“Tapi, kalau kamu nikah sama selingkuhan kamu itu, uang belanja Mama masih, kan? Gak akan dikurangi?”
Tidak lain dan tidak bukan kekhawatiran Lastri hanyalah perihal uang bulanan. Guntur pikir ibunya itu mempermasalahkan apa. Tapi … “Ya ampun, Ma, cuma itu doang? Ya nggaklah, Ma. Malah Ineu kan kerja juga. Dia punya pemasukan, gak seperti Talia yang pengangguran. Kerjaannya cuma minta uang dari aku.” Guntur mengembuskan nafas dengan kasar. “Baguslah kalau begitu. Cepet-cepet aja kalian nikah, karena kamu juga musti ada yang urus. Si Ineu mau cerai juga sama suaminya?” “Iya, Ma. Dia kan gak cinta sama suaminya yang bloon itu. Cuma mau uangnya aja.” “Ya ampun, gak paham sama cinta anak zaman sekarang. Terserah deh, itu keputusan dan urusan kalian. Mama sekarang mau pulang dulu. Mama udah capek dan pegel. Mama mau istirahat. Awas, jangan minta Mama pergi ke rumah si Talia lagi. Malas Mama tuh!” celetuk Lastri dengan wajah yang masih menahan amarah pada keluarga besannya. Tapi, baru saja Lastri akan melenggang pergi, Guntur sudah memaksanya berhenti. “Jangan pulang dulu dong, Ma. Aku belum makan. Perut aku keroncongan!” Guntur mencegah ibunya yang akan segera pulang. Lastri pun mengernyitkan keningnya secara spontan. “Lho, kok? Apa si Talia gak masak buat kamu dulu?” ujar Lastri dengan penuh kekesalan. Dia refleks membalikan badan ke arah putranya lagi. “Gak ada, Ma. Lihat saja di meja makan. Gak ada makanan sama sekali. Ada juga nasi tadi pagi di mejikom. Sepertinya dia sengaja deh begini. Dia udah menguntit aku sejak kepergian aku.” Guntur sangat ketus bukan main. Apalagi dia sesekali masih memegangi perut yang sudah mulai menabuh gendang meminta makanan. “Benar-benar ya itu si Talia. Ribetin banget. Gak becus!” Lastri mendengus dengan kasar. “Ya sudah, tolong buatin aku makan dong, Ma. Apa kek. Atau nasi goreng aja deh,” titah Guntur lagi. “Kamu masak mie aja deh sendiri. Pasti ada stok mie kan?” Lastri yang malas bergerak pun menyarankan. Tapi, tentu saja Guntur menolak. Karena selama ini, dia tidak pernah berkutat di dapur. “Ya ampun, Ma, kalau makan mie instan, maag aku suka kambuh. Apalagi emang akhir-akhir ini lambungku kurang enak. Tolong dong, Ma! Lagian, aku gak bisa. Kalau nanti gosong kan gimana?” Jawaban Guntur tentu semakin membuat Lastri harus ekstra menahan diri. Jujur, dia sangat kesal pada Talia yang semena-mena pergi tanpa meninggalkan makanan untuk suaminya. “Ya ampun, Tur, baru begini aja udah ribet hidupmu. Makanya cepet nikah sama perempuan itu. Jangan sampai kamu sengsara begini dalam waktu yang lama.” Lastri mendengus lagi. “Setidaknya mungkin perlu habis masa Iddah Ineu, Ma.” “Cari yang lain aja kali, Tur? Apalagi dia punya suami!” saran Lastri dengan geram. Kalau harus menunggu masa Iddah, tentu saja sangatlah lama. Lastri tidak ingin melihat anaknya apa-apa serba sendiri. Apalagi kalau sampai merepotkan dirinya. “Ya ampun, Ma. Aku juga suka dan cinta sama dia. Aku gak bisa tinggalin dia gitu aja.” Lastri mengerlingkan bola matanya. “Sepertinya dia punya hal yang menarik dari Talia, makanya kamu betah sama wanita itu. Mama sih harap, dia bisa lebih baik daripada Talia. Kalau keukeuh, ya mau gimana.” Lastri pun memilih untuk mengikuti keputusan putranya. “Pasti, Ma. Dia itu perempuan berpendidikan, pintar, dan pekerja keras. Dia juga bisa memahami aku.” Guntur menjawab dengan pasti. “Okelah, Mama buatin nasi goreng buat kamu. Telor ada kan?” “Cari aja di kulkas, Ma.” “Hemh.” Lastri melengos pergi dengan terpaksa. Padahal dia sudah lelah, ingin merebahkan badan dan tidur dengan sangat nyenyak. Tapi, keadaan memaksa dia harus berkecimpung dengan kompor dan penggorengan. Sudahlah, badannya yang semerbak oleh parfum itu kini jadi bau bumbu dapur. Berkutat beberapa menit, akhirnya Lastri telah menyelesaikan pekerjaannya yang dia kira sangatlah rumit dan mengesalkan. Karena diri pribadi malah setiap makan itu pesan ke rumah makan. Kalau di rumah, paling masak yang instan saja. “Ma, kok asin banget!” Setelah Lastri menyuguhkan nasi goreng pada Guntur beberapa detik yang lalu, Guntur pun protes. Suapan pertamanya gagal meluncur di lidah. Dia malah melepeh dengan mimik wajah yang tak mengenakan. Tentu saja Lastri pun langsung menyipitkan matanya. “Eh, asin?” “Mama rasain aja sendiri!” titah Guntur dengan kesal. Dia tidak habis pikir dengan masakan ibunya. “Eh gak mau. Emang asin banget, ya? Mama gak mau coba ah, takut darting!” Lastri bergidik jijik. “Mama gak nyobain dulu tadi?” “Gak. Mama kira-kira aja. Soalnya Mama malas dih, Tur. Lagian, delivery aja kenapa sih? Tahu kan sejak dulu Mama jarang banget masak? Mama tukang beli di warung makan!” Jawaban ibunya sungguh membuat Guntur kecewa. Seakan saat itu juga Guntur membayangkan nasi goreng buatan istrinya yang sangat lezat dan tepat menyerang lidahnya. Arkh, tapi bayangan itu sirna saat dia memikirkan Ineu, selingkuhannya. Ineu akan jauh lebih baik dari Talia. “Heurkh! Oke deh, aku delivery aja. Sambil nunggu mau bersih-bersih dulu. Mama gak bisa diandelin!” Guntur membawa tubuhnya dengan kasar berdiri dari sofa. Ia pun segera pergi ke kamar sambil mengirim pesan ke tempat makanan yang dia inginkan. Lastri pun kini lega dan memilih pergi saja. *** [Mas, aku besok akan gugat cerai suami aku. Tapi, kamu juga janji akan segera gugat cerai Talia kan?] Pesan masuk yang kini sudah dibaca Guntur, membuat bibirnya yang sedang ketus itu tiba-tiba sedikit tersenyum. Guntur sangat menyambut baik pesan selingkuhannya itu. [Baguslah, Sayang. Aku juga akan segera gugat Talia. Tapi, kalian kan mungkin gak ada masalah. Bisa cerai gimana?] Guntur membalas. Hingga detik kemudian pun pacarnya itu tak lama langsung merespon lagi. [Aku sudah jujur sama dia, Mas. Aku masih cinta sama kamu. Aku minta kita pisah. Dan dia mau terima saja] [Semudah itu?] [Iya, Mas. Meski katanya dia gak mau cerai sama aku. Tapi aku gak cinta sama dia. Aku jujur. Jadi, besok kita akan urus perceraian. Lagian, aku juga apa yang diharepin dari dia yang cuma gaji UMR, kan? Aku cinta sama kamu, Mas. Aku ingin segera kita nikah] [Oh gitu, ya? Semoga lancar ya, Sayang?] [Do’ain ya, Mas? Kapan kamu mau gugat Talia? Besok aja kamu ke pengadilan. Biar cepet] Tiba-tiba saja pesan itu tak kunjung terbalas. Hanya ceklis dua, tapi sudah berubah warna. Tentu saja karena Guntur masih melamun dan ragu. Apa dia harus secepat itu menggugat Talia? Bisa saja besok Talia kembali bukan?Pernikahan Ineu dengan Guntur telah selesai dilaksanakan. Mulai dari acara akad nikah sampai resepsi pernikahan, dilanjutkan mengabadikan foto pernikahan mereka, telah berjalan dengan mulus.Tamu undangan yang hadir juga nyaris satu persen. Hanya saja, tidak ada pihak mantan dari Ineu. Anak semata wayang Ineu juga tidak ada. Hanya sanak keluarga Ineu terdekat saja yang hadir.Selesai acara tentu saja banyak hal yang dinanti. Meski masih ribet beberes barang-barang yang menjadi aksesoris dan pelengkap di acara pernikahan, tuan rumah tidak ikut mengerjakan. Apalagi Lastri, ibu kandung Guntur itu memiliki pikiran khusus di malam hari ini.Belum terlalu larut, bahkan senja baru saja lenyap dari pandangan mereka. Baru saja terdengar adzan Maghrib. Lastri pun belum memutuskan untuk pulang dari rumah putranya. Dia masih ingin tetap ada di sana untuk ikut serta membuka isi amplop dari para tamu undangan.Dia berharap Guntur–putranya segera mengganti uang yang dipinjam. Ditambah lagi nanti dib
“Hah, Mas mau dijodohin sama saya? Apa saya nggak salah dengar?” Setelah termenung beberapa saat, Talia mengutarakan keterkejutannya. Bukan ke-gr-an tapi memang dia ingin mengkonfirmasi takutnya salah dengar.“Iya. Entah kamu punya apa sampai Mama saya ngebet pengen jodohin saya sama kamu. Padahal nilai plus kamu cuma karena pernah nolongin Mama saya.” Dengan enteng tanpa beban, Ardhya mengatakan hal itu kepada Talia. Apalagi matanya yang melarak lirik kesana kemari. Membuat Talia merasa bahwa laki-laki dihadapannya itu tidak dewasa sama sekali.“Ya ampun, Mas, Saya yakin itu hanya gertakan Ibu Mas saja. Mungkin ibu Mas Ardhya mengatakan hal itu karena kesal sama anaknya yang nggak kawin-kawin, Mas. Apalagi kalau beliau sampai melihat kejadian tadi. Saya yakin Mas Ardhya akan dihukum di rumah.”Ardhya langsung mengangkat dagunya.“Kamu jangan berani-berani ya katakan hal tadi sama mama saya. Lagi pula saya juga udah putus sama perempuan gak tau diri itu. Dasar perempuan matre!” pekik
“Itu, semuanya sudah saya ganti rugi. Beres kan?” Ardhya nampak sudah mengotak-atik handphone miliknya. Sedangkan orang yang berseteru di sana sudah tidak ada lagi. Bahkan, kendaraannya pun sudah enyah. Ya, hanya Ardhya yang sanggup dan mampu bertanggung jawab di cafe plus resto itu.“Terima kasih. Tapi bukan berarti Mas nanti bisa porak-porandakan lagi kafe ini ya, Mas? Ini peringatan. Kalau sampai terjadi lagi, saya gak akan segan-segan bawa Mas ke kantor polisi!” kata manajer itu sedikit mengancam. Dia terlihat sudah melihat nominal uang masuk, untuk memperbaiki barang-barang yang rusak. Di sana ternyata sudah ada Talia. Dia tadi maju ke depan dan ikut menengahi. Apalagi Talia juga merasa kalau itu sebuah perikemanusiaan. Talia datang untuk meredam suasana. Sayangnya, perempuan yang masih diakui Ardhya masih pacarnya itu sudah pergi dengan pria yang berseteru dengan Ardhya. Mereka juga seperti menghindar, tak mau ganti rugi.Ardhya sudah
Talia menepikan kendaraan. Dia seperti melihat Ardhya yang ada dalam perkelahian itu. Ada juga seorang wanita yang menjerit-jerit, seakan berusaha menengahi. Ditambah orang-orang sekitar, mereka meraih keduanya masing-masing untuk menghentikan perseteruan.“Cukup, kalian kayak anak kecil!” pekik wanita yang memakai pakaian seksi itu. Talia melihat dengan jelas, memang benar di sana Ardhya. Apa sedang memperebutkan wanita?“Sudah-sudah, kalian akan kami bawa ke kantor polisi kalau terus membuat gaduh!” Salah seorang warga berkata. Keduanya pun kini memang nampak sejenak meredam emosi.Talia semakin mendekat. Dia sangat penasaran, kenapa sampai mereka beradu? Padahal tadi Ardhya baik-baik saja, malah marah-marah pada Talia. Sekarang berhenti di tempat berbeda, dan sudah berkelahi?“Mas, bagaimana, kalian mau kami bawa?” tanya salah seorang warga lagi yang sedang menahan pria asing yang satunya. Mereka tampak sebaya, pasti sedang memperebutkan sesuatu.“Oke, kita pergi saja. Dasar orang
“Mas Ardhya, maafin saya, Mas. Saya gak sengaja. Tadi saya ….” Talia benar-benar sulit untuk bicara. Menjelaskan apa? Ardhya tidak akan tahu menahu dengan kronologi yang terjadi.Talia terlihat bingung. Dia takut juga dikira mengada-ada. Kok bisa kebetulan itu mobilnya Ardhya ya?“Saya, apa? Kamu ngapain coba di sini? Jelasin kalau bener lagi ada sesuatu.” Ardhya sengaja menggertak Talia yang kini mematung kebingungan. Ardhya menyangka, kalau itu hanya akal-akalan Talia agar bisa merusak dan mengganggu hidupnya. Ardhya menduga Talia dendam pada dirinya.“Saya … saya lagi ….” Intinya Talia juga bingung. Apa dia perlu bicara kalau sedang mengintip Mirza tadi yang sedang berkomplot dengan preman? Tapi Ardhya tahu apa? Ini sama sekali bukan urusannya.“Pokoknya kamu harus ganti rugi. Lihat, mobil saya jadi lecet!”Talia yang masih kebingungan pun kaget bukan main. Dia seperti disambar oleh petir ketika diminta ganti r
Saat ini Talia berada di perjalanan pulang. Dia memutuskan untuk tidak ikut bersama Mirza karena tidak enak sama sekali.Tadi Talia coba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja itu untuk memperjarak agar perasaan Mirza tidak semakin dalam pada dirinya.Talia berharap Mirza bisa bertemu dengan perempuan lain dan memikirkan orang lain. Kalau terus dekat dan sering jalan bersama Bagaimana bisa Mirza melupakan Talia?Talia membawa kendaraan dengan lumayan kencang. Rasa trauma memang masih melanda tapi dia ingin segera berada di rumah.Untung saja di perjalanan pun ramai. Dia yakin, preman tadi sudah kabur jauh.Sampai di rumah nanti, rencana Talia yaitu ingin mengompres bagian tubuhnya yang dirasa memar. Setelah itu dia pun ingin istirahat.Masih mengendarai dengan penuh kecemasan, Talia pun mengingat sesuatu. Entah kenapa ada benda yang tidak ikut dengannya. Tadi, perasaan pergi ke kondangan dia ditemani tas kecil. Sekarang mana?Talia pun kini menepi lagi. Badan terasa rings