Share

Mulai tak peduli.

Setelah menginap satu malam, pagi ini aku memutuskan untuk pulang. Aku pulang dengan mengendarai motor matic bersama Azqiara tanpa dijemput Mas Aska.

Jangankan menjemput, menelpon atau sekedar mengirim pesan saja tidak. Padahal aku bersama putri kami. Segitu tak berharganya kami di matamu, Mas. Itulah sebabnya aku tidak akan melepaskan Azqiara apapun nanti jalan yang kita tempuh.

Kuhela nafas panjang. Memang apa yang kamu harapkan Nafisa? Kamu tahu cintanya bukan untukmu, bagaimana bisa kamu mengharapkan perhatiannya. Rasanya aku sedang menertawai kebod*han yang selama ini aku lakukan.

Seharusnya dulu kamu mencari tahu dulu tentang masa lalu Mas Aska, cinta masa lalunya sudah selesai apa belum? Supaya kamu tidak menyesal dikemudian hari, seperti saat ini.

Ah percuma menyesal, nasi sudah menjadi bubur. Kini yang harus aku lakukan adalah memikirkan bagaimana caranya kami hidup tanpa Mas Aska? Aku harus belajar lebih mandiri lagi.

Mulai sekarang aku harus serius menekuni dunia literasi yang sudah setengah tahun ini aku geluti. Asalkan aku serius aku pasti bisa menghidupi Azqiara tanpa Mas Aska.

"Bunda, jangan lupa beli eskrim dulu ya di ind****. Tadi kan sudah janji." Suara ceria Azqiara membuyarkan kegelisahan yang memenuhi otakku.

Astagfirullah..... aku menggelengkan kepalaku. Beruntung jalanan sepi. Bagaimana bisa aku mengendarai motor sambil melamun.

Kutarik paksa ujung bibirku. "Siap peri kecilku," jawabku tersenyum tipis dan mengacak rambut Azqiara sebentar lalu kembali fokus mengendari motor maticku.

Azqiara, gadis cilik dengan kulit putih dan lesung pipi itu aku bonceng di depan dengan posisi menghadap jalanan.

Seperti keinginan Azqiara kami mampir sebentar ke sebuah mini market tak jauh dari perumahan yang kami tempati.

Aku sempat melihat mobil Mas Aska saat membelokkan motorku ke area mini market. Tidak hanya aku, putriku pun mengatakan melihat mobil ayahnya.

"Bunda, itu seperti mobil Ayah." Bocah polos itu menunjuk sebuah mobil yang baru meninggalkan area parkir mini market.

Hendak kemana Mas Aska, bukankah ini hari libur? Rasa penasaran membuatku tak jadi memasuki area parkiran mini market. Segera aku memutar lagi haluan motor yang sedang aku kendarai.

"Sayang kita beli eskrimnya di toko dekat rumah aja. Sekarang kita kejar Ayah Yuk, nanti kita kagetin." Ujarku sambil memperhatikan jalanan, mencari mobil Mas Aska.

"Ok," pekik Azqiara antusias. "Sekarang kita jadi detektif, kita buntuti kemana Ayah pergi. Ayo Bun....kita kejar Ayah..."

Aku sedikit terkejut dengan kosa kata Azqiara. Bagaimana gadis kecil itu bisa mengucapkan kata, "Kita buntuti ayahnya."

Ah.... Mungkin di sekolah dia sering bermain detektif-detektifan dengan teman-temannya.

Karena terlalu pelan aku jadi kehilangan jejak mobil Mas Aska. "Aduh.... mana ya mobil Ayah? Kayaknya kita ketinggalan, deh," ucapku masih sambil menyipitkan mata mencari mobil hitam milik Mas Aska.

"Itu Bun, itu mobil Ayah. Itu yang di depannya mobil putih." seru Azqiara sesaat setelah aku mengeluh kehilangan jejak Mas Aska.

Tanpa sadar satu sudut bibirku tertarik. Ini benar-benar menegangkan, kami seperti dua detektif beneran yang sedang beraksi mengungkap kasus perselingkuhan.

Aku dan Azqiara adalah partner yang kompak dalam segala hal. Tidak hanya sebagai ibu, sebisa mungkin aku selalu berusaha untuk bisa menjadi teman dan kakak perempuan untuk putri kecilku ini.

Hal itu kulakukan agar tidak ada rahasia yang disembunyikan gadis kecil ini dariku saat dewasa nanti. Aku tak ingin dia salah bergaul dan terjerumus dalam hal-hal yang tidak baik.

"Mobil Ayah belok Bunda," seru Azqiara sambil menunjuk mobil Ayahnya yang memasuki sebuah kawasan perumahan.

Kuhentikan motor di pinggir jalan beberapa meter dari pintu masuk perumahan. Aku mendongak, menatap pada besi melengkung yang menampakkan nama perumahan tersebut.

Perum Permata Indah Permai Regency

Degh....

Tiba-tiba jantungku terasa nyeri. Perumahan siapa ini? Mungkinkah....

Jika tidak salah ingat, nama perumahan ini sama dengan nama perumahan yang Vania katakan waktu pertama kali kami bertemu.

"Aku tinggal di perum Permata Indah Perma. Kalau ada waktu silahkan mampir," katanya waktu itu.

Tidak, aku tidak boleh masuk ke dalam sana bersama Azqiara. Bagaimanapun aku harus menjaga perasaan gadis kecil ini.

"Sayang, kayaknya Ayah sedang ada kerjaan penting. Kita pulang aja ya...!"

"Masa hari minggu juga kerja?" Gadis kecilku merengut kesal.

"Kan Ayah sudah sering lembur di hari minggu. Lagian kerjanya kan buat bayar sekolah Azqiara. Nanti kalau pekerjaannya selesai pasti pulang," bujukku lalu menyalakan kembali motor dan memutar kembali kearah jalan pulang.

Setiap fakta yang terkuak aku jadikan sebuah cambukan untuk menyadarkan hatimu bahwa sedikit demi sedikit nama Mas Aska harus terhapus dari hati dan pikiranku.

*****

"Bunda, dimana kaos kakiku?" teriak Azqiara dari teras.

Gadis kecil itu sudah tidak sabar untuk segera berangkat. Hari ini dia ada olimpiade matematika dia sebuah sekolah negeri di tengah kota.

Gadis berseragam merah putih itu bahkan tidak mau berpamitan dengan Ayahnya yang sedang sarapan di meja makan. Katanya kesal karena seharian kemarin Mas Aska tak ada di rumah.

Entah kemana dia pergi? Mungkin dengan wanita itu, aku sudah tak peduli. Seperti yang aku katakan waktu itu. Mas Aska bebas menemui wanita itu dan terima konsekuensinya.

Mas Aska sendiri seperti tanpa dosa, tak ada penjelasan, pertanyaan atau ucapan maaf. Sepertinya dia juga sudah siap dengan perpisahan kami.

Pagi ini aku akan mengantar dan menemani Azqiara sampai acara selesai. Atasan putih dan celana biru tua aku padukan dengan jilbab pink salem. Selesai bersiap aku menyambar tas selempang yang ada diatas ranjang.

Tak lupa aku ambil dulu kaos kaki Azqiara yang ada di meja setrika dekat meja makan.

"Aku anter Azqiara. Assalamu'alaikum, " pamitku tanpa mencium tangannya, juga tak menunggu jawaban akupun segera melenggang pergi menuju teras.

"Sudah, ayo!" ajakku setelah memasangkan kaos kaki Azqiara.

Lima belas menit kami sampai di sekolah dan langsung berangkat bersama ke sekolah SMP negeri yang menjadi tempat Olimpiade.

Setelah konfirmasi kedatangan Azqiara ditemani gurunya dibawa masuk ke sebuah ruangan kaca. Sedangkan aku hanya boleh menunggu di halaman sekolah bersama ibu-ibu yang juga mengantar anaknya.

Sekitar 45 menit, Azqiara berjalan keluar sambil melambaikan tangannya, "Bunda...." teriaknya lalu berlari memelukku.

"Sudah selesai?" Aku mencium pipinya.

"Sudah,"

"Apa hasilnya?"

"Tunggu satu jam untuk pengumuman juaranya." Bukan suara Azqiara. Tapi.....

Aku mendongak, seorang pria tersenyum kearahku.

"Masih ingat denganku?" tanyanya.

"Kak, Sakha...."

"Iya. Akhirnya kita bertemu lagi."

🌸🌸🌸

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status