Tubuh Nadira membeku, napasnya tertahan, seperti tak sempat memahami apa yang sedang terjadi.
Matanya hanya sempat menangkap bayangan hitam yang melintas, lalu dunia seolah melambat sesaat.
Dalam sepersekian detik, sebuah tangan kokoh menangkapnya, menariknya kuat. Tubuhnya terhempas ke dalam pelukan hangat namun keras, seperti menghantam tembok hidup yang tak tergoyahkan.
Dada itu—bidang dan bergetar halus—menyambut wajahnya dengan keras. Ada nyeri tajam yang menjalar dari pangkal hidungnya ke mata, membuat pandangannya sedikit kabur.
"Hati-hati!" suara bariton menggema di telinganya, dekat, terlalu dekat.
Suara itu, yang selama ini hanya ia dengar dalam percakapan datar dan perintah singkat, kini terdengar berbeda.
Lebih hidup. Lebih... nyata.
Napas Mahesa mengalir pelan, hangat di ubun-ubunnya. Pelukannya bukan seperti yang Nadira bayangkan selama ini.
Bukan lembut dan romantis seperti adegan drama Korea yang dia
Cahaya kristal lampu gantung memantul di permukaan lantai marmer, menciptakan ilusi kilauan yang tak henti menari di sela langkah para tamu gala malam itu.Namun, atmosfer elegan yang semula terjaga mulai bergetar oleh kehebohan yang tak biasa. Seolah pesta mewah itu tiba-tiba retak di bagian tengahnya.Di tengah kerumunan yang menggila, sorotan mata terpaku pada satu titik. Nadira. Sosok yang selama ini hidup di balik tirai rumor dan bisik-bisik kalangan elite, kini menjadi pusat badai.Rambut hitamnya yang ditata rapi mulai menjuntai lepas, sebagian tertempel anggur merah yang mengotori bagian bahunya.Namun, matanya, tajam seperti belati yang baru diasah, menatap lurus pada perempuan di hadapannya.Perempuan itu menggigil, bukan karena udara ruangan, tapi karena keterkejutan. Gaunnya basah oleh anggur, rambutnya lengket, dan di sela dahi dan pelipisnya, sisa serpihan kaca masih berkilau samar.Tapi yang paling menggetarkan adalah ekspresi
Di mata Mahesa, Nadira selama ini adalah sosok perempuan yang tak pernah bersuara lebih tinggi dari bisikan.Ia berjalan dengan langkah ringan, berbicara dengan nada pelan, dan menunduk setiap kali amarah suaminya meledak.Tapi malam ini, Nadira yang berdiri di hadapannya bukan perempuan itu lagi.Tatapannya tajam, matanya membara seperti bara yang sudah terlalu lama tertahan di dasar hati. Suaranya dingin, namun sarat ketegasan yang tak biasa."Mantan kekasih? Maksudmu Naura?" tanya Mahesa, dengan nada ragu yang menyelip dalam kerutan di dahinya.Tiga kata itu seperti batu besar yang menghantam dada Nadira. Ia mengerjap pelan, tapi tak menjawab. Di balik wajah yang datar, hatinya berdesir keras.Naura. Nama itu seolah tak pernah benar-benar hilang dari ruang antara mereka, meski waktu telah melumat hari-hari penuh luka.Bahkan setelah wanita itu membuat Mahesa jatuh terhina di altar pernikahan mereka, tetap saja Naura menjadi jejak y
Tubuh Nadira membeku, napasnya tertahan, seperti tak sempat memahami apa yang sedang terjadi.Matanya hanya sempat menangkap bayangan hitam yang melintas, lalu dunia seolah melambat sesaat.Dalam sepersekian detik, sebuah tangan kokoh menangkapnya, menariknya kuat. Tubuhnya terhempas ke dalam pelukan hangat namun keras, seperti menghantam tembok hidup yang tak tergoyahkan.Dada itu—bidang dan bergetar halus—menyambut wajahnya dengan keras. Ada nyeri tajam yang menjalar dari pangkal hidungnya ke mata, membuat pandangannya sedikit kabur."Hati-hati!" suara bariton menggema di telinganya, dekat, terlalu dekat.Suara itu, yang selama ini hanya ia dengar dalam percakapan datar dan perintah singkat, kini terdengar berbeda.Lebih hidup. Lebih... nyata.Napas Mahesa mengalir pelan, hangat di ubun-ubunnya. Pelukannya bukan seperti yang Nadira bayangkan selama ini.Bukan lembut dan romantis seperti adegan drama Korea yang dia
Langkah kaki Nadira terhenti, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menarik tubuhnya untuk membeku.Ia berdiri di antara riuhnya gemuruh suara tawa, denting gelas, dan lantunan piano yang mengalun seperti bisikan kenangan.Di tengah sorot lampu hangat yang menyoroti langit-langit tinggi ballroom itu, matanya menangkap sosok yang tak pernah ia sangka akan muncul di tempat ini.Sosok itu menoleh, seolah merespons magnet dari pandangannya. Saat mata mereka bertemu, waktu seperti menelan napas mereka berdua.Di antara keramaian yang mengabur, hanya mereka yang tampak nyata.Napas Nadira tercekat. Mahesa.Apa yang dia lakukan di sini?Matanya beralih ke sisi pria itu. Lukas. Dengan senyum miringnya yang khas, ia tengah mencondongkan tubuh menggoda seorang perempuan bergaun merah marun yang tertawa genit, jari-jarinya bermain di ujung gelas wine.Sementara itu, Mahesa melangkah mendekat. Langkahnya mantap, namun tak terburu. Suara
Dalam upaya menyelamatkan diri, Tina mengangguk sekuat tenaga, matanya memohon ampun seolah lidahnya telah kehilangan kuasa bicara.Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar, terjepit ketakutan yang mencengkeram seperti tali tak kasatmata.Nadira akhirnya melepaskannya. Dengan gerakan cepat namun penuh kontrol, ia mendorong tubuh Tina ke arah Aidan yang segera menyambutnya dengan sigap.Tina terjatuh ke dalam pelukannya, lalu terguling ke lantai trotoar yang dingin. Batuk keras menghentak tenggorokannya, serak dan penuh luka, tangannya refleks memegangi leher yang masih terasa dicekik oleh ketegangan barusan.Tak lama berselang, sebuah Maybach hitam menggelinding hening ke arah mereka. Dari balik kaca yang berembun tipis, sosok Tama turun, mengenakan setelan biru gelap yang membingkai tubuhnya seperti lukisan.Ia berjalan cepat, sepatu kulitnya menginjak genangan kecil, menciptakan cipratan yang kontras dengan keheningan malam Jakarta."Ada apa?
Di sisi mobil yang diparkir sembarangan di pinggir jalan, di bawah sorot lampu kota yang menyiramkan cahaya kekuningan, Tina berdiri canggung.Hatinya berdebar ketika melihat Aidan, pacarnya, bersandar angkuh di kap mobil sedan hitam yang mulai kusam.Ia berharap ada kehangatan di sorot matanya, semacam senyum kecil yang bisa jadi pengakuan bahwa hari ini, setidaknya hari ini, Aidan bisa melihat usahanya.Tapi yang ia tangkap justru sepasang mata kosong yang mengarah entah ke mana, seakan dirinya hanya siluet kabur yang tak layak dilihat.Tina menggigit bibir, lalu dengan gemas dan sedikit panik, ia mengulurkan tangan, menggenggam dagu Aidan dan memutarnya pelan agar menghadap ke arahnya.“Aidan, aku di sini,” katanya dengan nada manja yang dipaksakan, nyaris memohon. “Lihat aku dong. Gimana bajuku hari ini? Bagus, kan?”Ia berputar kecil, mengangkat sedikit sisi gaun biru langitnya yang sederhana, seolah menari seper