“Maaf, Ma, Talia sangat sakit hati. Dan ini bukan untuk kali pertama.”
Lastri sudah tiba di rumah orang tua Talia. Tentu saja beberapa menit yang lalu dia sudah menjelaskan maksud kedatangannya. Dia percaya diri bahwa kali ini pun akan berhasil membujuk menantunya. Orang tua Talia yang tidak terlalu banyak ikut campur, memilih tetap diam sambil menyimak. Mereka juga belum begitu tahu banyak. Karena Talia belum sempat curhat segalanya. Lastri pun buru-buru datang sebelum membiarkan Talia terpengaruh oleh ibu dan ayahnya. “Pikiran tentang masa depan kalian, Talia. Guntur itu sudah mapan. Maaf, bukan membaguskan anak sendiri. Tapi, tidak banyak laki-laki yang punya pekerjaan bagus dengan gaji tinggi, Talia.” Lastri seperti seorang salesgirl yang terus mempromosikan putranya. Padahal di mata Talia, Guntur sudah jelek sejelek-jeleknya. “Maksud Mama, gaji Mas Guntur besar itu seberapa ya, Ma?” Alih-alih mendapatkan jawaban atas permintaan, Lastri malah dilempar pertanyaan tentang gaji putranya. Tentu saja perempuan paruh baya itu pun harus sedikit menahan rasa kesal. Dia tidak boleh buru-buru mengambil keputusan apapun. “Ya kamu tahu lah gaji GM. Puluhan juta. Apalagi itu perusahaan bagus, Talia.” Lastri menjawab dengan penuh percaya diri. Ibu dan ayah Talia yang ada di sana, hanya saling melirik tanpa kata. Tapi di wajah mereka tersirat banyak makna. Detik kemudian, Talia seperti tersenyum sempit. Matanya mengedar ke arah lain seakan ingin menertawakan sesuatu. “Maaf, puluhan juta, Ma? Aku sih baru tahu. Biar Talia kasih tahu ya, Ma. Talia dikasih uang untuk dapur itu sebesar dua juta perbulan. Itu plus beli kebutuhan Talia seperti bedak, dan lipstik. Belum lagi kebutuhan kamar mandi dan alat-alat yang kami perlukan lainnya. Ternyata sebesar itu ya gajinya, Ma?” Pertanyaan Talia yang santai namun menusuk itu membuat Lastri menelan liurnya. Dia menahan nafas di dada atas ungkapan menantunya. “Tapi kamu dikasih uang lain kan? Mama sih gak yakin dia cuma kasih uang segitu.” Lastri tidak mau anaknya direndahkan. Dengan tingkah polah bicaranya, dia berusaha agar menantunya itu tidak merasakan sakit hati. Pun dengan besannya. Bisa-bisa, ajakan untuk kembali ditolak, bukan? “Ada sih, Ma, tapi itu kalau Mas Guntur bawa makanan dari luar. Itu mungkin lebihnya. Untuk beli pakaian bagus saja harus nunggu lebaran, Ma. Apa Mama nggak tahu?” ucap Talia lagi seakan ingin menghukum ibu mertuanya dengan segala kenyataan. “Ah gak mungkin sih, gak mungkin. Kamu pasti mengada-ada kan?” Tanggapan Lastri tersebut tentu saja berdasarkan inisiatif saja. Karena sebenarnya, ia pun tahu pengeluaran putranya pada sang istri. Bisa dibilang, Lastri ikut campur dalam hal keuangan ini. “Tapi ya semua orang gak akan percaya sih, Ma. Sama sekali gak akan percaya. Talia pun selama ini tidak pernah mengadu sedikit pun, sama siapapun. Sama ayah, sama ibu pun. Tapi, sekarang Talia seakan gimana ya, Ma? Bosan atau gimana sih menurut Mama, kalau terus dikhianati?” Pertanyaan Talia yang menohok pada mertuanya itu membuat Lastri kembali menarik ujung bibirnya. Dia rasa, kali ini Talia seperti akan susah dibujuk. “Talia, dulu suami Mama juga gitu. Tapi, Mama sering memaafkan dan memaafkan kok? Mama akhirnya hanya bisa dipisahkan oleh maut. Mama juga sering diselingkuhi, Talia, Tapi Mama harus bisa memaafkan. Apalagi ya Mama melihat masa depan.” Jawaban Lastri yang begitu sangat meyakinkan itu membuat Talia merekahkan bibirnya. “Oh, sudah ada turunan ya, Ma? Maaf ya, Ma, tapi Talia bukan Mama yang pemaaf.” Seperti diserang oleh lawan namun tak bisa berkutik. Lastri merasa bahwa menantunya kali ini sudah pandai bicara. Padahal, dulu dia sangat mudah luluh. Apa-apa cuma menangis, dan tentu kata maaf mudah meluncur dari pita suaranya. “Mungkin Mama meski diselingkuhi, Mama diratukan, Ma. Mama dikasih ART. Mama dikasih uang bulanan yang melimpah. Atau entah aku nggak tahu alasan apa saja yang membuat Mama bertahan seperti cerita Mama barusan. Hanya saja, aku jauh dari cerita seperti itu, Ma.” “Kamu jangan terlalu menjelekkan Guntur di hadapan orang tua kamu. Mama tahu Guntur seperti apa. Dia saja kasih uang ke Mama perbulan sampai lima jutaan. Belum lagi kalau Mama minta lagi. Gak mungkin ke kamu cuma ngasih segitu.” Lastri yang terpancing untuk membaguskan putranya itu kini seakan keceplosan. Selama ini Talia tidak tahu uang sebesar itu sering mengalir ke rekening ibu mertuanya. Padahal, dia tidak akan marah, karena seorang anak laki-laki memang berhak memberikan ibunya uang, apalagi dia seorang janda. Mendengar kejujuran yang tidak direncanakan oleh Lastri, kedua orang tua Talia pun seperti kaget. Mereka kembali saling lirik tak menyangka. Kenapa menantu mereka pelit pada istri? Padahal, gajinya saja katanya besar? Talia memalingkan pandangan dengan senyum sinis. Lastri yang sudah keceplosan itu kini jadi tidak enak duduk. Dia sebisa mungkin ingin meralat dan mengalihkan keadaan. “Ehm. Maksudnya ya, maksud Mama itu, kalau Mama minta buat keperluan, meski gede, dia kasih lho. Tapi dia juga sering bilang, istri itu yang utama. Jadi, kamu pasti hanya mengada-ada saja. Tapi Talia, maafkan Guntur, ya? Maafin dia lah. Dia khilaf. Mama mohon, bimbing dia ke jalan yang benar.” Lastri seakan ingin membuat menantu dan besannya amnesia dengan apa yang dia ucapkan kenyataannya tadi. Dia tidak ingin disebut ibu yang bergantung pada anak. “Sudahlah, Ma, aku nggak apa-apa kok. Sama sekali aku nggak keberatan Mas Guntur kasih uang berapapun sama Mama. Ya, meski aku sama sekali nggak tahu besarannya. Dan nyatanya Mama sudah bilang tadi. Tapi jangan khawatir, Mama nggak usah jadi merasa sukar begitu. Lagian, sekarang aku kan ada di sini, Ma. Uang Mas Guntur nggak akan untuk aku lagi.” Kata-kata Talia membuat Lastri semakin bersikukuh untuk membuat Talia kembali. “Jangan gitu dong, Talia. Jangan marah begini. Kamu itu perempuan baik-baik. Mama nggak ingin kehilangan kamu, Tal. Mama udah sreg sama kamu.” Lastri seakan membuat mimik wajah sedihnya. Seakan jadi faktor pendukung agar Talia bisa iba dan memikirkan keputusannya untuk berpisah. “Terimakasih, Ma. Selama ini Talia juga menganggap Mama sebagai ibu mertua yang baik. Seringkali Mama memanggil Talia ke rumah hanya agar kita sering bersama kan? Misal kita sama-sama nyuci, ngepel, dan bersih-bersih gitu ya, Ma? Talia juga sebenarnya nggak mau kehilangan mertua yang sesayang itu sama Talia. Sampai-sampai apa-apa Mama seperti menganggap aku sebagai anak sendiri kan? Gak segan nyuruh ini dan itu.” Lastri bungkam dengan dada yang memanas.Pernikahan Ineu dengan Guntur telah selesai dilaksanakan. Mulai dari acara akad nikah sampai resepsi pernikahan, dilanjutkan mengabadikan foto pernikahan mereka, telah berjalan dengan mulus.Tamu undangan yang hadir juga nyaris satu persen. Hanya saja, tidak ada pihak mantan dari Ineu. Anak semata wayang Ineu juga tidak ada. Hanya sanak keluarga Ineu terdekat saja yang hadir.Selesai acara tentu saja banyak hal yang dinanti. Meski masih ribet beberes barang-barang yang menjadi aksesoris dan pelengkap di acara pernikahan, tuan rumah tidak ikut mengerjakan. Apalagi Lastri, ibu kandung Guntur itu memiliki pikiran khusus di malam hari ini.Belum terlalu larut, bahkan senja baru saja lenyap dari pandangan mereka. Baru saja terdengar adzan Maghrib. Lastri pun belum memutuskan untuk pulang dari rumah putranya. Dia masih ingin tetap ada di sana untuk ikut serta membuka isi amplop dari para tamu undangan.Dia berharap Guntur–putranya segera mengganti uang yang dipinjam. Ditambah lagi nanti dib
“Hah, Mas mau dijodohin sama saya? Apa saya nggak salah dengar?” Setelah termenung beberapa saat, Talia mengutarakan keterkejutannya. Bukan ke-gr-an tapi memang dia ingin mengkonfirmasi takutnya salah dengar.“Iya. Entah kamu punya apa sampai Mama saya ngebet pengen jodohin saya sama kamu. Padahal nilai plus kamu cuma karena pernah nolongin Mama saya.” Dengan enteng tanpa beban, Ardhya mengatakan hal itu kepada Talia. Apalagi matanya yang melarak lirik kesana kemari. Membuat Talia merasa bahwa laki-laki dihadapannya itu tidak dewasa sama sekali.“Ya ampun, Mas, Saya yakin itu hanya gertakan Ibu Mas saja. Mungkin ibu Mas Ardhya mengatakan hal itu karena kesal sama anaknya yang nggak kawin-kawin, Mas. Apalagi kalau beliau sampai melihat kejadian tadi. Saya yakin Mas Ardhya akan dihukum di rumah.”Ardhya langsung mengangkat dagunya.“Kamu jangan berani-berani ya katakan hal tadi sama mama saya. Lagi pula saya juga udah putus sama perempuan gak tau diri itu. Dasar perempuan matre!” pekik
“Itu, semuanya sudah saya ganti rugi. Beres kan?” Ardhya nampak sudah mengotak-atik handphone miliknya. Sedangkan orang yang berseteru di sana sudah tidak ada lagi. Bahkan, kendaraannya pun sudah enyah. Ya, hanya Ardhya yang sanggup dan mampu bertanggung jawab di cafe plus resto itu.“Terima kasih. Tapi bukan berarti Mas nanti bisa porak-porandakan lagi kafe ini ya, Mas? Ini peringatan. Kalau sampai terjadi lagi, saya gak akan segan-segan bawa Mas ke kantor polisi!” kata manajer itu sedikit mengancam. Dia terlihat sudah melihat nominal uang masuk, untuk memperbaiki barang-barang yang rusak. Di sana ternyata sudah ada Talia. Dia tadi maju ke depan dan ikut menengahi. Apalagi Talia juga merasa kalau itu sebuah perikemanusiaan. Talia datang untuk meredam suasana. Sayangnya, perempuan yang masih diakui Ardhya masih pacarnya itu sudah pergi dengan pria yang berseteru dengan Ardhya. Mereka juga seperti menghindar, tak mau ganti rugi.Ardhya sudah
Talia menepikan kendaraan. Dia seperti melihat Ardhya yang ada dalam perkelahian itu. Ada juga seorang wanita yang menjerit-jerit, seakan berusaha menengahi. Ditambah orang-orang sekitar, mereka meraih keduanya masing-masing untuk menghentikan perseteruan.“Cukup, kalian kayak anak kecil!” pekik wanita yang memakai pakaian seksi itu. Talia melihat dengan jelas, memang benar di sana Ardhya. Apa sedang memperebutkan wanita?“Sudah-sudah, kalian akan kami bawa ke kantor polisi kalau terus membuat gaduh!” Salah seorang warga berkata. Keduanya pun kini memang nampak sejenak meredam emosi.Talia semakin mendekat. Dia sangat penasaran, kenapa sampai mereka beradu? Padahal tadi Ardhya baik-baik saja, malah marah-marah pada Talia. Sekarang berhenti di tempat berbeda, dan sudah berkelahi?“Mas, bagaimana, kalian mau kami bawa?” tanya salah seorang warga lagi yang sedang menahan pria asing yang satunya. Mereka tampak sebaya, pasti sedang memperebutkan sesuatu.“Oke, kita pergi saja. Dasar orang
“Mas Ardhya, maafin saya, Mas. Saya gak sengaja. Tadi saya ….” Talia benar-benar sulit untuk bicara. Menjelaskan apa? Ardhya tidak akan tahu menahu dengan kronologi yang terjadi.Talia terlihat bingung. Dia takut juga dikira mengada-ada. Kok bisa kebetulan itu mobilnya Ardhya ya?“Saya, apa? Kamu ngapain coba di sini? Jelasin kalau bener lagi ada sesuatu.” Ardhya sengaja menggertak Talia yang kini mematung kebingungan. Ardhya menyangka, kalau itu hanya akal-akalan Talia agar bisa merusak dan mengganggu hidupnya. Ardhya menduga Talia dendam pada dirinya.“Saya … saya lagi ….” Intinya Talia juga bingung. Apa dia perlu bicara kalau sedang mengintip Mirza tadi yang sedang berkomplot dengan preman? Tapi Ardhya tahu apa? Ini sama sekali bukan urusannya.“Pokoknya kamu harus ganti rugi. Lihat, mobil saya jadi lecet!”Talia yang masih kebingungan pun kaget bukan main. Dia seperti disambar oleh petir ketika diminta ganti r
Saat ini Talia berada di perjalanan pulang. Dia memutuskan untuk tidak ikut bersama Mirza karena tidak enak sama sekali.Tadi Talia coba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja itu untuk memperjarak agar perasaan Mirza tidak semakin dalam pada dirinya.Talia berharap Mirza bisa bertemu dengan perempuan lain dan memikirkan orang lain. Kalau terus dekat dan sering jalan bersama Bagaimana bisa Mirza melupakan Talia?Talia membawa kendaraan dengan lumayan kencang. Rasa trauma memang masih melanda tapi dia ingin segera berada di rumah.Untung saja di perjalanan pun ramai. Dia yakin, preman tadi sudah kabur jauh.Sampai di rumah nanti, rencana Talia yaitu ingin mengompres bagian tubuhnya yang dirasa memar. Setelah itu dia pun ingin istirahat.Masih mengendarai dengan penuh kecemasan, Talia pun mengingat sesuatu. Entah kenapa ada benda yang tidak ikut dengannya. Tadi, perasaan pergi ke kondangan dia ditemani tas kecil. Sekarang mana?Talia pun kini menepi lagi. Badan terasa rings