Melissa terlihat panik. "Bel, gimana nih? Orangnya marah, tuh."
"Kamu keluar aja, dan bilang sama dia kita bakalan ganti kerugiannya," kata Bella menghindari untuk bertemu dengan Rayhan."Hah, kok aku, sih? Kan yang nabrak kamu?" Melissa jelas tidak mau karena yang salah kan Bella. Lebih tepatnya dia takut."Kamu kan asisten aku, Mel. Udah sana, sana. Kamu urus aja deh, terserah kamu gimana caranya. Pokoknya aku setuju-setuju aja."Dengan terpaksa Melissa keluar dari mobilnya dan menemui Rayhan.Bella diam-diam mengintip dari spion mobil. Dan memang benar Rayhan yang dilihatnya. Rayhan menunjuk-nunjuk cat mobilnya yang lecet dan kelihatannya Melissa mengatakan sesuatu. Pada saat itu si tukang parkir juga datang karena mungkin mendengar keributan. Tapi Melissa berhasil mendiamkannya dengan memberinya uang yang pastinya lebih banyak daripada uang parkir biasa.Tidak lama kemudian, Melissa kembali ke mobil dan menemui Bella."Gimana? Apa kata orang itu?" tanya Bella nggak sabar. "Semuanya beres, kan?"Melissa mendengkus, kelihatannya kesal sekali. "Apanya yang beres?""Maksud kamu?""Aku udah bilang kayak kata kamu tadi, kalau aku pasti bakal ganti kerugiannya. Tapi tuh orang malah tanya, 'apa kamu sopirnya?' Terus aku bilang aja, 'aku asistennya, bos aku yang nyetir.' Terus dia bilang gini 'aku aku ketemu sama yang nyetir bukan sama asitennya. Sebagai bos dia harus tanggung jawab dong, bukan malah nyuruh asistennya' gitu katanya." Melissa menirukan gaya bicara Rayhan."Terus, terus ...?" Bella semakin tidak sabar."Ya terus dia bilang gini lagi, 'suruh bos kamu keluar aku mau ngomong sama dia. Kalau dia nggak mau tanggung jawab, aku bakal lapor polisi'. Gitu katanya."Bella langsung lemas mendengarnya. Dari dulu pria itu memang paling pandai membuat hidupnya susah. Lagipula apa susahnya mengatakan berapa kerugiannya? Kenapa harus meminta bertemu?"Udah sana cepet kamu keluar. Kamu ditungguin tuh, sama orangnya," kata Melissa."Tapi aku nggak mau, Mel.""Kenapa? Kamu nggak perlu takut kali, Bel. Kamu tinggal temuin tuh orang, terus kasih uang ganti ruginya. Beres. Dia nggak bakalan lapor polisi kalau kamu ganti rugi."Melissa bisa berkata seperti itu karena tidak tahu hal yang sebenarnya. Bella juga tidak bisa menyalahkan sang asisten. Dengan terpaksa sekali, Bella keluar dari mobilnya.Rayhan terlihat terkejut melihat Bella. Dan ternyata yang menabrak mobilnya adalah Bella. Sebuah kerinduan yang mendalam terpancar dari sorot matanya. Ingin rasanya bibirnya membentuk sebuah senyuman, namun rasa sakit di hatinya membuatnya menahan senyuman itu.Walaupun cukup terkejut akan pertemuan yang tak disangka ini, Rayhan berusaha untuk terlihat tetap tenang saat Bella berjalan mendekatinya dan akhirnya sampai di depan pria itu. Berhadapan dengan Rayhan."Belinda Anastasya." Rayhan menyebutkan nama panjang Bella dengan wajah datarnya.Hati Bella berdesir tanpa izin ketika mendengar Rayhan memanggil nama aslinya. Namun saat ini bukan waktu yang tepat untuk dia terbawa perasaan. Bella berusaha menguasai hatinya."Aku pasti tanggung jawab," kata pertama yang keluar dari mulut Bella ketika mereka bertemu dan saling berhadapan. "Berapa aku harus ganti kerugiannya?"Rayhan menunjuk lecet di mobilnya dengan jarinya. "Menurut kamu? Berapa kerugiannya?" Rayhan malah balik bertanya.Bella kesal sekali. Dia bermaksud segera menyelesaikan ini dan segera pergi menjauh dari Rayhan sejauh-jauhnya. Tapi sepertinya pria itu tidak berpikir demikian. "Bilang aja kamu mau berapa? Aku akan kasih berapapun." Bella tidak sabar."Aku nggak mau asal nyebutin berapa kerugian yang harus kamu bayar. Nanti kalau aku sebutin jumlahnya, pasti kamu akan mikir aku sengaja minta uang yang banyak ke kamu," jawab Rayhan dengan nada santai."Terus mau kamu apa? Cepetan. Aku nggak punya banyak waktu buat ngurusin hal-hal kayak gini. Aku sibuk." Bella sangat tidak sabar. Berlama-lama berhadapan dengan Rayhan membuatnya merasa tak nyaman.Rayhan melipat kedua lengan di dadanya. Terlihat justru menikmati pembicaraan ini. "Kamu perkirain sendiri, kira-kira berapa yang harus kamu kasih ke aku. Aku nggak akan bilang aku minta berapa, kamu sendiri yang menilainya. Sebagai sesama pemilik mobil mewah, sepertinya kamu tahu berapa biaya untuk perbaikannya."Bella mendengkus kesal. "Oke, sebutin nomer rekening kamu. Nanti aku transfer uangnya, secepatnya." Bella mengeluarkan ponselnya, siap mencatat nomor rekening Rayhan.Tapi Rayhan diam saja, dan malah memandangi Bella yang kelihatannya buru-buru mau pergi itu."Cepetan bilang. Berapa nomer rekening kamu?!" Bella berteriak, kali ini Melissa yang mengintip dari balik kaca mobil bisa mendengar suaranya."Aku nggak akan nyebutin nomer rekening aku.""Apa maksud kamu?"Rayhan tetap menatap Bella dengan wajah tenang tanpa emosi sedikitpun seperti Bella. Nada suaranya juga tetap sama sejak awal pembicaraan mereka. Datar. "Aku mau kita ketemu dan kamu bawa uang tunai.""Apa?!" Bella sama sekali tidak berpikir Rayhan akan berkata demikian. Apa maksud pria ini mau mengajaknya bertemu. "Nggak. Aku nggak mau. Bilang aja berapa nomer rekening kamu. Aku akan transfer uang yang jauh lebih banyak.""Apa aku terlihat seperti orang yang butuh uang?" Rayhan justru bertanya dengan enteng. "Aku cuma butuh kesediaan kamu mempertanggungjawabkan perbuatan kamu. Dan aku maunya kita ketemu dan kamu kasih uangnya ke aku. Uang tunai."Bella benar-benar meledak marah. "Oke, oke. Aku akan suruh asisten aku ambil uangnya, dan akan kita selesaikan hari ini juga. Sekarang juga." Bella sudah bermaksud mau pergi menemui Melissa, tapi Rayhan menahannya dengan memegang tangannya."Bukan hari ini. Aku sibuk."Bella mengibaskan tangannya dengan marah. "Kamu sengaja mau mempermainkan aku, ya?""Kasih tahu nomer telepon kamu. Aku akan kasih kabar ke kamu, kapan dan di mana kita ketemu," pinta Rayhan."Nggak. Bilang aja sekarang!""Aku harus sesuaiin jadwal aku. Jadi nggak bisa kasih keputusan sekarang." Rayhan bicara semakin menyebalkan. "Aku orang sibuk dan nggak bisa asal membuat janji.""Kamu pikir aku nggak sibuk?" Bella balik bertanya pada Rayhan. "Aku juga sibuk dan nggak ada waktu buat meladeni orang kayak kamu.""Orang kayak aku?" tanya Rayhan. "Aku cuma minta pertanggungjawaban kamu, apa itu salah?"Bella kesal sekali. Sepertinya jika dia terus meladeni orang seperti Rayhan ini, maka topik bahasan mereka tak akan ada habisnya. Akhirnya dengan terpaksa Bella menyebutkan nomor ponselnya lalu segera bergegas pergi kembali ke mobilnya.Rayhan hanya tersenyum kecil melihat tingkah Bella. Kelihatan sekali dia sengaja melakukannya untuk membuat Bella kesal."Gimana?" tanya Melissa begitu Bella masuk ke mobil."Nggak usah bahas ini lagi. Males." Bella menyetater mobilnya lalu segera pergi dari tempat itu.Melissa bingung dengan sikap Bella, namun tidak berani berkomentar atau tanya-tanya lagi. Karena Bella sepertinya sedang sangat marah.'Pasti tuh cowok bikin masalah deh, sama Bella.'Rayhan berjalan bersama sekretarisnya---pak Glen---pria yang berumur jauh lebih tua dari Rayhan. Saat ini mereka berada di koridor sebuah hotel, baru saja mengadakan pertemuan dengan klien penting di restoran hotel tersebut. Pak Glen terlihat memegang sebuah map berwarna abu-abu dan mereka membicarakan mengenai perjanjian kerja sama dengan klien yang tadi barjalan lancar. "Sebelumnya, maaf kalau saya tidak sopan, Pak," kata pak Glen penuh hormat. "Kalau menurut saya, Anda ini semakin lama semakin mirip dengan pak Carlo." Rayhan hanya tersenyum. "Apa? Yang benar?" Pak Glen mengangguk. "Iya, Pak. Cerdas, cekatan dalam mengambil keputusan, dan selalu berhasil dalam menjalin kerjasama dengan klien." Rayhan merasa kepalanya kini besar sekali. "Pak Glen, Anda mau membuat saya besar kepala? Setelah kekenyangan ditraktir makan tadi, sekarang Anda juga mau membuat kepala saya besar?" Ketika mereka sampai di depan, Rayhan tiba-tiba menghentikan langkahnya. Membuat pak Glen yang jalan sediki
Di luar, Bella yang menunggu di dalam taksi melihat Rayhan keluar kafe dan masuk ke mobilnya. Dia sedikit membungkukkan badannya khawatir Rayhan akan mengetahui keberadaannya. Setelah yakin mobil Rayhan berjalan meninggalkan lokasi kafe, Bella menegakkan badannya dengan lega. Mengira semua masalah suda terselesaikan. Lalu Melissa masuk ke dalam taksi."Gimana? Semuanya udah beres, kan?" tanya Bella dengan wajah berseri-seri. "Sekarang aku bisa lega."Melissa memasang wajah bad mood lalu memberikan amplop berisi uang pada Bella.Bella bingung. "Apaan nih?" Dia memeriksanya dan kaget melihat uangnya. "Kenapa ini masih ada sama kamu? Bukannya harusnya kamu kasih ke cowok itu?""Iya, tadinya aku udah kasih ke tuh cowok. Aku udah sampein apa yang tadi kamu bilang ke aku.""Terus ... kenapa masih ada di kamu?""Dia nggak mau terima uangnya."Bella membelalak. "Apa?! Nggak mau?""Dia bilang nggak bakal mau terima uang dari kamu kalau bukan kamu sendiri yang datang terus kasihin uang ke dia."
Daniel tersenyum diam-diam. "Kamu kenapa sih, kayak gini aja ribet banget? Ya udahlah biarin aja. Namanya juga wartawan, suka melebih-lebihkan berita. Kamu nggak perlu cemas. Nanti juga ilang sendiri beritanya." "Tapi Dan, kamu tahu kan image apa yang melekat di aku selama ini?" "Playgirl?" Daniel menjawab. "Iya." "Emangnya kenapa kalau aku pacaran sama playgirl?" Daniel terlihat tidak keberatan sama sekali. "Aku nggak keberatan, kok." Bella terdiam---lebih tepatnya sedang memikirkan sesuatu. "Aku pikir kamu bakalan seneng dengan gosip ini, tapi nggak tahunya kamu malah kelabakan kayak gini? Aku sedih nih, sekarang," ujar Daniel sedikit bergurau. "Dan, aku udah punya pacar." Bella berusaha memberi pengertian ke Daniel yang justru terkesan santai saja."Aku tahu kamu udah punya pacar," kata Daniel masih dengan nada tenang. "Lagipula itu cuma gosip nggak berdasar, Bel. Udahlah tenang aja. Tapi kalo kamu masih khawatir aja, aku akan klarifikasi ke media.""Beneran?""Iya. Udah, ten
Bella berada di lokasi syuting, dan kali ini dia sedang beradegan mesra dengan Daniel. Di drama ini mereka berperan sebagai sepasang kekasih dan pastinya harus mesra. Adegan kemesraan mereka sangat tidak disukai oleh Nirina yang melihat mereka dari samping sutradara yang sedang sibuk memperhatikan gambar di monitornya. "CUT!!!" teriak sutradara. "Cukup bagus!"Bella dan Daniel berjalan menepi dan duduk di belakang sutradara untuk istirahat. Daniel menyodorkan sebotol air mineral pada Bella. Dari belakang, terlihat Melissa mengurungkan niatnya untuk mendekati Bella dan memberinya minuman setelah keduluan Daniel. Dia juga tidak mau mengganggu mereka, lalu memutuskan untuk kembali ke belakang. "Makasih." Bella menerimanya dan langsung meneguknya. Nirina datang dan memberikan sekaleng jus pada Daniel. "Dan, ini minum buat kamu," kata Nirina dengan penuh sayang. Daniel sedikit kaget karena Nirina tiba-tiba menghampirinya. "Oh, iya. Makasih ya, Na." Daniel menerima minuman itu.Nirina te
Mike berjalan santai keluar Deva Market---salah satu supermarket terbesar di Jakarta---yang merupakan perusahaan yang dia pimpin. Dia berjalan dengan gaya sok cool dan sok keren. Mengabaikan tatapan satpam yang berjaga di sebelah pintu masuk---yang tentu saja dia sudah hafal betul dengan sifat bosnya tersebut. Ketika itu ada telepon masuk di ponselnya."Halo, mamaku yang cantik. Ada apa?" tanya Mike narsis."MICHAEL!!!!" Sofia---mama Mike malah berteriak di ujung telepon sana.Membuat Mike menjauhkan ponsel dari telinganya. "Aduh, Mama. Ada apa sih? Kenapa teriak-teriak?""Kamu ini bener-bener mau bikin Mama cepet mati, ya?!"Mike kaget. "Mama kenapa, sih? Ya enggaklah, masa aku mau Mama cepet mati. Mama ini ngomong apa?" Mike hanya menanggapi santai kemarahan sang mama yang jika sekarang ini ada di sana pasti sudah melayangkan sendal ke arahnya.Mike menuju mobilnya dan masuk ke dalam mobilnya, bersiap untuk pergi."Mama dengar dari sekretaris kamu, katanya hari ini kamu membuat masal
Rayhan membuka matanya perlahan. Samar-samar dia melihat langit-langit putih polos, dia memejamkan matanya lagi lalu membukanya lagi. Kali ini dia bisa melihat dengan jelas langit-langit sebuah ruangan yang putih polos. Dia menoleh dan sedikit mendongakkan kepalanya, melihat kantong infus tergantung di atasnya, kemudian sadar kalau lengan kanannya dipasangi selang infus. Rayhan melihat pakaiannya, dia mengenakan baju rumah sakit. Setelah mengamati semuanya, dia baru sadar kalau dia ada di rumah sakit sekarang ini. "Aku di rumah sakit?" kata Rayhan pelan, seraya tangan kirinya yang tidak diinfus meraba kepalanya yang sekarang sudah tidak sakit lagi. "Kenapa aku bisa ada di sini?" Rayhan sama sekali tidak ingat apa yang terjadi karena dia pingsan. Dia juga tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit. Tapi mengingat tentang kantor, Rayhan jadi teringat sesuatu yang penting dan tanpa sengaja terlupakan. Rayhan terduduk dengan kaget. "Bella? Aku kan harusnya ketemu sama Bella sekaran
Pukul delapan pagi, Rayhan mengadakan rapat di kantornya. Hampir semua karyawan berkumpul---termasuk para sutradara dan penulis naskah. Beberapa kepala bagian dan manajer keuangan memberikan laporannya pada Rayhan. Setelah semuanya mendapat tanggapan dari Rayhan dan selesai, kini giliran Pak Wilson yang mengajukan laporannya. Pak Wilson biarpun kelihatannya sangat tidak suka, dia terpaksa menyerahkan beberapa berkas ke depan Rayhan sembari berkata, "Drama Love Is Rain baru-baru ini mengalami rating yang buruk, Pak. Padahal sebelumnya drama ini tidak pernah keluar dari sepuluh besar acara paling populer di televisi." Rayhan mengamati satu per satu berkas yang diberikan Pak Wilson padanya. "Drama ini sudah sampai pada 115 episode, dan sudah tiga kali mengalami perpanjangan sebelumnya. Saya sudah membicarakan dengan Pak Gio---yang bertanggungjawab atas naskah ini, dan kami pikir, para penonton sudah mulai jenuh dengan jalan ceritanya, dan kami menyarankan bagaimana kalau kita sedikit m
"Kamu pasti terkejut kan?" Daniel berkata dengan sangat yakin. Bella memang terkejut tapi bukan terkejut karena melihat lapangan seluas dan setenang ini, melainkan terkejut karena hal lain. "Pemandangan di sini emang bagus banget. Cocok buat orang-orang yang lagi suntuk atau banyak pikiran. Pergi ke tempat ini bisa bikin kita lebih tenang." Daniel menghirup udara segar dengan penuh perasaan. Bella masih terdiam, memandang jauh ke lapangan yang luas itu. "Kamu bisa main golf?" tanya Daniel. Bella kaget. "Eh, eng-enggak. Nggak bisa." Daniel tersenyum, sepertinya itu jawaban yang sesuai dengan harapannya. "Nggak apa-apa. Aku bakal ngajarin kamu gimana caranya? Oh iya, aku lupa minumannya. Bentar, ya?" Daniel meletakkan dua tongkat golf dan bola di atas rerumputan hijau lalu berbalik mengambil minuman. Bella tetap memandangi lapangan itu. Ingatannya 12 tahun lalu mendadak muncul tanpa permisi.Rayhan memberikan sebuah tongkat golf pada Bella dengan senyuman cerahnya, secerah matahar