Rayhan berjalan bersama sekretarisnya---pak Glen---pria yang berumur jauh lebih tua dari Rayhan. Saat ini mereka berada di koridor sebuah hotel, baru saja mengadakan pertemuan dengan klien penting di restoran hotel tersebut. Pak Glen terlihat memegang sebuah map berwarna abu-abu dan mereka membicarakan mengenai perjanjian kerja sama dengan klien yang tadi barjalan lancar.
"Sebelumnya, maaf kalau saya tidak sopan, Pak," kata pak Glen penuh hormat. "Kalau menurut saya, Anda ini semakin lama semakin mirip dengan pak Carlo."Rayhan hanya tersenyum. "Apa? Yang benar?"Pak Glen mengangguk. "Iya, Pak. Cerdas, cekatan dalam mengambil keputusan, dan selalu berhasil dalam menjalin kerjasama dengan klien."Rayhan merasa kepalanya kini besar sekali. "Pak Glen, Anda mau membuat saya besar kepala? Setelah kekenyangan ditraktir makan tadi, sekarang Anda juga mau membuat kepala saya besar?"Ketika mereka sampai di depan, Rayhan tiba-tiba menghentikan langkahnya. Membuat pak Glen yang jalan sedikit di belakang, hampir saja menabraknya."Ada apa, Pak?"Rupanya Rayhan bertemu dengan Evellyn---mama Bella yang juga terkejut bertemu dengan Rayhan di sana. Beliau seperti berusaha mengira-ngira apakah Rayhan orang yang sama seperti yang di dalam pikirannya atau tidak, mengingat mereka sudah lama sekali tak bertemu."Pak Glen tunggu di mobil saja," ujar Rayhan pada pak Glen.Pak Glen mengangguk. "Baik, Pak." Pak Glen berjalan melewati Rayhan.Evellyn terlihat sangat tidak senang melihat Rayhan, sementara Rayhan hanya menunjukkan sikap biasa.Selama beberapa menit mereka hanya saling berdiri berhadapan, saling memandang satu sama lain, dan sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing, akhirnya Rayhan memutuskan untuk bersuara terlebih dahulu."Halo, Tante Evellyn," sapa Rayhan dengan senyuman manis, dan sama sekali tidak kelihatan dibuat-buat. "Sudah lama kita tidak bertemu? Semoga Tante masih ingat sama saya. Bagaimana kabar Tante?"Evellyn menghela napas, berusaha bersikap tenang. "Baik."Rayhan mengangguk-angguk. "Syukurlah kalau begitu.""Ya," jawab Evellyn singkat."Tante tidak menanyakan kabar saya?""Tidak perlu. Sepertinya saya sudah tahu kalau kamu baik-baik saja, dan saya rasa itu tidak terlalu penting untuk saya menanyakan kabar kamu," kata Evellyn dingin.Rayhan mengangguk. "Ya. Ya, benar. Saya memang baik-baik saja. Bahkan sejak dua belas tahun yang lalu, sampai sekarang saya tetap baik-baik saja."Evellyn sedikit mengernyitkan keningnya, namun tidak mau terlalu memperlihatkannya pada Rayhan."Tapi justru saya tidak yakin, apa anak Tante selalu baik-baik saja seperti saya selama dua belas tahun ini?""Bicara apa kamu? Anak saya selalu baik-baik saja. Dia sangat bahagia. Keputusan yang sangat tepat kamu meninggalkannya. Jadi dia tidak perlu menderita gara-gara kamu." Kali ini Evellyn bersikap agak kasar dengan Rayhan, setelah tadi berusaha tetap tenang.Rayhan memasang wajah pura-pura terkejut. "Oh ya? Wah ... itu kabar bagus buat saya. Kalau memang semua itu benar, saya tidak akan pernah menyesal sudah meninggalkan anak Tante."Evellyn menolak untuk terus berdebat dengan Rayhan, dia pun memberanikan dirinya untuk melangkah dan berjalan melewati Rayhan tanpa menoleh padanya."Tapi menurut saya semua itu tidak benar."Kata-kata Rayhan menghentikan langkah Evellyn, biarpun dia masih berposisi membelakangi Rayhan.Rayhan menoleh memandang punggung Evellyn. "Saya tahu anak Tante tidak merasa sebahagia itu. Tante pasti tahu, saya lebih mengenal dia daripada Anda."Evellyn tidak mempedulikannya, dia pun kembali berjalan kali ini dengan langkah panjang-panjang. Apapun yang terjadi, tidak akan lagi berhenti untuk mendengarkan sepatah katapun yang akan diucapkan Rayhan padanya.***Bella istirahat di lokasi syuting dramanya. Dia mengobrol berdua dengan selagi Daniel sedang syuting dengan Nirina. Melissa memberikan sekenario yang harus dihafal dan dipahami oleh Bella untuk syuting adegan selanjutnya."Setelah ini kamu harus dialog panjang," kata Melissa.Bella membolak-balik lembar skenario itu tanpa membacanya. Mungkin hanya perlu memahami maksudnya saja tidak perlu menghafal semuanya, karena memang terlalu banyak untuk dihafal dalam waktu yang singkat.Ponsel Bella yang ada di meja bergetar."Halo?" Bella menjawab telepon dengan pandangan tetap ke skenario yang dipegangnya."Kapan ada waktu?" tanya seseorang di ujung sana.Bella kaget, jantungnya berdetak cepat sekali mendengar suara itu, dia langsung melupakan membaca skenarionya."Aku mau ketemu. Urusan kita belum selesai, ya." Rayhan mengingatkan mengenai masalah mobil beberapa hari yang lalu. Pria itu terlihat sedang santai di ruang kerja di kantornya seorang diri.Bella hanya diam, tidak tahu harus berkata apa atau menjawab apa, karena memang dia tidak berniat bertemu Rayhan."Kalau kamu diam, itu tandanya kamu setuju kapanpun aku nentuin waktu ketemu kita." Rayhan mengambil kesimpulan sendiri. "Sore ini aku tunggu di Sweet Café jam empat sore. Jangan telat." Rayhan memutuskan sambungan telepon dengan sepihak.Bella masih duduk mematung dengan ponsel menempel di telinganya, sedikit shock saja tiba-tiba Rayhan meneleponnya. Bella menurunkan ponselnya secara tidak sadar."Kenapa, Bel?" tanya Melissa. "Dari siapa?"Bella memandang Melissa seolah meminta pertolongan. Dia ingin keluar dari masalah ini atau paling tidak segera menuntaskannya secepat mungkin, supaya dia tidak lagi harus bertemu dengan Rayhan.***Rayhan menunggu Bella di Sweet Café seperti yang sudah dijadwalkannya tadi siang. Berkali-kali dia mengecek arlojinya dan sudah lewat dari waktu janjian, tapi Bella belum muncul juga. Dia mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan tanpa meminumnya. Lalu menoleh ke pintu masuk, mengecek kedatangan Bella tapi belum ada tanda-tanda Bella di sana.Tidak lama kemudian, Melissa muncul dan mendekati Rayhan. "Permisi, Pak."Rayhan yang sudah mengenali wajah Melissa pun menatapnya bingung. "Ya?""Boleh saya duduk?" tanya Melissa seramah dan sesopan mungkin."Silahkan." Meskipun bingung, Rayhan mempersilahkan duduk ke kursi yang disiapkan untuk Bella."Terima kasih." Melissa duduk berhadapan dengan Rayhan."Kenapa malah kamu yang datang? Bos kamu mana?" Rayhan celingukan mencari Bella."Hari ini Bella ada syuting sampai malam, jadi dia tidak bisa dateng ke sini. Dan dia menyuruh saya untuk menggantikan dia datang," kata Melissa seraya mengeluarkan sebuah amplop tebal berisi uang dari dalam tasnya. Dia mendorong amplop itu ke depan Rayhan. "Ini, ada uang seratus juta dari Bella, sebagai ganti rugi kerusakan mobil Anda tempo hari."Rayhan memandang uang itu dengan tatapan tidak suka."Saya tidak tahu uang ini cukup atau tidak, tapi kata Bella ini sudah lebih dari cukup untuk perbaikan mobil Anda."Rayhan masih diam, memandangi amplop uang itu tanpa menyentuhnya."Bella berkata, dia berharap setelah hari ini dia sudah tidak punya urusan apa-apa lagi dengan Anda. Karena dia sudah menepati janji untuk ganti rugi," kata Melissa lagi.Rayhan mendorong amplop berisi uang itu ke depan Melissa.Itu otomatis membuat Melissa kaget. "Kenapa? Apa kurang?""Bilang ke Bella, kalau dia mau bilang sesuatu sama aku, suruh dia datang sendiri dan bicara langsung. Aku nggak suka dia nyuruh-nyuruh orang untuk menyampaikan pesan dia. Dia harus datang sendiri dan bertemu aku. Bukannya kemarin aku sudah bilang dengan jelas?" kata Rayhan dingin.Melissa terdiam---tidak mengerti."Aku nggak akan terima uang sepeserpun dari kamu. Karena yang harusnya memberikan uang itu ke aku adalah Bella. Aku tahu dia sengaja nyuruh kamu ke sini karena dia nggak mau ketemu sama aku, kan? Dia nggak mau tanggung jawab sama apa yang sudah dia lakukan." Rayhan berdiri."Eh, tunggu," cegah Melissa yang juga ikutan berdiri.Rayhan kembali memandang Melissa. "Nanti aku akan telepon dia lagi untuk mengatur pertemuan lagi sama dia. Dan kamu bilang ke dia, apa yang sudah aku bilang tadi. Dia harus datang sendiri menemui aku dan memberikan uangnya ke aku langsung. Kalau nggak, silahkan berurusan sama polisi." Rayhan berjalan pergi setelah mengancam Melissa.Melissa panik sekali dengan ancaman Rayhan. Apalagi melihat wajah dingin pria itu yang tampak menakutkan. "Aduh, tuh kan bener. Bella sih, pake nggak mau ketemu segala." Melissa menyambar amplop di atas meja dan kembali memasukkannya ke dalam tas.Di luar, Bella yang menunggu di dalam taksi melihat Rayhan keluar kafe dan masuk ke mobilnya. Dia sedikit membungkukkan badannya khawatir Rayhan akan mengetahui keberadaannya. Setelah yakin mobil Rayhan berjalan meninggalkan lokasi kafe, Bella menegakkan badannya dengan lega. Mengira semua masalah suda terselesaikan. Lalu Melissa masuk ke dalam taksi."Gimana? Semuanya udah beres, kan?" tanya Bella dengan wajah berseri-seri. "Sekarang aku bisa lega."Melissa memasang wajah bad mood lalu memberikan amplop berisi uang pada Bella.Bella bingung. "Apaan nih?" Dia memeriksanya dan kaget melihat uangnya. "Kenapa ini masih ada sama kamu? Bukannya harusnya kamu kasih ke cowok itu?""Iya, tadinya aku udah kasih ke tuh cowok. Aku udah sampein apa yang tadi kamu bilang ke aku.""Terus ... kenapa masih ada di kamu?""Dia nggak mau terima uangnya."Bella membelalak. "Apa?! Nggak mau?""Dia bilang nggak bakal mau terima uang dari kamu kalau bukan kamu sendiri yang datang terus kasihin uang ke dia."
Daniel tersenyum diam-diam. "Kamu kenapa sih, kayak gini aja ribet banget? Ya udahlah biarin aja. Namanya juga wartawan, suka melebih-lebihkan berita. Kamu nggak perlu cemas. Nanti juga ilang sendiri beritanya." "Tapi Dan, kamu tahu kan image apa yang melekat di aku selama ini?" "Playgirl?" Daniel menjawab. "Iya." "Emangnya kenapa kalau aku pacaran sama playgirl?" Daniel terlihat tidak keberatan sama sekali. "Aku nggak keberatan, kok." Bella terdiam---lebih tepatnya sedang memikirkan sesuatu. "Aku pikir kamu bakalan seneng dengan gosip ini, tapi nggak tahunya kamu malah kelabakan kayak gini? Aku sedih nih, sekarang," ujar Daniel sedikit bergurau. "Dan, aku udah punya pacar." Bella berusaha memberi pengertian ke Daniel yang justru terkesan santai saja."Aku tahu kamu udah punya pacar," kata Daniel masih dengan nada tenang. "Lagipula itu cuma gosip nggak berdasar, Bel. Udahlah tenang aja. Tapi kalo kamu masih khawatir aja, aku akan klarifikasi ke media.""Beneran?""Iya. Udah, ten
Bella berada di lokasi syuting, dan kali ini dia sedang beradegan mesra dengan Daniel. Di drama ini mereka berperan sebagai sepasang kekasih dan pastinya harus mesra. Adegan kemesraan mereka sangat tidak disukai oleh Nirina yang melihat mereka dari samping sutradara yang sedang sibuk memperhatikan gambar di monitornya. "CUT!!!" teriak sutradara. "Cukup bagus!"Bella dan Daniel berjalan menepi dan duduk di belakang sutradara untuk istirahat. Daniel menyodorkan sebotol air mineral pada Bella. Dari belakang, terlihat Melissa mengurungkan niatnya untuk mendekati Bella dan memberinya minuman setelah keduluan Daniel. Dia juga tidak mau mengganggu mereka, lalu memutuskan untuk kembali ke belakang. "Makasih." Bella menerimanya dan langsung meneguknya. Nirina datang dan memberikan sekaleng jus pada Daniel. "Dan, ini minum buat kamu," kata Nirina dengan penuh sayang. Daniel sedikit kaget karena Nirina tiba-tiba menghampirinya. "Oh, iya. Makasih ya, Na." Daniel menerima minuman itu.Nirina te
Mike berjalan santai keluar Deva Market---salah satu supermarket terbesar di Jakarta---yang merupakan perusahaan yang dia pimpin. Dia berjalan dengan gaya sok cool dan sok keren. Mengabaikan tatapan satpam yang berjaga di sebelah pintu masuk---yang tentu saja dia sudah hafal betul dengan sifat bosnya tersebut. Ketika itu ada telepon masuk di ponselnya."Halo, mamaku yang cantik. Ada apa?" tanya Mike narsis."MICHAEL!!!!" Sofia---mama Mike malah berteriak di ujung telepon sana.Membuat Mike menjauhkan ponsel dari telinganya. "Aduh, Mama. Ada apa sih? Kenapa teriak-teriak?""Kamu ini bener-bener mau bikin Mama cepet mati, ya?!"Mike kaget. "Mama kenapa, sih? Ya enggaklah, masa aku mau Mama cepet mati. Mama ini ngomong apa?" Mike hanya menanggapi santai kemarahan sang mama yang jika sekarang ini ada di sana pasti sudah melayangkan sendal ke arahnya.Mike menuju mobilnya dan masuk ke dalam mobilnya, bersiap untuk pergi."Mama dengar dari sekretaris kamu, katanya hari ini kamu membuat masal
Rayhan membuka matanya perlahan. Samar-samar dia melihat langit-langit putih polos, dia memejamkan matanya lagi lalu membukanya lagi. Kali ini dia bisa melihat dengan jelas langit-langit sebuah ruangan yang putih polos. Dia menoleh dan sedikit mendongakkan kepalanya, melihat kantong infus tergantung di atasnya, kemudian sadar kalau lengan kanannya dipasangi selang infus. Rayhan melihat pakaiannya, dia mengenakan baju rumah sakit. Setelah mengamati semuanya, dia baru sadar kalau dia ada di rumah sakit sekarang ini. "Aku di rumah sakit?" kata Rayhan pelan, seraya tangan kirinya yang tidak diinfus meraba kepalanya yang sekarang sudah tidak sakit lagi. "Kenapa aku bisa ada di sini?" Rayhan sama sekali tidak ingat apa yang terjadi karena dia pingsan. Dia juga tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit. Tapi mengingat tentang kantor, Rayhan jadi teringat sesuatu yang penting dan tanpa sengaja terlupakan. Rayhan terduduk dengan kaget. "Bella? Aku kan harusnya ketemu sama Bella sekaran
Pukul delapan pagi, Rayhan mengadakan rapat di kantornya. Hampir semua karyawan berkumpul---termasuk para sutradara dan penulis naskah. Beberapa kepala bagian dan manajer keuangan memberikan laporannya pada Rayhan. Setelah semuanya mendapat tanggapan dari Rayhan dan selesai, kini giliran Pak Wilson yang mengajukan laporannya. Pak Wilson biarpun kelihatannya sangat tidak suka, dia terpaksa menyerahkan beberapa berkas ke depan Rayhan sembari berkata, "Drama Love Is Rain baru-baru ini mengalami rating yang buruk, Pak. Padahal sebelumnya drama ini tidak pernah keluar dari sepuluh besar acara paling populer di televisi." Rayhan mengamati satu per satu berkas yang diberikan Pak Wilson padanya. "Drama ini sudah sampai pada 115 episode, dan sudah tiga kali mengalami perpanjangan sebelumnya. Saya sudah membicarakan dengan Pak Gio---yang bertanggungjawab atas naskah ini, dan kami pikir, para penonton sudah mulai jenuh dengan jalan ceritanya, dan kami menyarankan bagaimana kalau kita sedikit m
"Kamu pasti terkejut kan?" Daniel berkata dengan sangat yakin. Bella memang terkejut tapi bukan terkejut karena melihat lapangan seluas dan setenang ini, melainkan terkejut karena hal lain. "Pemandangan di sini emang bagus banget. Cocok buat orang-orang yang lagi suntuk atau banyak pikiran. Pergi ke tempat ini bisa bikin kita lebih tenang." Daniel menghirup udara segar dengan penuh perasaan. Bella masih terdiam, memandang jauh ke lapangan yang luas itu. "Kamu bisa main golf?" tanya Daniel. Bella kaget. "Eh, eng-enggak. Nggak bisa." Daniel tersenyum, sepertinya itu jawaban yang sesuai dengan harapannya. "Nggak apa-apa. Aku bakal ngajarin kamu gimana caranya? Oh iya, aku lupa minumannya. Bentar, ya?" Daniel meletakkan dua tongkat golf dan bola di atas rerumputan hijau lalu berbalik mengambil minuman. Bella tetap memandangi lapangan itu. Ingatannya 12 tahun lalu mendadak muncul tanpa permisi.Rayhan memberikan sebuah tongkat golf pada Bella dengan senyuman cerahnya, secerah matahar
"Hei, Rayhan, Rayhan!" Mike memanggil Rayhan yang berlari menuruni anak tangga rumahnya.Rayhan berbalik dengan wajah tidak sabar. "Ada apa? Aku lagi buru-buru, nanti aja." Sebelum Mike sempat menjawab, Rayhan sudah berbalik lagi dan melesat pergi."HEI!!" Mike berteriak tapi Rayhan sudah pergi. "Kenapa sih, tuh anak? Buru-buru mau ke mana, sih? Ini kan masih pagi?" Sofia muncul dari dapur dengan membawa segelas limun. "Itu namanya orang pekerja keras. Pagi-pagi sudah berangkat ke kantor. Nggak kayak kamu. Malas-malasan terus sepanjang hari." "Yee ... Mama. Bukannya muji anak sendiri, malah muji anak orang lain?" Mike kesal lalu memasukkan roti tawar ke mulutnya dan mengunyahnya cepat-cepat. "Buat apa Mama muji anak yang malas-malasan? Mendingan Mama muji anak orang lain yang emang patut buat dipuji. Lagian Rayhan itu bukan orang lain, dia keponakan Mama---adik kamu juga."Mike mencibir. "Si Rayhan hari ini nggak ke kantor. Lihat aja dandanannya tadi. Pasti janjian sama cewek, tuh.