Pov Nafisah. [Maaf ya, hari ini aku gak bisa bantu-bantu,] ucapku menyesal pada Tiara melalui sambungan telpon. Setelah rumah sepi aku menghubungi Tiara untuk meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari karena kakiku tidak bisa dibuat jalan. [Iya, gak papa. Terus gimana sudah dibawa ke dokter atau ke tukang urut? Mau aku anterin, masalah pesanan biar dihandle siti. Gak tega aku mikirin kamu sakit sendirian di rumah cuma sama Azqiara.] Tiara tahu aku sudah mendaftarkan gugatan cerai dan meminta Mas Aska keluar dari rumahku. Ada rasa haru mendengar kekhawatiran dari sahabatku itu. Meski sudah yatim piatu namun aku tak kekurangan perhatian dari orang sekitarku. Aku tak boleh lemah banyak orang yang menyayangiku. [Tidak perlu Ra, tadi pagi aku sudah ke rumah sakit di antar Mas Zamar. Ini juga habis di urut.] Jawabku jujur. [untuk sementara aku tinggal di rumah Mas Zamar sampai masalah perceraian selesai. Jadi, kamu tidak perlu khawatir disini aku ada yang jaga.] [Alhamdulil
"Kak Shaka ngapain kesini?" Pria itu kesini pasti ingin tahu tentang kejadian di rumahnya. Ke apa aku menangis dan siapa laki-laki dan perempuan yang aku intip kemarin. "Nafisah kamu apa-apaan sih?" Tak perduli dengan ucapan Mbak Sezha. Kuberi tatapan tajam pria itu agar kembali keluar. "Maaf kalau kedatanganku mengganggu istirahatmu," ucap Kak Shaka. "Mungkin lain klaim saja saya datang lagi," sambungnya merasa tak enak. "Tak... Awww....." Sebuah cubitan mampir di lengan kiriku. "Maaf ya Pak guru, adik ipar saya sedang banyak masalah jadi sikapnya agak lain." Mbak Sezha mencubit lenganku sambil tersenyum. "Jangan buat Qiara malu. Shaka datang sebagai guru pembimbing Qiara," bisiknya dengan suara pelan namun tegas. Oh Astaga, aku hampir lupa. Dia pasti kesini untuk Qiara bukan untuk menemui aku. Kenapa aku jadi kepedean gini? Ya Alloh malunya. Reflek aku menggigit bibir bawahku. Mau meminta maaf tapi malu. Ku tundukkan saja kepalaku. "Silahkan duduk dulu, Pak. Sebentar saya ti
Pukul setengah tujuh pagi, sebuah motor matic memasuki pekarangan rumah. Motor matic yang tak asing itu langsung parkir di bawah pohon mangga depan rumah."Itu bukannya motor kamu, Naf?" bisik Mbak Sezha yang berdiri di sampingku. Kami berdiri di teras rumah, menunggu anak-anak yang akan berangkat sekolah bersama Mas Zamar. "Kamu bilang motormu masih di bengkel karena kecelakaan kemarin." Kembali kakak iparku itu bertanya namun aku masih belum berniat menjawab. Rasa penasaran pada sosok itu lebih mendominasi. Kak Shaka sama sekali tak menghubungiku untuk mengabarkan bagaimana kabar motorku yang dibawanya ke bengkel. Rencananya nanti siang aku akan menelponnya untuk bertanya tentang motor maticku itu. Tanpa diminta semua orang langsung menatap pada sosok pengendara. Termasuk Mas Zamar dan dua bocah yang hendak masuk ke dalam mobil. "Selamat pagi Pak Shaka," ucap Azqiara ceria sambil melambaikan tangannya sesaat setelah pria yang baru turun dari motor itu membuka helm juga maskernya
Pov Author. "Aku minta maaf untuk banyak hal yang membuatmu kecewa. Mungkin tidak sekarang tapi jika kamu izinkan suatu hari aku ingin menjelaskannya semuanya," Sambung Shaka berusaha menjaga setiap kata yang keluar dari dua bibirnya supaya tidak menyinggung perasaan Nafisah.Nafisah membuang pandangannya ke Sembarang arah. Beberapa kali wanita berkaos hitam itu menghela nafas berkali-kali. Di dalam hati masih ada keraguan untuk menerima ajakan pertemanan dari Shaka. Bukan apa-apa namun rasa sakit hati masih saja muncul jika mengingat kenangan buruk antara dirinya dan Shaka. "Dulu aku memang salah dan sudah menyakitimu, tolong maafkan aku. Kumohon berikan aku kesempatan untuk menjadi temanmu. Hanya teman untuk berbagi sapaan saat kita tak sengaja bertemu saja." Shaka kembali merayu wanita yang sejak tadi masih setia dengan kediamannya tanpa berniat menimpali ucapan Shaka. "Ayolah, Naf.... Hanya berteman apa salahnya? Mungkin saja nanti kita bisa saling membantu. Tentang kerjaan misa
Author Pov. Nafisah sudah mulai kembali beraktivitas seperti biasanya. Kakinya sudah bisa dibuat jalan meski belum bisa senormal biasanya.Pagi ini Nafisah langsung menuju rumah Tiara tanpa mengantar anaknya karena tugas mengantar anak-anak sekolah diambil alih oleh Zamar sekalian pergi bekerja. "Assalamu'alaikum, pagi Ibu Tiara." Nafisah memberi kejutan dengan langsung datang tanpa memberitahu terlebih dulu pada bos sekaligus sahabatnya itu. "Naf..... kamu sudah sembuh?" Tiara yang sedang sibuk menimbang bumbu-bumbu yang hendak di buat masakan pun langsung meninggalkan pekerjaannya dan menyambut sahabatnya itu. "Alhamdulillah..... sudah bisa buat jalan dan cari duit." Canda Nafisah dengan senyum lebar seperti tanpa beban. Tiara menghela nafas, dia tahu betul seperti apa perasaan sahabatnya itu saat ini. Suaminya sudah benar-benar lupa diri sampai tak sekalipun datang untuk menjenguk anak dan istrinya di rumah kakak iparnya. "Kita bicara di rumah dulu. Tinggal pesanan untuk nant
Pov Nafisah. "Mas Aska," Pria itu terlihat begitu bahagia dengan senyum yang terus yang menghiasi wajah tegasnya. Sebahagia itu kamu Mas, bahkan belum juga selesai proses perceraian kita tapi kalian sudah merencanakan pernikahan. Kutarik nafas panjang, sekuat hati menahan rasa sakit dan marah yang merasuki hatiku. Sabar..... Nafisah, jangan terbawa emosi dan membuat Aska menjadikan sifatmu sebagai alasan memilih Vania, ucapku dalam hati. Tiba-tiba tatapan mata kami bertemu. Pria itu nampak kaget dan reflek melepas pegangan tangannya pada tangan Vania. "Nafisah," pekiknya cukup keras sampai membuat beberapa orang mengikuti arah pandangnya. "Ke-kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyanya tergagap. Aku masih diam? Kutatap lekat laki-laki yang hanya menghitung hari akan menjadi manta suami itu. "Loh, kalian kenal?" Bu Maria, pemilik rumah menatapku dan Mas Aska bergantian. Dengan senyum tipis aku berjalan mendekati tiga orang itu. "Mas," rengek Vania tampak merajuk sambil menggoyangka
Aku mendelik pada Kak Shaka dan dengan santainya pria itu malah mengedipkan sebelah matanya. Oh Astaga...... Aku memutar bola mataku jengah. Tanganku kembali gemas hendak memukulnya namun segera aku urungkan, teringat dengan deretan emak-emak yang sejak tadi melempar pandangan ke arah kami. Segera aku menundukkan kepalaku. Malu juga takut kalau-kalau diantara salah satu ibu-ibu itu ada yang mengenalku. Beruntung Kak Shaka paham dan langsung menggeser tubuhnya untuk menutupi wajahku. "Ya Alloh Mbak, beruntung banget punya suami sabar dan penyayang kayak Masnya. Dia juga gak malu lo mengakui salah di depan banyak orang," ucap salah satu dari ibu-ibu itu. "Iya Mbak, zaman sekarang jarang lo ada lelaki seperti suami Mbak, kebanyakan modelan laki-laki zaman sekarang itu gak mau ngalah dan maunya menang sendiri." "Sudah maafin aja Mbak suaminya, sudah ganteng, sayang istri, sabar pula." Ibu-ibu itu makin lama ucapan makin kemana-mana. Aku hanya diam saja sambil terus menyembunyikan wa
Tepat satu menit sebelum adzan maghrib berkumandang mobil Mas Zamar memasuki pelataran rumah. Aku yang menunggu di kursi teras segera bangkit dan menghampiri Qiara yang turun dengan digendong Mbak Sezha. Putri kesayanganku itu menangis. "Kenapa Mbak?" Dadaku berdenyut nyeri melihat wajah sembab penuh air mata Qiara. Tidak seperti biasanya, aku selalu menanggapi tangisan Qiara dengan santai dan tenang. Bagiku wajar seorang anak kecil menangis karena kesal atau kecewa tidak mendapat apa yang diinginkan. "Kita bicara di dalam." Jawab Mbak Sezha masih dengan mendekap Qiara, tak membiarkanku mengambil alih. "Sudah biar Sezha yang gendong." Ujar Mas Zamar sembari mengelus kepalaku lembut. "Sudah adzan magrib kita bicara habis sholat saja!" lanjutnya lalu menggandeng tangan Aydan yang wajahnya tak kalah muram. Sebenarnya ada apa dengan keempat orang ini? Apa yang sudah dilakukan Mas Aska sampai membuat keceriaan keluargaku memudar. Tak bisakah hanya aku yang terluka tak perlu juga meluk