Mendengar tuturan kalimat Talia yang diduga manis namun akhirnya malah terasa menyindir, sontak membuat dada Lastri terangkat habis. Paruh baya yang sudah tak memiliki suami itu kini membuat sorot matanya refleks menajam. Dia kecewa, kenapa bisa Talia mengeluarkan racun namun seperti dikemas oleh madu?
“Oh, jadi seperti itu ya, Bu Lastri? Saya tidak pernah tahu selama ini kalau anak saya sering dipanggil ke rumah Bu Lastri untuk bantu-bantu. Sesering itukah? Ya ampun, Bu, saya saja gak berani kalau anak sudah berumah tangga. Kalau seperti itu, namanya bukan mantu harus berbakti. Jangan-jangan anak saya dijadikan pembantu ya? Pantas saja saya heran. Suami anak saya katanya manager, gajinya besar. Tapi di rumah anak saya yang besar kok tidak ada pembantu ya? Jadi begitu ceritanya?” Ibu Talia yang sejak tadi menahan kesal, kini akhirnya memberanikan diri membuka suara. Dia baru bisa bicara setelah tahu kenyataan putrinya diperlakukan selama ini. “Eh, Bu Titi jangan asal bicara ya? Kenapa ada kata-kata saya jadikan mantu saya pembantu? Gak ada lho. Saya gak ada jadikan mantu saya pembantu. Asal jeplak aja ya Ibu ini?” Lastri mulai tidak terima. “Jelas tadi Ibu hanya diam kan saat anak saya bicara begitu? Itu artinya Ibu ngerasa dong, Bu? Saya tidak menyangka.” Titi menggelengkan kepalanya dengan heran. “Bu, maaf, ya, Ibu jangan berlebihan. Wajar saja saya panggil Talia ke rumah untuk bantu beres-beres. Saya itu kasih dia suami gak main-main. Anak saya itu seorang GM, bukan hanya manajer, tapi lebih tinggi dari itu. Dia gajinya besar, tampan, dan juga mapan. Wajar kan kalau Talia bantu saya? Apa yang dia dapat itu sepadan, bahkan lebih.” Lastri kembali membanggakan putranya. Mungkin dia lupa, kalau kedatangan ke rumah besan itu untuk membawa menantunya pulang. Tapi … “Sudahlah. Ternyata saya salah merestui hubungan anak saya dan putra Ibu. Ternyata begini, ya? Sudah jelas barusan Ibu merendahkan kami. Kami memang bukan orang konglomerat, tapi kami juga punya harga diri. Mungkin saya sebelumnya akan kasih wejangan agar anak saya mempertahankan rumah tangganya. Tapi, sekarang saya sepertinya harus mendukung keputusan anak saya.” Jleb! Kelopak mata Lastri membelalak mendengar argumen sekaligus cambukan dari besan lelakinya itu, ayah Talia. Pria yang sejak tadi hanya diam, kini ikut angkat bicara. Dia tidak bisa melihat anak dan istrinya dipandang sebelah mata. Lalu, bagaimana usaha Lastri? Haruskah dia mengulang momen awal mengemis dengan syahdu? Kalau dia tidak berhasil membawa Talia, dia belum sanggup harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Apalagi Guntur juga akan gugur memberinya uang yang besar. Oh tidak … “Pak, Bapak jangan begitu. Tidak baik orang tua ikut campur rumah tangga anak mereka. Biarkan Talia yang memutuskan.” Mendengar keseriusan ayahnya Talia tadi, Lastri jadi semakin kesal. Kalau saja Talia tidak di dekat kedua orang tuanya, pasti rencana akan berhasil. “Ma, Mas Guntur sudah oke kok dengan perpisahan kita. Jadi, sepertinya Mama sekarang pulang saja. Karena Talia juga tidak akan pernah kembali lagi,” pungkas Talia yang membuat Lastri semakin tak percaya. Bukannya Lastri merendah, dia malah lagi-lagi terpancing kekesalannya. Seakan dia ingin membiarkan menantu tidak seberapa baginya itu pergi saja. “Kamu benar-benar ya, Talia. Kamu mungkin kehasut sama orang tua kamu. Padahal, Tuhan itu benci perceraian kan? Saya kecewa sama kamu atas apa yang sudah anak saya berikan. Baiklah, saya sudah muak juga ada di sini. Bukannya terima kasih karena sudah saya bujuk. Kalian malah sok tahan harga!” celetuk Lastri yang sudah tak mau lagi berbasa-basi. Memohon dan meminta agar menantunya mau kembali. Sudah jelas di sini, bahwa apa yang dia katakan tadi hanyalah sandiwara. “Eh, Bu Lastri, jadi begini sifat asli Ibu ya? Ternyata Ibu angkuh juga. Pantas, sekarang saya sangat percaya kalau anak saya tidak diratukan oleh anak Ibu yang jabatannya tinggi itu.” Titi kembali meraung. Dia yang notabene sama seperti ibu-ibu yang lain kalau kesal, tak ingin hanya diam saja. “Eh, Bu Titi kok sewot sih? Emang iya kok, anak saya kasih segalanya sama anak Ibu. Terima kasih dong, bukan gini. Mungkin baju-baju yang dulu jelek udah jadi kain pel. Saya yakin, dia bawa baju banyak ke mari! Itu semua, dari uang Guntur kan?” Lastri mendelik dengan pongahnya. “Maaf, Ma, Talia sama sekali nggak bawa apa-apa dari rumah. Kalau Mama nggak percaya, Talia baju pun nggak bawa sama sekali. Hanya yang dipakai ini yang Talia bawa. Kalau nggak percaya, silahkan tanya anak Mama. Dan satu hal lagi, Ma, Mama nggak perlu pura-pura membujuk. Talia yakin, Mama hanya sayang dengan tenaga Talia kan? Bukan semata-mata agar mempertahankan keluarga kami.” Kembali lagi bola mata Lastri membelalak sempurna mendengar kalimat dari menantunya. Talia yang dulu hanya selalu iya, kenapa sekarang malah bisa membalikkan kata-kata? “Silahkan pulang, Bu Lastri. Pintu sudah membuka.” Titi mengusir perempuan yang masih resmi menjadi besannya. Tentu saja Lastri pun tidak suka. Dia malah bicara dengan mengancam. “Lihat setelah ini, ya? Kalian pasti akan menyesal. Talia, kamu jangan pernah merengek minta kembali. Faham?” tukas Lastri dengan nanar. “Faham, Ma.” Seperti dibangunkan dari tidur di siang bolong mendadak. Lastri kaget dengan jawaban santai menantunya. Bukannya takut, tapi … “Awas kalian!” Lastri pun kini terburu-buru pergi setelah diusir oleh besan perempuannya. Apalagi Titi langsung membawa gagang sapu seperti akan menyuruh pergi seekor ayam yang akan buang kotoran di teras. Momen itu pun membuat Lastri semakin naik pitam. Dia merasa terhina hebat oleh mertua putranya itu. “Dasar orang utan!” pekik Lastri sambil memasukkan kaki pada sandal berhak tiga senti yang dia pakai. Nyaris saja paruh baya itu keseleo karena parno dikejar gagang sapu. “Anda yang orang utan, Bu Lastri. Ayok, silahkan pergi, Bu!” sambung Titi lagi dengan sangat kesalnya. Lastri masuk ke dalam mobil. Kepalanya bisa saja terkena ujung sapu kalau sampai terlambat ke dalam. “Ingat, ya? Kalian akan menyesal. Saya akan tunggu kalian di pengadilan agama. Pokoknya, kalau anak Anda mau balikan, saya gak akan kasih restu!” teriak Lastri dari dalam penuh percaya diri. “Hemh. Lihat saja nanti, Bu. Siapa yang akan menyesal, ya? Saya juga gak mau terus-terusan membiarkan anak saya jadi babu di rumah kalian!” sembur Titi lagi. Sedangkan Suaminya dan juga Talia, hanya menyaksikan dari jauh. “Kalian yang akan nyesel seumur hidup. Saya pastikan, sidang perceraian mereka akan rampung dalam waktu singkat!” Lastri semakin mengancam lagi. Dia berharap lawannya akan tahu diri dan merasa kalau keputusan mereka itu salah. Tapi, sepertinya rencananya itu gagal. Dia terus diusir sampai kaca belakang mobilnya saja kena getok sapu. “Heurkh. Aku harus bicara malam ini juga sama si Guntur.” Lastri sambil membanting setir bicara sendiri dengan gemuruh emosi. Dia akan langsung pergi ke rumah putranya saat itu juga.Pernikahan Ineu dengan Guntur telah selesai dilaksanakan. Mulai dari acara akad nikah sampai resepsi pernikahan, dilanjutkan mengabadikan foto pernikahan mereka, telah berjalan dengan mulus.Tamu undangan yang hadir juga nyaris satu persen. Hanya saja, tidak ada pihak mantan dari Ineu. Anak semata wayang Ineu juga tidak ada. Hanya sanak keluarga Ineu terdekat saja yang hadir.Selesai acara tentu saja banyak hal yang dinanti. Meski masih ribet beberes barang-barang yang menjadi aksesoris dan pelengkap di acara pernikahan, tuan rumah tidak ikut mengerjakan. Apalagi Lastri, ibu kandung Guntur itu memiliki pikiran khusus di malam hari ini.Belum terlalu larut, bahkan senja baru saja lenyap dari pandangan mereka. Baru saja terdengar adzan Maghrib. Lastri pun belum memutuskan untuk pulang dari rumah putranya. Dia masih ingin tetap ada di sana untuk ikut serta membuka isi amplop dari para tamu undangan.Dia berharap Guntur–putranya segera mengganti uang yang dipinjam. Ditambah lagi nanti dib
“Hah, Mas mau dijodohin sama saya? Apa saya nggak salah dengar?” Setelah termenung beberapa saat, Talia mengutarakan keterkejutannya. Bukan ke-gr-an tapi memang dia ingin mengkonfirmasi takutnya salah dengar.“Iya. Entah kamu punya apa sampai Mama saya ngebet pengen jodohin saya sama kamu. Padahal nilai plus kamu cuma karena pernah nolongin Mama saya.” Dengan enteng tanpa beban, Ardhya mengatakan hal itu kepada Talia. Apalagi matanya yang melarak lirik kesana kemari. Membuat Talia merasa bahwa laki-laki dihadapannya itu tidak dewasa sama sekali.“Ya ampun, Mas, Saya yakin itu hanya gertakan Ibu Mas saja. Mungkin ibu Mas Ardhya mengatakan hal itu karena kesal sama anaknya yang nggak kawin-kawin, Mas. Apalagi kalau beliau sampai melihat kejadian tadi. Saya yakin Mas Ardhya akan dihukum di rumah.”Ardhya langsung mengangkat dagunya.“Kamu jangan berani-berani ya katakan hal tadi sama mama saya. Lagi pula saya juga udah putus sama perempuan gak tau diri itu. Dasar perempuan matre!” pekik
“Itu, semuanya sudah saya ganti rugi. Beres kan?” Ardhya nampak sudah mengotak-atik handphone miliknya. Sedangkan orang yang berseteru di sana sudah tidak ada lagi. Bahkan, kendaraannya pun sudah enyah. Ya, hanya Ardhya yang sanggup dan mampu bertanggung jawab di cafe plus resto itu.“Terima kasih. Tapi bukan berarti Mas nanti bisa porak-porandakan lagi kafe ini ya, Mas? Ini peringatan. Kalau sampai terjadi lagi, saya gak akan segan-segan bawa Mas ke kantor polisi!” kata manajer itu sedikit mengancam. Dia terlihat sudah melihat nominal uang masuk, untuk memperbaiki barang-barang yang rusak. Di sana ternyata sudah ada Talia. Dia tadi maju ke depan dan ikut menengahi. Apalagi Talia juga merasa kalau itu sebuah perikemanusiaan. Talia datang untuk meredam suasana. Sayangnya, perempuan yang masih diakui Ardhya masih pacarnya itu sudah pergi dengan pria yang berseteru dengan Ardhya. Mereka juga seperti menghindar, tak mau ganti rugi.Ardhya sudah
Talia menepikan kendaraan. Dia seperti melihat Ardhya yang ada dalam perkelahian itu. Ada juga seorang wanita yang menjerit-jerit, seakan berusaha menengahi. Ditambah orang-orang sekitar, mereka meraih keduanya masing-masing untuk menghentikan perseteruan.“Cukup, kalian kayak anak kecil!” pekik wanita yang memakai pakaian seksi itu. Talia melihat dengan jelas, memang benar di sana Ardhya. Apa sedang memperebutkan wanita?“Sudah-sudah, kalian akan kami bawa ke kantor polisi kalau terus membuat gaduh!” Salah seorang warga berkata. Keduanya pun kini memang nampak sejenak meredam emosi.Talia semakin mendekat. Dia sangat penasaran, kenapa sampai mereka beradu? Padahal tadi Ardhya baik-baik saja, malah marah-marah pada Talia. Sekarang berhenti di tempat berbeda, dan sudah berkelahi?“Mas, bagaimana, kalian mau kami bawa?” tanya salah seorang warga lagi yang sedang menahan pria asing yang satunya. Mereka tampak sebaya, pasti sedang memperebutkan sesuatu.“Oke, kita pergi saja. Dasar orang
“Mas Ardhya, maafin saya, Mas. Saya gak sengaja. Tadi saya ….” Talia benar-benar sulit untuk bicara. Menjelaskan apa? Ardhya tidak akan tahu menahu dengan kronologi yang terjadi.Talia terlihat bingung. Dia takut juga dikira mengada-ada. Kok bisa kebetulan itu mobilnya Ardhya ya?“Saya, apa? Kamu ngapain coba di sini? Jelasin kalau bener lagi ada sesuatu.” Ardhya sengaja menggertak Talia yang kini mematung kebingungan. Ardhya menyangka, kalau itu hanya akal-akalan Talia agar bisa merusak dan mengganggu hidupnya. Ardhya menduga Talia dendam pada dirinya.“Saya … saya lagi ….” Intinya Talia juga bingung. Apa dia perlu bicara kalau sedang mengintip Mirza tadi yang sedang berkomplot dengan preman? Tapi Ardhya tahu apa? Ini sama sekali bukan urusannya.“Pokoknya kamu harus ganti rugi. Lihat, mobil saya jadi lecet!”Talia yang masih kebingungan pun kaget bukan main. Dia seperti disambar oleh petir ketika diminta ganti r
Saat ini Talia berada di perjalanan pulang. Dia memutuskan untuk tidak ikut bersama Mirza karena tidak enak sama sekali.Tadi Talia coba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja itu untuk memperjarak agar perasaan Mirza tidak semakin dalam pada dirinya.Talia berharap Mirza bisa bertemu dengan perempuan lain dan memikirkan orang lain. Kalau terus dekat dan sering jalan bersama Bagaimana bisa Mirza melupakan Talia?Talia membawa kendaraan dengan lumayan kencang. Rasa trauma memang masih melanda tapi dia ingin segera berada di rumah.Untung saja di perjalanan pun ramai. Dia yakin, preman tadi sudah kabur jauh.Sampai di rumah nanti, rencana Talia yaitu ingin mengompres bagian tubuhnya yang dirasa memar. Setelah itu dia pun ingin istirahat.Masih mengendarai dengan penuh kecemasan, Talia pun mengingat sesuatu. Entah kenapa ada benda yang tidak ikut dengannya. Tadi, perasaan pergi ke kondangan dia ditemani tas kecil. Sekarang mana?Talia pun kini menepi lagi. Badan terasa rings