Share

Menyerah.

"Nafisah.... Nafisah.... " Mas Aska mengejarku sampai di parkiran.

"Apa lagi?" kembali aku menepis tangannya yang mnecekal lenganku.

"Kamu jangan emosi kayak gitu! Aku cuma menemaninya makan saja. Tadi aku.... "

Aku mengambil kue yang aku taruh di atas jok motorku dan aku serahkan pada Mas Aska. "Temani dia makan sekalian ini buat hidangan penutup."

Mas Aska terdiam, pandangannya tertuju pada kotak putih yang ada di tangannya.

"Maaf aku....."

"Lupa? Lupakan saja semuanya," Aku memotong kalimatnya.

Dari jauh kulihat Vania berlari mendatangi kami. Segera aku memundurkan motorku. "Minggir!" Aku mendorong Mas Aska yang berdiri di depan motor ku.

"Tinggalkan motornya, biar nanti aku ambil. Kamu Pulang sama aku saja!" katanya sambil memegangi stir motorku dengan satu tangan.

Aku tak menjawab, aku sudah sangat malas berbicara dengannya. Apalagi melihat wanita itu sudah semakin dekat.

"Nafisah, biar aku jelasin," ucap Vania dengan wajah melas yang membuatku muak.

"Aku sangat membencimu, jadi menjauhlah! Menjauhlah dariku jika tidak ingin ada bekas lima jariku di wajah cantikmu itu." Vania langsung mundur mendengar ucapan sarkasku.

Ya, inilah aku, berani dan sedikit bar-bar karena aku tak sudi ditindas. Aku bukan wanita lemah yang hanya bisa menangis jika disakiti. Satu kali kamu memukul akan kubalas sama bahkan lebih jika bisa.

"Naf...." Lagi-lagi Mas Aska membentakku karena wanita itu.

Kesabaranku habis sudah. Aku rebut kotak kue dari tangannya lalu ku lempar ke arah wanita itu.

Brukkkk..... Wanita itu terhuyung dan jatuh terduduk.

"Akh..... " teriak Vania.

"Astaga.... Nafisah!" sentak Mas Aska panik dan hendak melangkah menuju wanita itu.

"Bantu dia bangun! Besok kamu akan menerima surat dari pengadilan!" ujarku penuh amarah, seketika tubuh Mas Aska membatu.

Tatapan matanya menatapku tajam, mungkin dia tidak menyangka aku akan mengancamnya dengan perceraian. Tak gentar aku pun balas menatapnya tak kalah tajam.

Tanpa berbicara lagi, Mas Aska langsung masuk kedalam mobil dan pergi lebih dulu. Sebelum pergi Kulirik Vania yang masih terduduk sambil menatapku penuh amarah. Tak kuhiraukan, aku pun menyalakan motor maticku dan berlalu dari tempat itu.

****

Sesampainya di rumah Mas Aska sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sudah memerah dengan rahang yang mengeras.

"Duduk!" perintahnya dengan suara keras.

Aku menurut, duduk di sofa yang berbeda. Kurasa aku harus menjaga jarak. Saat ini dia sangat marah, entah apa yang akan dia lakukan padaku.

"Apa maksud kamu tadi?"

"Apa kamu gak salah Mas?" tanyaku balik. "Aku ingatkan kamu ya, Mas, di sini kamu yang ketahuan selingkuh. Harusnya aku yang marah-marah sama kamu."

"Aku tidak selingkuh," bantahnya. "Aku hanya kasihan sama dia. Kamu kan tahu dia di sini itu sendirian. Di juga belum hafal kota ini."

Alasan yang sama dan aku sudah muak mendengarnya. "Oh iya...." Aku menatapnya seolah terkejut dengan kalimatnya. "Seingatku Mama pernah cerita dulu dia kuliah di kota ini? Sudah lupa?"

"Nafisa mengertilah, kalian sama-sama wanita harusnya kamu bisa lebih merasa kasihan ketimbang aku." Mas Aska menjabak rambutnya sendiri, se-frustasi itu kah kamu Mas karena tidak ingin berpisah dengan wanita itu.

"Kasihan.. kasihan... kasihan.... itu saja alasannya. Apa Kamu tidak bisa mengarang alasan lain yang lebih masuk akal?" kesal aku membantah ucapannya dengan nada meninggi.

Mas Aska melotot. "Beraninya kamu......membantah omonganku......." bentaknya dengan wajah geram sambil mengangkat tangannya hendak memukulku.

Reflek aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Rasa takut menjalar di dadaku. Seumur hidup tak pernah sekalipun almarhum ayah atau ibu memukulku. Rasa sesak mulai merambati dadaku, tak kusangka Mas Aska akan setega ini.

Sampai beberapa detik tak aku rasakan tepukan atau pun pukulan ditangan juga di anggota tubuhku yang lain. Kuberanikan diri menurunkan tanganku lalu mengangkat wajahku, menatap pria yang sudah kutemani selama delapan tahun ini.

Matanya melotot tajam padaku dan tangannya pun masih terangkat di udara hendak memukulku. Tanpa bisa kucegah kaca-kaca yang sejak tadi menghalangi pandanganku pun akhirnya pecah. Begitu derasnya sampai membasahi wajahku sepenuhnya.

Sakit..... sakit sekali hatiku. Rasanya seperti disayat pisau dan siram cuka. Melihatnya pria yang sudah mengucap janji suci atas nama Alloh kini mengangkat tangannya kepadaku.

"Lupakah Mas, akan janjimu pada Mas Zamar yang kau jabat tangannya dihari pernikahan kita? Kini demi wanita itu kamu hendak melanggar janjimu sendiri."

Semakin lama semakin deras saja lelehan bening itu hingga membuatku terisak. Meski dia tak sempat memukulku tapi melihatnya mengangkat tangannya hatiku sudah sangat sakit.

Ia telah lupa pada janjinya pada Mas Zamar untuk tidak sekalipun bersikap kasar apalagi memukulku. Namun kali ini dia mengangkat tangannya padaku demi wanita itu, mantan kekasihnya dulu.

Bukannya memeluk dan meminta maaf atau sekedar menenangkanku, Mas Aska malah membuang muka.

"Hari ini karena wanita itu, kamu mengangkat tanganmu dan aku tidak akan pernah melupakannya," desisku.

"Bukan karena dia tapi karena sikapmu yang kurang ajar," kilahnya tetap membela wanita itu.

Ya Alloh..... nyesek rasanya mendengar dia terus membela wanita itu.

"Sikapku yang bagaimana, Mas? Cemburu karena kamu lebih perhatian dengan mantan kekasihmu itu? Atau aku yang marah karena kamu rela pulang malam demi menemani putra wanita itu belajar? Kenapa kamu begitu perhatian padanya? Apa yang kurang dariku sampai Mas lebih perhatian padanya?" tanyaku dengan bibir yang bergetar.

"Kamu memintaku jadi istri yang mandiri, aku lakukan. Sekalipun kamu tidak pernah mengantarku belanja. Kamu juga tidak mau membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi demi wanita itu, kamu melakukan segalanya," teriakku kesal. Lama-lama aku jadi tidak bisa bersabar.

"Aku hanya membantunya!" ucapnya dengan suara frustasi dan masih tak ingin menatapku, tak mau melihat wajahku yang penuh air mata karena ulahnya sendiri.

"Tak sudi melihatku menangis tapi tersentuh ketika wanita itu memelas," sindirku lalu menutup mata sebentar dan menarik nafas panjang, "Kali ini aku tidak akan memintamu memilih," ujarku menatapnya yang ternyata sudah berdiri membelakangiku.

Cinta adalah perasaan yang tidak bisa di paksakan. Jika sejak awal hatinya bukan untukku kenapa aku harus takut kehilangan? Sekuat apapun aku bertahan pada akhirnya aku juga akan kalah karena yang dia cintai bukan aku melainkan mantan kekasihnya itu. Lalu untuk apa aku bertahan jika hanya akan melukai diri sendiri?

Jika bukan diriku sendiri ayng melindungi hatiku siapa lagi? Cukup sudah sampai sini batasku.

"Jika aku memilihnya tidak mungkin aku menikahimu," ucap Mas Aska berbalik menatapku.

"Kalau begitu jangan menemuinya lagi, bisa?" Lagi-lagi Mas Aska terdiam dan kembali membuang muka. "Mulai detik ini aku tak lagi berharap padamu, Mas. Temui dia sesukamu dan terima konsekuensinya. Aku menyerah."

🌸🌸🌸

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status