“Kamu udah mabuk. Nginep di tempatku aja malam ini. Jangan bikin ribut,” suara pria itu terdengar pelan namun tegas, nyaris seperti perintah, sementara tangannya menggenggam lengan Nadira agar tak jatuh.
Nadira menggeleng keras, wajahnya memerah bukan hanya karena alkohol, tapi juga karena amarah yang meletup-letup tanpa arah.
Mulutnya menggumam, entah membantah atau menyanyikan lagu yang tak selesai. Ia menengadah tiba-tiba, dan pandangannya tertumbuk pada sosok Lukas yang berdiri di dalam lift, bersandar ringan pada dinding logam dengan tatapan bosan.
Tangan Nadira teracung, menunjuk Lukas dengan jari gemetar. “Mesum!” suaranya lantang, nyaris memantul di dinding lift yang sepi.
Lukas tertegun. Matanya berkedip sekali, lalu diam. Nadira maju satu langkah, menegakkan tubuh seperti hendak menantang.
Meskipun tubuhnya oleng, sorot matanya tetap tajam, seperti kucing jalanan yang tak sudi disentuh sembarangan.
“Ma
Tubuh Nadira membeku, napasnya tertahan, seperti tak sempat memahami apa yang sedang terjadi.Matanya hanya sempat menangkap bayangan hitam yang melintas, lalu dunia seolah melambat sesaat.Dalam sepersekian detik, sebuah tangan kokoh menangkapnya, menariknya kuat. Tubuhnya terhempas ke dalam pelukan hangat namun keras, seperti menghantam tembok hidup yang tak tergoyahkan.Dada itu—bidang dan bergetar halus—menyambut wajahnya dengan keras. Ada nyeri tajam yang menjalar dari pangkal hidungnya ke mata, membuat pandangannya sedikit kabur."Hati-hati!" suara bariton menggema di telinganya, dekat, terlalu dekat.Suara itu, yang selama ini hanya ia dengar dalam percakapan datar dan perintah singkat, kini terdengar berbeda.Lebih hidup. Lebih... nyata.Napas Mahesa mengalir pelan, hangat di ubun-ubunnya. Pelukannya bukan seperti yang Nadira bayangkan selama ini.Bukan lembut dan romantis seperti adegan drama Korea yang dia
Langkah kaki Nadira terhenti, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menarik tubuhnya untuk membeku.Ia berdiri di antara riuhnya gemuruh suara tawa, denting gelas, dan lantunan piano yang mengalun seperti bisikan kenangan.Di tengah sorot lampu hangat yang menyoroti langit-langit tinggi ballroom itu, matanya menangkap sosok yang tak pernah ia sangka akan muncul di tempat ini.Sosok itu menoleh, seolah merespons magnet dari pandangannya. Saat mata mereka bertemu, waktu seperti menelan napas mereka berdua.Di antara keramaian yang mengabur, hanya mereka yang tampak nyata.Napas Nadira tercekat. Mahesa.Apa yang dia lakukan di sini?Matanya beralih ke sisi pria itu. Lukas. Dengan senyum miringnya yang khas, ia tengah mencondongkan tubuh menggoda seorang perempuan bergaun merah marun yang tertawa genit, jari-jarinya bermain di ujung gelas wine.Sementara itu, Mahesa melangkah mendekat. Langkahnya mantap, namun tak terburu. Suara
Dalam upaya menyelamatkan diri, Tina mengangguk sekuat tenaga, matanya memohon ampun seolah lidahnya telah kehilangan kuasa bicara.Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar, terjepit ketakutan yang mencengkeram seperti tali tak kasatmata.Nadira akhirnya melepaskannya. Dengan gerakan cepat namun penuh kontrol, ia mendorong tubuh Tina ke arah Aidan yang segera menyambutnya dengan sigap.Tina terjatuh ke dalam pelukannya, lalu terguling ke lantai trotoar yang dingin. Batuk keras menghentak tenggorokannya, serak dan penuh luka, tangannya refleks memegangi leher yang masih terasa dicekik oleh ketegangan barusan.Tak lama berselang, sebuah Maybach hitam menggelinding hening ke arah mereka. Dari balik kaca yang berembun tipis, sosok Tama turun, mengenakan setelan biru gelap yang membingkai tubuhnya seperti lukisan.Ia berjalan cepat, sepatu kulitnya menginjak genangan kecil, menciptakan cipratan yang kontras dengan keheningan malam Jakarta."Ada apa?
Di sisi mobil yang diparkir sembarangan di pinggir jalan, di bawah sorot lampu kota yang menyiramkan cahaya kekuningan, Tina berdiri canggung.Hatinya berdebar ketika melihat Aidan, pacarnya, bersandar angkuh di kap mobil sedan hitam yang mulai kusam.Ia berharap ada kehangatan di sorot matanya, semacam senyum kecil yang bisa jadi pengakuan bahwa hari ini, setidaknya hari ini, Aidan bisa melihat usahanya.Tapi yang ia tangkap justru sepasang mata kosong yang mengarah entah ke mana, seakan dirinya hanya siluet kabur yang tak layak dilihat.Tina menggigit bibir, lalu dengan gemas dan sedikit panik, ia mengulurkan tangan, menggenggam dagu Aidan dan memutarnya pelan agar menghadap ke arahnya.“Aidan, aku di sini,” katanya dengan nada manja yang dipaksakan, nyaris memohon. “Lihat aku dong. Gimana bajuku hari ini? Bagus, kan?”Ia berputar kecil, mengangkat sedikit sisi gaun biru langitnya yang sederhana, seolah menari seper
Begitu Nadira muncul di ambang pintu Rose Garden, napas Tina tercekat, seolah-olah ruangan yang semula hangat mendadak diliputi kabut dingin dari dalam dadanya sendiri.Nadira tak melangkah, ia melayang. Jumpsuit beludru merah yang membalut tubuhnya tampak membara di bawah semburat lampu gantung kristal, seperti bara api yang berkilau sabar dalam kegelapan.Potongan bahu terbuka memamerkan lekuk tulang selangka yang tinggi dan tenang, seolah Nadira bukan datang untuk menghadiri acara lelang amal, tapi untuk mendeklarasikan kemenangan—tanpa satu pun pertempuran.Tina sempat melihat gaun itu pagi tadi di media sosial. Koleksi haute couture terbaru dari perancang ternama, hanya bisa dimiliki dengan koneksi atau kekayaan yang tak tahu malu.Dan kini gaun itu melekat di tubuh kakaknya, lengkap dengan tas LV edisi terbatas serta kilau hijau zamrud yang menggantung di leher bak tali kendali bangsawan.Total penampilannya mungkin setara harga apartem
Begitu rapat berakhir dan para direksi mulai membubarkan diri, Nadira melangkah kembali ke ruang kerjanya.Sepasang hak tingginya beradu lembut dengan lantai marmer, menghasilkan suara ketukan halus yang seolah menegaskan wibawanya.Aroma kopi masih menggantung di udara, bercampur dengan bau kertas hangat dari laporan-laporan yang belum sempat disentuh.Ia menoleh sebentar ke luar jendela, ke langit Jakarta yang kelabu, sebelum menekan tombol interkom.“Danu, masuk sebentar.”Tak butuh lama, pintu diketuk ringan dan Danu masuk dengan langkah tenang. Ia membawa secangkir kopi luwak di atas nampan perak, uapnya mengepul samar.“Masalah di Grup Pradana sudah selesai?” tanya Nadira, langsung ke pokok perkara.Ia sempat melihat Grup Pradana trending di media sosial pagi tadi, sekilas di antara padatnya agenda rapat.Judul-judul berita menari di sudut matanya, tapi ia menepisnya demi fokus. Baru sekarang, deng