Share

Menenangkan diri.

Aku sudah tak punya kesabaran lagi, tanpa menunggu jawaban aku beranjak pergi meninggalkannya sendirian. Aku harus menjemput Azqiara yang tadi aku titipkan di rumah Mbak Sheza, istri Mas Zamar.

Tak sekalipun kudengar Mas Aska memanggilku sekedar untuk menenangkan aku. Sampai aku menyalakan motor, Mas Aska pun tak menyusulku. Kuhembuskan nafas berat. Sadar.... Nafisha.... Sadarlah kamu bukanlah orangnya.

Mungkin lebih baik jika malam ini aku menginap di rumah Mas Zamar untuk menenangkan diri. Aku merasa sangat kesal dengan Mas Aska. Kecewa bercampur marah menggunung di dalam dadaku sampai membuatku merasa sesak.

Dalam keadaan emosi tidak baik jika kami terus bersama. Lebih baik aku yang pergi untuk mengenangkan diri dan memiliki apa yang harus aku lakukan setelah ini.

Untuk saat ini itu keputusan yang terbaik, aku butuh waktu untuk menenangkan dan membuat rencana selanjutnya.

Jika nanti Mas Zamar bertanya alasanku menginap aku akan mengatakan Mas Aska sedang tugas di luar kota.

Tak sampai 15 menit aku sudah sampai di depan rumah Mas Zamar. Nampak Azqiara sedang bermain dengan putra Mas Zamar.

"Mama......" teriak Azqiara sambil menyongsongku.

Kupeluk erat tubuh mungil yang selalu memberiku semangat di saat-saat berat seperti ini. Rasanya aku seperti mendapat energi baru setelah memeluk gadis kecilku ini. Dia benar-benar seperti powerbank yang menyimpan banyak daya untukku.

"Kamu sudah datang?" tanya Mas Zamar berjalan dari ruang tamu rumahnya. "Masuk sholat dulu, maghrib-maghrib keluyuran di jalan," tambahnya mengomel.

Tak membantah aku hanya mengangguk sebagai jawaban dan langsung menggandeng Azqiara masuk kedalam rumah sederhana namun terasa hangat ini.

Rumah yang di dalamnya berisi orang-orang yang saling mencintai pasti memiliki aura yang sangat nyaman dan hangat. Berbeda dengan rumah yang hanya dijadikan tempat pulang tanpa diisi dengan cinta dan kasih sayang, maka akan terasa hampa.

Setelah sholat maghrib aku merebahkan kepalaku diatas sajadah, masih tetap mengenakan mukena. Setelah mengadukan rasa gelisahku pada sang kuasa masih belum juga membuatku tenang. Rasanya masih nyesek mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.

Dari depan pintu Mbak Sheza memanggilku untuk makan malam.

"Nanti saja Mbak, aku belum lapar," tolakku setelah kepala Mbak Sheza menyembul kedalam.

"Kamu lagi ada masalah sama Aska?" tanya Mbak Sheza masih dengan berdiri diambang pintu kamar.

Aku diam, tak ingin menjawab. Bingung juga mau cerita seperti apa? Takut memicu kemarahan Mas Zamar.

"Keluarlah untuk makan! Jangan kayak anak abg yang lagi patah hati," ejeknya lalu tertawa renyah.

Astaga..... Aku menghela nafas. Begitulah keluargaku, semua masalah tidak pernah dijadikan beban.

Baik Mas Zamar atau Mbak Sheza sama-sama orang yang berpikiran santai dan tenang. Bagi mereka masalah itu bukan hal yang harus dikhawatirkan tapi sesuatu yang harus dihadapi dan diselesaikan.

"Mau diceramahin kakakmu atau menuruti perintahku?" Kembali Mbak Sheza berbicara.

Tak punya pilihan, meski malas aku pun beranjak lalu melepas mukena dan melipatnya. Setelahnya bergegas menuju meja makan yang bergabung dengan ruang santai.

Mas Zamar tinggal di rumah warisan orang tua kami. Sedangkan aku mendapatkan tanah di desa almarhum ayah yang selanjutnya aku jual dan kubelikan rumah yang sekarang aku tempati bersama Mas Aska dan Azqiara.

"Apa yang dilakukan Aska sampai membuat matamu sembab begitu? Aku tidak akan tinggal diam jika dia sampai mengangkat tangan sama kamu," ujar Mas Zamar begitu kami selesai makan malam.

"Cepat katakan! Ada apa sampai kamu menangis?" Mas Zamar menatap ke arahku dengan mata menyipit.

Kan.... belum juga satu jam. Apa yang aku khawatirkan benar terjadi. Mas Zamar tahu betul seperti apa aku ini. Aku buka wanita lemah yang sedikit-sedikit menangis. Hanya ada dua alasan yang membuatku menangis. Dipukul atau kehilangannya hal yang berharga.

Aku masih menunduk, tak berani menatapnya. Bukan aku tak ingin jujur tapi aku hanya takut Mas Zamar emosi dan membuat masalahnya tambah melebar dan melebar banyak orang.

Prinsipku jika aku masih bisa mengatasinya maka aku tidak ingin bercerita sehingga membuat satu-satunya saudara kandungku itu khawatir.

"Untuk sekarang, InsyaAllah aku masih bisa mengatasi. Kami hanya berbeda pendapat saja. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri." Ujarku menatap melas pada Masa Zamar. "Tolong beri aku watu sampai aku bisa menceritakan semuanya,"

Mas Zamar mendengus kasar, wajahnya nampak tegang namun tetap berusaha tenang. "Baik, aku memberimu waktu untuk menyelesaikannya sendiri. Tapi ingat,"

Mas Zamar menatapku lekat, "Aku adalah walimu pengganti Ayah, aku tidak akan membiarkan siapapun dengan sengaja menyakitimu. Termasuk Aska."

🌸🌸🌸

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status