“Syukurlah kandunganmu tidak apa-apa. Kamu hanya tertekan dan itu berpengaruh pada janin di perutmu.”
Raelina menghela napas lega mendengar hasil diagnosis dokter kandungan yang merupakan rekan dokter.
“Banarkah? Terima kasih, Dokter Alina,” ucapnya dengan penuh syukur sambil mengelus perutnya.
Dokter Alina tersenyum dan menunduk menulis resep di catatannya.
“Aku memberimu resep untuk memperkuat kandunganmu. Lain kali kamu harus menjaga mood-mj agar tidak sampai stres dan tertekan. Berusahalah untuk menjaga pikiranmu tenang,” ujar Dokter memberi Raelina nasihat kemudian memberikan kertas resep obat pada Raelina.
“Aku mengerti, terima kasih Dokter Alina,” balas Raelina mengambil kertas dari Dokter Alina.
“Ke mana suamimu? Mengapa dia tidak menemanimu?” Dokter Alina bertanya penasaran karena tidak melihat Yosua menemani Raelina.
Senyum di wajah Raelina menghilang, itu hanya ses
Yosua kembali ke rumah duka Diana usai menyelidiki kematian Diana di rumah sakit. Yosua mengulang kata-kata perawat yang memberi kronologi kematian Ibu kandung Fiona.“Ibu Diana memang sudah melewati masa kritis setelah operasi semalam. Ini tidak ada hubungannya dengan dampak dari operasi semalam. Awalnya dia terlihat baik-baik saja saat saya memeriksanya. Tapi .....” Suster itu menjeda kalimatnya sesaat, dia terlihat ragu-ragu ingin melanjutkan kalimatnya. Ekspresi wajahnya tampak cemas.Yosua menyilangkan tangannya di depan dada, matanya menatap suster itu tenang.“Apa yang terjadi setelah itu?”Suster itu menelan ludah gugup.“Sebenarnya aku tidak yakin, saat kembali untuk mengecek kondisi Ibu Diana, seorang pria asing keluar dari ruang rawat Ibu Diana. Aku pikir itu kerabat yang mengunjungi Ibu Diana. Tapi saat aku masuk ke ruangan itu, Ibu Diana terbaring kaku di atas ranjangnya. Ventilator yang menopang hid
Raelina menatap kosong langit malam yang tak berbintang. Putrinya sudah tertidur dalam gendongannya. Sudah tiga puluh menit dia menunggu namun Yosua belum juga datang. Bahkan satpam yang berjaga di parkiran sampai menanyakannya beberapa kali dan menyuruhnya menunggu di dalam gedung rumah sakit. Namun Raelina menolak dan akan menunggu Yosua. Dia takut Yosua datang dan melihatnya tidak ada. Raelina mencoba untuk berpikir positif Yosua pasti akan datang dan pasti ada yang membuatnya lama. Namun sejam kemudian Yosua masih belum juga datang. Menghubunginya pun tidak. Dia mencoba menelepon, namun telepon Yosua tidak aktif. Raelina mencengkeram ponselnya erat. Ekspresinya sangat muram, menatap layar ponselnya. Raelina lelah dan sangat kecewa, dia tidak ingin menunggu Yosua lagi dan memutuskan naik taksi pulang sendiri dengan hati penuh kekecewaan. Saat dia hendak memanggil taksi, ponsel di tangannya bergetar dan sebuah notice masuk ke m
“Aku memilih kamu bekerja kembali menjadi tentara. Meski aku merasa kesepian, aku tidak akan merasa sakit hati seperti ini.” Raelina menggelengkan kepalanya dan mengusap air matanya. Raut wajah Yosua berubah muram. “Aku juga tidak ingin melakukan ini dan membuatmu terabaikan! Kamu pikir aku ingin melakukan pekerjaan remeh ini, tapi demi kamu dan anak-anak kita, aku terpaksa! Aku juga ingin kembali ke tentara!” Suaranya sedikit keras dan tidak senang. Raelina tersentak mendengar bentakannya. Ekspresi Yosua melembut. “Maaf aku tidak bermaksud membentakmu. Kamu tahu aku sangat lelah hari ini.” Namun Raelina hanya mendengus. Dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Dia menatap Yosua dengan ekspresi muram. “Kamu bahkan tidak bertanya apa yang terjadi pada bayi kita. Apa kamu tahu aku nyaris kehilangan anak ini,” kata Raelina menunjuk perutnya. “Kamu berjanji akan menjaga kami dan selalu di sisi kami.
Yosua tersenyum menatap wajah Raelina lembut. Dia memejamkan matanya dan memeluk pinggangnya membalas ciumannya.Setelah beberapa saat Raelina mendorongnya dan berkata cemberut, “Kamu menyebalkan tahu,” ujarnya masih tidak puas meski Yosua menghiburnya dengan kejutan ulang tahunya.Dia memukul dadanya kesal.“Jangan pikir hadiah ini bisa membuatku memaafkanmu,” ujarnya terisak cemberut.“Aku tahu, maaf.” Yosua mengusap air matanya dan tersenyum lembut.“Maaf sikapku belakangan ini membuatmu kesal dan sedih. Lain kali aku tidak akan seperti ini lagi. Aku akan berusaha untuk mendahulukanmu di atas pekerjaanku, aku bersumpah.” Dia membuat sumpah dengan ekspresi serius.Raelina menarik napasnya dalam-dalam, rasa kesal dan sedih di hatinya perlahan-lahan memudar.Dia mendongak menatap Yosua, mendengar ucapan membuatnya sedikit terharu, memeluk tubuh pria itu.“Kamu tahu aku hanya
Usai mengganti pakaiannya, Raelina tetap berada di dalam kamarnya dan menidurkan Zenith.Dia terlalu malas keluar dan berurusan dengan ibu mertua yang membencinya. Dia samar-sama mendengar pembicaraan di luar meski tidak terdengar jelas.Entah apa yang dibicarakan Yosua dengan ibunya dan bagaimana dia akan menolak tawaran pekerjaan yang diberi Wina. Dia tidak mendengar jelas. Raelina merasa mengantuk, dia berbaring di samping Zenith dan tertidur.Entah berapa lama sudah berlalu, Raelina merasakan kehadiran seseorang memeluknya di belakang. Tangan kekar itu meraba-raba perutnya yang sedikit membuncit lembut, dan mencium kening Raelina.Raelina mengerjap membuka matanya dan menoleh ke samping menatap Yosua.“Kapan kamu datang?”“Beberapa menit lalu.”“Apa kamu sudah selesai berbicara dengan Ibu?”“Hmm, udah.”“Apa Ibu masih ada di sini?”&ldqu
Seorang wanita bergaun Hitam keluar dari bandara membawa kopernya mengikuti arus kerumunan orang yang keluar dari pintu kedatangan. Dia melepaskan kaca matanya menatap ke sekitar bandara dengan wajah tanpa ekspresi.Seorang wanita yang terlihat seumuran dengannya melambaikan tangannya padanya.“Leah!”Senyum di bibir merah wanita itu mengembang, dia berjalan menghampiri wanita itu dengan anggun.“Arina, bagaimana kabarmu?” Sapanya begitu tiba di depan gadis.Gadis itu adalah Arina, keduanya saling saling cipika-cipiki dan menanyakan kabar masing-masing.Mereka memiliki berjalan keluar dari bandara. Saat mereka keluar seorang supir menghampiri Arina.Arina memerintahnya untuk mengambil koper di tangan Leah. Sopir itu mengambil koper Leah dan memasukkan koper itu ke dalam bagasi mobil sebelum membuka pintu untuk kedua wanita itu.Arina dan Leah masuk ke dalam mobil. Mobil itu pun meninggalkan bandara.
Cuaca cukup cerah dan berangin, menggoda Raelina untuk berjalan-jalan di halaman rumahnya. Dia mengambil selang air untuk menyiram tanaman sambil mengawasi putrinya yang bermain di halaman.Beberapa tetangga lewat atau berjoging menyapa Raelina.Ini hari Minggu, kompleks perumahannya agak ramai oleh para tetangga yang beraktivitas, baik itu joging atau berjalan-jalan.“Papa ....”Raelina menoleh mendengar suara cadel Zenith memanggil papanya. Dia melihat Zenith berlari dengan kaki kecilnya berlari dan memeluk kaki Yosua yang baru masuk melalui pintu gerbang rumah yang terbuka.“Yoo~ putri Papa udah bangun.” Yosua membungkuk mengambil Zenith yang memeluk kakinya dan mengangkatnya ke udara.Gadis kecil itu cekikikan dan melambai-lambaikan tangannya.Yosua menurunkannya dan menggelitik perutnya menyebabkan gadis kecil itu tertawa kencangnya. Suara tawanya terdengar menyenangkan.Sungguh pemandangan ya
Raelina membeku menatap wajah gadis itu. Dia merasa akrab dengan wajahnya.Dia melihat wajah gadis dalam foto yang dikirimkan oleh orang misterius di mana dia berpelukan dengan Yosua beberapa bulan yang lalu?Sudah lima bulan berlalu Raelina menghindari pembahasan tentang gadis itu meski Yosua bekerja sebagai pengawalnya.“Nyonya, kamu baik-baik saja ....” Gadis itu melambaikan tangannya di depan wajah Raelina melihat wanita hamil itu terdiam dengan ekspresi aneh di wajahnyaDia mencemaskan Raelina karena wanita itu sedang hamil.Raelina mengerjapkan matanya tersadar.“Ahh ....” Dia mencoba tersenyum namun wajahnya justru terlihat aneh.Raelina memeluk perutnya yang besar dan berkata pada gadis itu. “Terima kasih sudah menolongku,” ujarnya.Fiona tersenyum lega.“Syukurlah kalau Anda baik-baik saja.” Senyum wanita muda itu sangat lembut.Sekilas orang melihat d