Enam
*** Udara di luar teramat dingin, begitu menusuk tulang. Namun, keadaan di rumah sang mantan justru terasa membara. Tuan dan Nyonya, merupakan orang paling sulit dalam mengucap kata maaf. Dengan sedikit ancaman, akhirnya Listi mau mengakui banyak hal. Mengumpulkan kami di sini, menuntut kejelasan atas apa yang sudah mereka perbuat. Tatapan tajam dari mereka, seakan menghunus jantung. Mendesah resah, aku sadar tak pernah sedikitpun diharapkan berada di rumah ini. Janji, aku nggak akan bawa ini ke jalur hukum. Asal, mereka mau mengucap kata maaf. Nggak lagi ganggu kehidupan aku, diri perlu jua ketenangan. "Kamu, punya Pabrik kosmetik? Nggak salah? Bukannya, kerjaan kamu hanya seorang PSK?" cecar Bang Afdal, jika sedang begini mulutnya berubah pedas bak seorang wanita dengan tingkat kelemesan. Jangan sok tahu kamu Bang! Selalu saja menilai aku dengan sesuka hati, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku yang terus dituding dalam berbagai hal. "Jangan kebanyakan halu kamu! Nggak mungkin banget, Pabrik besar itu kamu yang punya. Mimpi, terlalu ketinggian. Pas jatuh, sakitnya minta ampun." Kak Indri ikut menambahkan, lengkap sudah hinaan dan berbagai tudingan yang dilayangkan untuk aku. Yang tenang, Mella! Jangan pernah bersikap kasar, perbuatan hal tersebut hanya akan menyamakan dirimu dengan mereka! Kulirik orang tua Andini, mereka tampak gusar. Keluarga besannya mana tahu, akan konflik yang sedang kami alami saat ini. "Bisa nggak kalian diam dulu? Aku ... Lagi ada urusan dengan Nyonya dan Tuan, jadi biarkan mereka yang angkat bicara. Silakan!" Menunggu dengan tidak sabar, kembali menatap keduanya. Membawa harapan, semua usai tanpa harus melibatkan hukum. "Sok banget sih kamu, palingan juga di sana hanya sebagai suruhan." Kali ini Andini yang tampak geram, ikut menyuarakan isi hati. Tinggal mantan mertua, yang masih bergeming menunggu babak selanjutnya mungkin. Argggh sial! Dua hari berlalu, seluruh waktuku seakan terbuang sia-sia. Kembali berhubungan dengan masa lalu, seperti mengorek luka yang sama. "Katakan apa yang membuat hati kalian puas! Urusanku hanya bersama orang tuamu Andin, kebetulan mereka sedang di sini. Terpaksa, harus membuka masalah sekarang juga." Menarik napas panjang, udara makin terasa panas. "Kalau kalian masih diam, maaf jika nama baik keluarga besar Hartomo akan buruk di seluruh Indonesia." Berdiri dengan rasa kesal, yang teramat dalam. Niatku sudah bulat ingin segera pulang, dengan memviralkan Nyonya dan Tuan. "Tunggu!" teriak seseorang, menghentikkan langkah. Mendengkus sebal, tak kusangka pikirannya akan berubah disaat terakhir. "Ma-af." Serius? Nyonya bilang maaf? Membalikkan tubuh dengan tegap, ingin mendengar dan menyaksikkan langsung. "Suaramu terlalu kecil, Nya. Aku nggak dengar." Nyonya berdiri mematung, wajahnya berubah pias. Semua netra memandang lekat, ingin tahu apa yang akan dia lontarkan. "Ma-af, to-long jangan viralkan masalah ini. Listi, terlalu banyak follower. Nggak hanya youtuber, dia juga aktif di I*, F* mungkin juga berbagai hal lain yang tidak aku tahu." Tersenyum menang, akhirnya dia tahu bahwa pengaruh Listi akan banyak merubah pandangan orang padanya dan keluarga besar. "Mi, please jangan memohon sama dia! Nggak sudi aku dengarnya," protes Andini. Membuat diriku makin sebal, terlalu banyak omong! "Nggak apa, Andin. Ini urusan Mami dengan dia, tolong jangan bicara apapun sama dia." Takut 'kan? Ini sih namanya senjata makan Nyonya dan Tuan, niatnya mau mencelakai orang lain. Eh malah berbalik. "Sekali lagi kami minta maaf, Mella. Dan tolong, jangan viralkan masalan ini." Berdiri dengan jumawa, kunikmati permohonan darinya. Kapan lagi mendapat hiburan seperti sekarang? "Mi ... Bangun, nggak harus sampai bersimpuh juga." Bang Afdal yang baik, membantu sang mertua untuk berdiri. "Keterlalun kamu Mella, masih saja menggangu hidupku!" Jangan, please. Tahan bulir bening, untuk tidak terjatuh di hadapannya. "Kamu pikir, sudi apa aku datang ke mari? Kalau bukan karena mertuamu, haram bagiku menginjakkan kaki di rumah ini. Paham?" Semua orang terdiam, ke mana perginya suara cempreng mantan mertua yang biasa menghiasi telinga? Kenapa mendadak membisu? Mungkin, ia sedang mencerna masalah hari ini. Semua memang terasa mendadak, aku sendiri nggak tahu akan ada kerjasama dengan mereka. "Munafik! Sampai kapanpun, kamu nggak akan bisa move on dariku Mell. Aku tahu betul, bagaimana cintanya kamu sama aku?" Pipiku mendadak hangat, memang apa yang dia katakan tidak ada yang salah. Hanya saja, kenapa harus di depan banyak orang? Tega sekali kamu! "Hahahahaha." Tawaku seakan meledak, hanya untuk menutupi hati yang lukanya semakin menganga. "Kamu dengar Andin, bahkan di depan kamu saja dia masih berani mengucap kata cinta. Mungkin, dia rindu dengan kebersamaan kami." Aku tahu, Andin adalah wanita manja. Cemburuan, pasti nggak akan tahan saat diberi pemanasan sedikit saja. "Bang, jahat kamu!" Nah 'kan, apa aku bilang. Bibirnya yang sok seksi itu, makin merenggut kesal. Membalikkan tubuh, dengan berlari kecil. Mereka yang tahu, bahwa Andini sedang mengandung. Tentu berjengit kaget, satu-persatu dari mereka mengejar. Tersisa aku saja dan Nyonya, juga Listi. "Oke, Nya. Aku anggap urusan kita selesai, tolong jangan lakukan hal yang sama. Kalau tidak mau hidup tenang," kataku mencoba memberi sedikit ancaman. Melangkah gontai, kutinggalkan keduanya. Menggeram marah, tapi perasaan lega juga mulai menyelimuti. Masalah fitnah ini usai sudah, ujian baru untuk usahaku yang sedang melejit. *** "Syukur deh, akhirnya masalah kemarin selesai juga." Serly berucap, saat aku sampai kantor. "Sayang, kamu nggak ngasih izin untuk aku ikut!" Menekan kepala dengan pelan, merasa tak mungkin melibatkan dirinya. "Kamu yang bawel, bisa jadi asal bicara. Keadaan rusuh, akan semakin membesar tahu!" Serly terkikik, cukup mengakui bahwa apa yang kubilang banyak benarnya. Menyandarkan kepala pada kursi, hatiku terasa perih. Berharap, ini terakhir kali berurusan dengan mereka. "Next, kamu wajib tanya kalau mau melakukan kerjasama dengan siapapun!" ucapku, kembali mengingat akan kecorobohannya tempo lalu. "Sorry, sayang. Habis aku gelap mata, uang yang mereka tawarkan begitu besar. Hingga hilang kendali," ungkapnya, memang sedikit atau bisa jadi matre sekali. Menggelengkan kepala, tiba-tiba pikiranku tertuju pada Andini. Seingatku mereka baru menikah sebulan yang lalu, kenapa perutnya tampak buncit sekali? Nggak mungkin, jika keduanya berhubungan saat aku dan Bang Afdal masih resmi menikah. Arggggh, peer baru lagi ini. "Serly, tolong cari tahu tentang banyak hal dari istri mantan suamiku. Andini, aku tunggu besok!" Mengangguk dengan ragu, Serly setuju. Tanpa banyak bertanya, ini yang aku suka dia mampu menempati kata bawel di kondisi yang tepat. Sepertinya, mulai sekarang aku harus lebih mempertimbangkan apa kata Ibu. Memeriksakan diri, tentang siapa yang mandul sebenarnya. Semoga, kondisiku tak seburuk yang ditakutkan. ***Dua Puluh LimaKasus wanita bernama Rere, terasa berjalan secara lambat. Ia yang bungkam, seakan memperpanjang banyak hal. Tetap tidak mau membuka mulut, perihal siapa dalang di balik semua kekacauan.Bahkan, ia rela terus mendekam di balik jeruji demi melindungi nama orang yang sudah membuat dirinya susah. Benar-benar aneh! Masih merasa yakin, bahwa dirinya akan terbebas dari segala tuntutan. Aku yang geram, mati-matian membayar pengacara handal untuk menyelesaikan segala perkara!Di rumah saja, tak ayal membuat diri merasa bosan. Maklum, dari awal aku memang wanita karier. Belum terbiasa, kalau tidak ingat Ibu dan suami malas rasanya hanya berdiam diri. Memang, ada Serly yang bisa diandalkan. Tetap saja, aku juga ingin berkecimpung langsung. Toh, kerjaan yang aku lakukan tak seberat yang dikira."Kalau bosan, kamu cari kesibukan lain sayang. Kerja di rumah juga bisa," tutur Ibu. Yang masih saja bersikeras itu, "Dengarkan Ibu ... Fokuslah agar segera memberi cucu."Aku tersenyum ge
Dua Puluh EmpatRasa geram masih terus menyusup ke dalam relung jiwa, kalau bukan karena paksaan suami dan Ibu. Hari ini juga, ingin rasanya meluncur bebas menemui wanita bernama Rere yang sengaja menebar fitnah. Serly, satu-satunya yang diharapkan turut memberi deret panjang atas kekesalan. Tak bisa dihubungi, dalam via manapun. Mendesah resah, nyatanya aku tak bisa istirahat dalam kondisi seperti saat ini. Harusnya, dia terus memberi kabar terkait perkembangan kasus wanita tersebut. Ingin sedikit memberi pelajaran langsung, bukan ditahan di dalam kamar. Mengutuk diri, karena ambruk pada saat yang tidak tepat. Aku hanya bisa pasrah, berharap akan ada kabar baik di kemudian hari. Pintu kamar terbuka, sosok Ibu menyembul. Memberi seutas senyum, sambil membawa nampan berisi makan dan minuman. Netraku justru sibuk, mencari sosok yang lain. Suami, ke mana dia? Sepagi ini sibuk, bahkan tak sempat menyapa diri yang tengah sakit. "Pagi sayang," sapa beliau. Sibuk menata makanan, "Makan
Dua Puluh Tiga"Jualan tuh yang bener! Jangan cuma mau untung, tapi sukses membuat si pemakai kesakitan." Aku meringis, menatap bibir sang konsumen lekat. Hitam, dengan bintik kemerahan menyebar di arah sana. Dan, sedikit membengkak. Ini, merupakan komplain kali kedua setelah sang youtuber tempo lalu. Dan bagaimana pun caranya, kudu bisa tenang dalam menghadapi masalah tersebut. Bedanya ... Dia langsung mendatangi kediaman rumah, tidak datang menuju kantor. Wow, wanita zaman sekarang sungguh berani luar biasa. Menarik napas panjang, dan mengembuskan secara perlahan. Kuraih ponsel, Serly dialah orang paling tepat untuk aku butuhkan. "Sekarang, Ser. Dan jangan lupa, bawa semua hal yang sudah kutuliskan di chat Wa." Tersenyum lebar, kutatap sang tamu. Mencari celah, apa yang membuatnya sampai berani sekali. Semua memang salahku, sewaktu kejadian dulu tidak memberi efek jera. Yang berakibat kejadian lagi dan lagi, ini sudah keterlaluan menuding tanpa bukti! "Kamu yakin, datang hanya
Dua Puluh Dua"Mella ...," pekik seseorang, setelah sekian lama tak bertemu. "Bagaimana kabarmu? Hmm, i-tu siapa?" Nah 'kan, dia mulai kepo males sebenarnya aku tuh. Reza meraih jemariku erat, seakan ingin memperlihatkan bahwa kami adalah sepasang pengantin baru dengan rasa bahagia tak tergambarkan. "Baik. Oh ya, kenalin dia chef Reza. Suami baruku." Andini mengangguk pelan, mulutnya tampak terbuka lebar. Kaget pasti, karena aku dapet yang lebih dari sesemantan. Menarik napas panjang, tentu saja hatiku tak lantas baik-baik saja. Ada Andini di sini, wanita yang sudah berhasil merebut Bang Afdal. Untuk kemudian menghempaskan, saat dirinya sendiri yang ketahuan berselingkuh. Ahh, kadang hidup memang selucu itu. "Jadi, kamu sudah menikah lagi? Aku pikir ... Balik lagi sama doi." Aku mengendikkan bahu, mimpi bangetlah dia bisa merajut tali kasih usai menyebar luka. Kutatap sekeliling Mall, tempat sebesar ini bisa jua terasa sempit. Oh Tuhan, kenapa harus mempertemukan kami di waktu yan
Dua Puluh Satu "Ya aaaampun Mell ...," teriak Serly. Histeris, membuat diri berjengit. "Pengantin baru, kenapa rajin banget sih?"Aku mengulum senyum, sudah hafal bahwa dirinya pasti akan menggoda seperti orang-orang rumah. Mengendikkan bahu dengan cuek, aku berjalan gontai.Kerjaanku di kantor, memang sedang menumpuk. Kasian Serly, dia memang bisa diandalkan. Nantilah, aku dan Reza belum ada rencana untuk pergi honeymoon. "Mana laporan keuangan, Ser? Terkait penjualan lipmatee kita bulan ini, fantastis?" tanyaku, sengaja mengalihkan pembicaraan.Serly berdecak sebal, ia pasti menginginkan aku bercerita tentang malam pertama dan banyak hal lainnya. Kepo!Menghentakan kaki dengan cepat, sembari bibir merenggut. Ia berlari kecil, sebab tempatnya bekerja berada di luar.Kutatap sekeliling ruangan, banyak tumpukan dokumen dengan dominasi cat berwarna putih. Sehari tak bekerja, rasanya seakan berabad-abad. Hihii, time is money sayang. Reza, suamiku juga sibuk bekerja di salah satu resto
Dua Puluh Menikah, adalah hal paling ditunggu oleh kedua insan. Terlebih ada cinta di hati masing-masing, akan semakin menambah kesyahduan.Tepat hari ini, akan dilaksanakan ijab qobul. Moga menjadi yang terakhir, tak ingin kembali gagal dalam merajut sebuah mahligai bernamakan cinta.Keluarga besan sudah datang, semakin menambah detak jantung yang tidak karuan. Meski yang kedua, tetap saja rasanya beda. Di luar sempat terjadi kerusuhan, ada Bang Afdal dan keluarga yang datang. Pasti ingin menggagalkan pernikahan, beruntung security yang sigap bisa mengatasi semua. Khusus hari ini, kantor diliburkan. Semua karyawan datang, menyambut dengan suka cita sedang doa berhamburan terlontar.Sah! Alhamdulillah, air mataku menetes haru. Reza mencium keningku takzim, masih tak menduga kami akan bersatu."Terima kasih, sudah mau menerimaku." Reza berbisik, menangkup kedua wajahku dengan romantis.Sekarang, aku sudah sah menjadi istri Reza. Bukan lagi mengharap pada yang semu, harus bisa menja