Begitu rapat berakhir dan para direksi mulai membubarkan diri, Nadira melangkah kembali ke ruang kerjanya.
Sepasang hak tingginya beradu lembut dengan lantai marmer, menghasilkan suara ketukan halus yang seolah menegaskan wibawanya.
Aroma kopi masih menggantung di udara, bercampur dengan bau kertas hangat dari laporan-laporan yang belum sempat disentuh.
Ia menoleh sebentar ke luar jendela, ke langit Jakarta yang kelabu, sebelum menekan tombol interkom.
“Danu, masuk sebentar.”
Tak butuh lama, pintu diketuk ringan dan Danu masuk dengan langkah tenang. Ia membawa secangkir kopi luwak di atas nampan perak, uapnya mengepul samar.
“Masalah di Grup Pradana sudah selesai?” tanya Nadira, langsung ke pokok perkara.
Ia sempat melihat Grup Pradana trending di media sosial pagi tadi, sekilas di antara padatnya agenda rapat.
Judul-judul berita menari di sudut matanya, tapi ia menepisnya demi fokus. Baru sekarang, deng
Dalam upaya menyelamatkan diri, Tina mengangguk sekuat tenaga, matanya memohon ampun seolah lidahnya telah kehilangan kuasa bicara.Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar, terjepit ketakutan yang mencengkeram seperti tali tak kasatmata.Nadira akhirnya melepaskannya. Dengan gerakan cepat namun penuh kontrol, ia mendorong tubuh Tina ke arah Aidan yang segera menyambutnya dengan sigap.Tina terjatuh ke dalam pelukannya, lalu terguling ke lantai trotoar yang dingin. Batuk keras menghentak tenggorokannya, serak dan penuh luka, tangannya refleks memegangi leher yang masih terasa dicekik oleh ketegangan barusan.Tak lama berselang, sebuah Maybach hitam menggelinding hening ke arah mereka. Dari balik kaca yang berembun tipis, sosok Tama turun, mengenakan setelan biru gelap yang membingkai tubuhnya seperti lukisan.Ia berjalan cepat, sepatu kulitnya menginjak genangan kecil, menciptakan cipratan yang kontras dengan keheningan malam Jakarta."Ada apa?
Di sisi mobil yang diparkir sembarangan di pinggir jalan, di bawah sorot lampu kota yang menyiramkan cahaya kekuningan, Tina berdiri canggung.Hatinya berdebar ketika melihat Aidan, pacarnya, bersandar angkuh di kap mobil sedan hitam yang mulai kusam.Ia berharap ada kehangatan di sorot matanya, semacam senyum kecil yang bisa jadi pengakuan bahwa hari ini, setidaknya hari ini, Aidan bisa melihat usahanya.Tapi yang ia tangkap justru sepasang mata kosong yang mengarah entah ke mana, seakan dirinya hanya siluet kabur yang tak layak dilihat.Tina menggigit bibir, lalu dengan gemas dan sedikit panik, ia mengulurkan tangan, menggenggam dagu Aidan dan memutarnya pelan agar menghadap ke arahnya.“Aidan, aku di sini,” katanya dengan nada manja yang dipaksakan, nyaris memohon. “Lihat aku dong. Gimana bajuku hari ini? Bagus, kan?”Ia berputar kecil, mengangkat sedikit sisi gaun biru langitnya yang sederhana, seolah menari seper
Begitu Nadira muncul di ambang pintu Rose Garden, napas Tina tercekat, seolah-olah ruangan yang semula hangat mendadak diliputi kabut dingin dari dalam dadanya sendiri.Nadira tak melangkah, ia melayang. Jumpsuit beludru merah yang membalut tubuhnya tampak membara di bawah semburat lampu gantung kristal, seperti bara api yang berkilau sabar dalam kegelapan.Potongan bahu terbuka memamerkan lekuk tulang selangka yang tinggi dan tenang, seolah Nadira bukan datang untuk menghadiri acara lelang amal, tapi untuk mendeklarasikan kemenangan—tanpa satu pun pertempuran.Tina sempat melihat gaun itu pagi tadi di media sosial. Koleksi haute couture terbaru dari perancang ternama, hanya bisa dimiliki dengan koneksi atau kekayaan yang tak tahu malu.Dan kini gaun itu melekat di tubuh kakaknya, lengkap dengan tas LV edisi terbatas serta kilau hijau zamrud yang menggantung di leher bak tali kendali bangsawan.Total penampilannya mungkin setara harga apartem
Begitu rapat berakhir dan para direksi mulai membubarkan diri, Nadira melangkah kembali ke ruang kerjanya.Sepasang hak tingginya beradu lembut dengan lantai marmer, menghasilkan suara ketukan halus yang seolah menegaskan wibawanya.Aroma kopi masih menggantung di udara, bercampur dengan bau kertas hangat dari laporan-laporan yang belum sempat disentuh.Ia menoleh sebentar ke luar jendela, ke langit Jakarta yang kelabu, sebelum menekan tombol interkom.“Danu, masuk sebentar.”Tak butuh lama, pintu diketuk ringan dan Danu masuk dengan langkah tenang. Ia membawa secangkir kopi luwak di atas nampan perak, uapnya mengepul samar.“Masalah di Grup Pradana sudah selesai?” tanya Nadira, langsung ke pokok perkara.Ia sempat melihat Grup Pradana trending di media sosial pagi tadi, sekilas di antara padatnya agenda rapat.Judul-judul berita menari di sudut matanya, tapi ia menepisnya demi fokus. Baru sekarang, deng
Senja pun membiarkannya begitu saja.Begitu langkah Nadira melintasi pintu rumah, tanpa melepas sepatu, ia langsung menuju ruang pengawas.Langit di luar menghitam perlahan, dan lampu-lampu otomatis menyala satu per satu, memantulkan kilau kebiruan di permukaan marmer putih.Deretan layar CCTV menyala dingin di hadapannya, menampilkan rekaman selama dua hari terakhir. Di ruangan senyap itu, hanya terdengar detak jam dinding dan dengung rendah dari mesin pendingin.Perut kosong memang musuh yang tak pernah kalah dalam jangka panjang.Di salah satu layar, Tina tampak terpuruk di tepi ranjang—wajahnya pucat, bibirnya kering, dan tubuhnya nyaris tak lagi bisa menopang dirinya sendiri.Rambutnya kusut menutupi sebagian wajah, seperti tirai yang melindungi sisa harga diri. Tatapannya terpaku pada sepotong roti basi yang tergeletak di lantai.Lama ia menahan, tapi akhirnya tangan kurusnya bergerak ragu-ragu, perlahan meraih makanan itu
Lukas bahkan sempat terpikir untuk mengirimkan foto itu pada Mahesa, entah sebagai lelucon pahit atau pengingat akan ironi hidup.Suami Nadira itu, tiga tahun menikah tanpa satu pun potret istrinya, seolah hidup dalam versi domestik dari film noir, kelam dan kabur.Sementara Lukas, pria yang tak pernah punya ikatan resmi, justru memiliki seberkas citra Nadira yang lebih hidup daripada kenangan Mahesa sendiri.Mobil melaju tenang di bawah langit senja yang kian pekat, membelah jalanan kawasan Menteng yang sudah mulai diterangi lampu kota.Bangunan kolonial dan pepohonan besar berbaris seperti saksi bisu, memberi nuansa tenang namun tak pernah sepenuhnya hening.Nadira membuka mata perlahan. Sekilas kebingungan melintas di wajahnya, lalu pandangannya bertumbukan dengan mata Lukas yang berbinar seperti anak kecil menemukan mainan baru.Ia mengernyit, bingung sekaligus jengkel, “Kenapa kamu masih di sini?”“Aku nunggu ka