Share

Ibarat cermin hatiku sudah jadi kepingan.

Aku memutuskan untuk mengajak Azqiara pulang setelah insiden videocall yang berujung kesedihan di wajah putri kecilku. Sepanjang jalan Azqiara kecil hanya diam saja. Tak satupun ucapanku ditanggapinya dengan kata-kata. Hanya gelengan dan anggukan saja yang diperlihatkan oleh gadis kecilku ini.

Kuhela nafas beberapa kali untuk menghalau rasa marah dan sakit hati yang sudah memenuhi hatiku. Lihat Mas, apa yang akan aku lakukan setelah ini.

Jika memang janda dan anaknya itu lebih kamu prioritaskan maka dengan berbesar hati aku dan Azqiara akan mundur.

Sesampainya di rumah ternyata Mas Aska belum juga pulang padahal tadi dia sempat mengirim pesan jika dia akan segera pulang dan menjelaskan kejadian tadi.

Tapi nyatanya, hatinya lebih berat meninggalkan wanita itu ketimbang menjaga perasaan putrinya sendiri.

"Sayang mandi dulunya, mumpung masih sore." Kataku sambil menuntun Azqiara ke kamar mandi yang ada di dalam kamar utama.

Sembari menunggu Azqiara selesai mandi, aku pindahkan baju Mas Aska ke kamar tamu yang berada di samping ruang tamu. Di kamar itu sudah ada lemari dan meja lengkap dengan kursinya.

Kamar tamu itu sengaja kami siapkan untuk orang tua Mas Aska jika mereka berkunjung.

Tak hanya baju, semua barang Mas Aska aku pindahkan ke sana. Ini salah satu bentuk ketegasanku dan bukti dari ucapanku kemarin.

Sekitar pukul tujuh malam terdengar suara mobil Mas Aska berhenti di depan rumah. Tak lama suara gerbang terbuka lalu di susul pintu ruang tamu dibuka dari luar.

Aku tetap sibuk dengan piring kotor bekas makan malamku dengan Azqiara. Sedangkan putri kecilku yang sedang asyik nonton film kartun kesukaannya langsung beranjak pergi menuju kamar tak lupa menutup pintunya.

"Semua barang Mas ada di kamar tamu," beritaku sambil mengelap tanganku yang basah.

"Maksudnya?" Mas Aska menghentikan langkahnya yang hampir mencapai pintu kamar kami.

"Itu sekarang kamar, Mas." Aku menunjuk ke arah pintu kamar sebelah ruang tamu. "Mulai sekarang kita pisah ranjang." Sambungku lalu berjalan hendak mematikan televisi yang tadi ditinggal begitu saja oleh Azqiara.

"Jangan kekanakan kamu," geramnya dengan wajah memerah.

Apa? kekanakan katanya? Meski dadaku bergemuruh namun sekuat hati aku berusaha tenang. Kutatap netranya dalam, "Mas yang jangan egois!" ujarku tidak terima namun dengan nada setenang mungkin.

Ingatan tentang keberadaan Azqiara membuatku harus menekan emosiku. Bagaimanapun aku harus menjaga mental gadis kecil itu.

"Bukankah sudah kukatakan pilih salah satu? Dan dari sikap yang Mas tunjukkan, aku bisa menyimpulkan jika Mas lebih memilih wanita itu."

"Apa kamu tidak bisa lebih dewasa sedikit saja? Kamu kan tahu, dia itu di sini sendirian. Keluarganya jauh dan dia butuh orang untuk jadi sandarannya. Dia itu janda dengan anak satu yang perlu kita kasihani."

Ibarat cermin yang dihantam palu dan hancur berkeping-keping, seperti itulah hatiku saat ini. Tanpa terasa kaca-kaca yang mengaburkan pandanganku berubah menjadi butiran bening dan membasahi pipiku.

Sandaran katanya, kutarik nafas panjang ingin rasanya aku berteriak melampiaskan emosi yang sudah sejak tadi menumpuk didalam dadaku.

"Maka jadilah sandarannya! InsyaAllah aku ikhlas Mas, kehilangan laki-laki yang tidak bisa memprioritaskan diriku dan putriku dibanding orang lain."

"Tenang saja, aku sudah belajar dengan sangat baik selama ini untuk bisa menjadi wanita mandiri. Halalkan dia dan jandakan aku,"

"Jaga ucapanmu!" sentak Mas Aska. "Mulutmu itu terlalu pedas kalau bicara." Wajah Mas Aska memerah.

Di sisi tubuhnya kedua tangannya mengepal menahan emosi karena ucapanku.

"Ya, Mas benar. Aku memang bukan wanita lemah lebih lembut seperti mantan kekasihmu itu. Tapi setidaknya aku tidak pernah menjadikan suami orang sebagai sandaran hidupku. Aku tidak akan merusak kebahagiaan wanita lain untuk kebahagiaanku."

"Ka-mu....." Geram Mas Aska dengan mata memerah, dia melangkah lebar kearahku. Dengan kasar dia mencengkram kedua lenganku. "Sekali lagi aku ingatkan jaga ucapanmu!!"

Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, kunikmati rasa sakit yang menjalar di kedua lenganku. Ini adalah rasa sakit pertama yang disebabkan oleh tangan suamiku.

Setelah delapan tahun pernikahan baru kali ini Mas Aska bersikap kasar padaku. "Apa yang kurang dariku Mas?" tanyaku dengan air mata yang tak bisa kutahan.

"Apa yang tidak aku lakukan untukmu? Semua kekuranganmu aku terima, semua permintaanmu aku lakukan. Inikah balasanmu atas pengabdian tujuh tahunku?"

"Aku hanya memintamu untuk sedikit saja mengerti posisiku?" Cukup sudah aku tak tahan lagi.

Kuhela nafas panjang lalu kutarik satu sudut bibir, "Aku wanita biasa seperti wanita pada umumnya yang tidak mampu membagi suamiku dengan wanita lain. Namun jika kamu berkeras hati, cobalah bertanya pada ibumu, apakah dia bisa menerima wanita dari masalalu ayahmu hadir di antara mereka?"

Perlahan genggaman tangannya terlepas. Namun ekspresi wajahnya tetap geram dengan dada naik turun.

"Jangan membawa orang tuaku dalam masalah kita!" Suaranya lirih namun penuh penekanan. Sepertinya amarah makin tersulut.

"Tamparlah, hal itu akan mempermudah jalanku lepas darimu."

Tangannya yang sempat terangkat seketika diturunkannya. Rautnya langsung berubah tenang, "Aku akan tidur di kamar tamu, mungkin kita butuh waktu. Sampai kamu bisa lebih tenang kita pisah ranjang."

Tanpa menunggu jawabanku laki-laki yang sudah aku temani selama delapan tahun itu melenggang pergi masuk ke dalam kamar tamu.

Maaf kali ini aku tidak bisa lagi memaafkan kamu. Kuusap air mata di wajahku lalu berjalan menuju halaman belakang rumah. Sengaja amu memilih tempat ini agar tak ada yang mendengar suaraku.

Aku menscroll nomor kontak di ponselku. Mencari nomor seseorang yang kemarin diberikan oleh Tiara, sahabatku.

"Halo," sapaku pada orang di seberang sana.

"Iya, saya Nafisah. Bisa segera diurus?"

Kudengarkan dengan seksama instruksi dari lawan bicaraku itu. "Siap, besok saya akan datang ke kantor untuk mengantar berkasnya."

"Iya, terima kasih." ucapku sebelum mengakhiri panggilan telpon.

🌸🌸🌸

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status