan. Lagi pula dia itu sniper, bukan hacker. Kalau dibandingin sama kamu? Jauh lah. Kamu tuh... bom waktu. Dia? Kembang api yang udah kehabisan mesiu."Nadir
Hanya membayangkannya saja sudah cukup untuk membakar amarah Mahesa dari dalam. Di balik wajah tenangnya, dadanya bergemuruh seperti drum perang.Ia menekan tombol ‘enter’ dengan satu tarikan napas berat, lalu duduk menunggu, jemarinya mengetuk-ngetuk gelas air mineral yang hanya tinggal setengah.Di depannya, layar monitor bersinar redup dalam cahaya sore yang mulai muram. Dia bersiap untuk menggali masa lalu yang telah ia kubur dalam-dalam: Nadira.Namun sesaat sebelum informasi itu muncul, halaman situs berubah drastis. Bukan ke halaman yang dituju.Bukan foto. Bukan data.Layar mendadak menjadi kelam, lalu muncul deretan kode aneh yang terus bergerak naik-turun seperti semut panik yang lari dari air mendidih.Mahesa terperanjat. Matanya membelalak, tangannya refleks mencengkeram mouse dan mengklik sembarangan, seolah itu bisa memperbaiki kekacauan yang baru saja terjadi.Tapi semuanya sia-sia.CPU mengeluarkan d