Share

Kamu terlalu baik untuk laki-laki tak sempurna yang tak tahu diri.

Sudah beberapa hari kami pisah ranjang. Dan sikap Mas Aska tetap sama, acuh dan tak mersa bersalah sedikitpun. Setiap hari pulang malam dan semakin tak peduli dengan putrinya.

Aku juga sering mendengar dia berbicara lewat sambungan telpon dengan wanita itu. Biarlah, meski aku masih sangat mencintainya tapi aku sudah menyerah untuk menjadi satu-satunya wanita di hatinya.

Pagi ini setelah mengantarkan Azqiara ke sekolah aku segera menuju rumah Tiara. Semalam sahabatku itu memberitahu jika hari ini ada pesanan kue basah yang harus dikirim sebelum jam 2 siang.

Sudah dua tahun ini aku berkerja di catering milik sahabatku itu. Awalnya hanya sekedar bantu-bantu sebagai bentuk dukungan kepada teman yang sedang merintis usaha.

Di awal-awal membuka usaha, Tiara tidak punya cukup uang untuk membayar karyawan. Di samping masalah keuangan yang belum stabil juga karena pesanan yang masih sedikit. Melihat itu hatiku tergerak untuk membantunya.

"Kamu hanya perlu membayarku dengan sepiring nasi untuk sarapan dan makan siangku." Ujarku saat itu.

Tiara seorang janda dengan dua anak. Suaminya meninggal dalam kecelakaan. Orang tua Tiara sudah meninggal begitu juga mertuanya. Satu-satunya cara bertahan hidup, dia harus bekerja.

Namun kondisi anaknya yang masih kecil-kecil tidaklah mungkin untuk temanku itu bekerja di luar rumah. Berbekal dengan keahlian memasak akhirnya Tiara membuka usaha catering dengan menggunakan uang jasa raharja kematian suaminya sebagai modal awal.

Usaha yang awalnya hanya nasi kotak kini berkembang menjadi catering untuk berbagai acara dan tersedia berbagai makanan juga jajanan. Karyawannya pun sudah lebih dari empat orang, termasuk aku.

Aku yang awalnya hanya berniat membantu akhir menjadi salah satu pegawai tetap yang mengandle pesanan untuk kue dan jajanan tradisional. Butuh beberapa bulan sampai akhirnya aku menguasai proses pembuatan makanan yang didominasi rasa manis itu.

"Kamu jadi ke kantor pengacara?" tanya Tiara saat aku memasuki dapur khusus untuk pembuatan kue dan jajanan.

Aku mendengus, "Belum juga duduk, sudah ditanya soal cerai."

"Hus.... jangan bicara seperti itu!" Mata Tiara melotot, "Aku nanya karena berharap kamu gak jadi ke sana. Jadi Janda itu gak enak, disu'udzon-i terus sama orang." Lanjutnya sembari menyerahkan kertas orderan yang harus diselesaikan pagi ini.

Kuhela nafas panjang, aku duduk lesehan sambil menakar tepung untuk adonan kue. Suasana masih sepi karena karyawan yang lain sedang sarapan di dapur utama setelah mengerjakan pesanan yang sudah dikirim pagi tadi.

"Aku sudah menyerah, Ra. Untuk apa bertahan jika hatinya bukan untukku,"

Tiara menatapku iba, "Kupikir dulu dia begitu mencintaimu setelah apa yang sudah kamu lakukan untuknya dan keluarganya. Kamu terlalu baik untuk pria yang tak sempurna dan tak tahu diri seperti Aska."

Kupaksa bibirku untuk tersenyum, "Sayangnya dia tak mengingat itu. Baginya aku hanya wanita kekanakan yang tidak bisa memahami dirinya."

"Bagaimana dengan Mas Zamar? Apa dia sudah tahu?"

Aku menggeleng, "Rencananya sebelum mengajukan gugatan aku akan memberitahunya."

"Kamu harus kuat, Ingat ada Azqiara yang harus kamu perjuangkan."

"Iya, makanya kamu jangan memecatku. Karena ini sekarang mata pencaharianku untuk bertahan hidup." Kupasang wajah memelas yang langsung membuat Tiara kesal.

"Kamu ngomong apa sih, gak mungkin aku memecat kamu."

"Makasih," ucapku tulus.

*****

Pukul setengah dua belas aku aku sudah berada di depan sekolah dasar tempat Azqiara menimba ilmu. Beberapa ibu-ibu sedang bercanda sembari menunggu anaknya.

Aku yang jarang ikut ngumpul memilih untuk duduk menyendiri sedikit menjauh. Ya, meski mereka sangat ramah tapi ada rasa segan karena sudah jarang ikut berkumpul.

Ramainya pesanan membuatku sering absen di kegiatan ibu-ibu. Lama-lama akhirnya aku pun tak lagi akrab seperti dulu saat Azqiara masih dikelas satu.

Satu persatu siswa-siswi pulang bersama penjemputnya. Sampai pukul 12 lebih 15 menit, putriku belum juga keluar dari gerbang sekolah.

Tak sabar, akhirnya aku memutuskan masuk kedalam ketika sekolah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa siswa saja yang menunggu dijemput.

Kuputuskan menemui wali kelas Azqiara, dikelasnya. "Azqiara masih di ruang guru. Tadi ada Pak Guru Shaka dari SMP Negeri Satu katanya mau daftarin Azqiara untuk ikut Olimpiade tingkat antar kabupaten Bu."

Sedikit terkejut namun bagiku tak ada yang aneh, Kak Shaka seorang guru wajar memilih putriku untuk mengikuti Olimpiade matematika.

Kujatuhkan bobot tubuhku pada tempat duduk berbentuk bulat di taman sekolah. Tatapanku mengarah pada ruang guru yang berada tepat di hadapanku.

Shaka Saifullah Hanafi, sudah sepuluh tahun lebih kami tak bertemu. Pria yang dulu pernah mengisi hatiku sebagai cinta pertama dimasa remajaku.

Mengapa kini kami dipertemukan lagi di saat kondisi rumah tanggaku di ujung tanduk.

Malu, ya aku malu. Dulu aku yang memutuskan hubungan dengannya. Bagaimana bisa kini aku terlihat hancur dihadapannya.

Kutarik nafas, panjang sembari memijit dahiku yang terasa nyut-nyutan.

Kugelengkan kepala sambil sesekali mengusap mataku untuk menghalau bayangan Kak Shaka yang seolah sedang berjalan dengan tersenyum ke arahku.

Astaghfirullah....... Kutepuk-tepuk keningku dengan memejamkan mataku.

"Bunda.... Bunda kenapa?" Wajah Azqiara terpampang di depanku begitu aku membuka mata.

"Ah.... Gak papa sayang.... Bunda hanya sedikit pusing saja."

"Kamu sakit?" Suara dari arah kananku, pria itu sudah duduk manis berjarak satu meter dari tempatku duduk.

"Gak. Cuma sedikit pusing saja."

"Tapi wajahmu pucat,"

"Oh mungkin kecapekan."

Kak Shaka mengangguk.

"Oh iya, mumpung ketemu sekalian aku mau minta izin sama kamu juga suami kamu untuk mendaftarkan Azqiara mengikuti Olimpiade antar kabupaten," jelasnya.

"Kalau aku terserah anaknya, kalau Azqiara merasa tidak terbebani aku mengizinkan." Kulihat putriku tersenyum.

"Aku sih Ok, Bunda." ucap gadis kecilku. Reflek aku mencubit pipinya gemas.

"Kalau begitu tinggal izin dari ayahnya. Kapan aku bisa bertemu dengan suamimu? Aku ingin minta izin langsung sama Ayahnya Azqiara."

"Hah.... Emmm.... kayaknya dia...pasti setuju kalau Azqiara nya mau. Gak perlu minta izin, nanti biar aku yang bicara."

Aku sedikit gugup melihat tatapan netra hitam milih Kak Shaka. " Kamu yakin?" tanyanya memastikan.

"Iya." Saat ini Mas Aska sedang dibutakan oleh cinta masalalunya. Aku tidak yakin dia peduli dengan prestasi anaknya. Yang kemarin saja tak ada hadiah atau sekedar ucapan selamat untuk kemenangan Azqiara.

"Kami pamit pulang duluan, Azqiara salim dulu sama Pak guru," perintahku.

Azqiara mencium punggung tangan, "Assalamu'alaikum, Pak,"

"Tunggu biar aku antar, rumah kalian di perum Taman Florecia kan?" Kak Shaka berdiri.

"Tidak, terima kasih. Nanti merepotkan," tolakku secara halus.

"Nggak merepotkan, kita searah. Aku tinggal di perum Permata Indah Regency, satu arah dengan rumahmu kalau dari sini."

Degh.... kebetulan kah ini?

🌸🌸🌸

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status