“Sumpah, ya, Nis... Aku ini cinta banget sama kamu. Bahkan setelah tadi si brengsek itu bilang kalau dia yang dapetin kesucian kamu ke aku, aku masih berusaha tahan emosi aku dan bakalan dengerin penjelasan kamu. Aku udah cukup sabar tekan ego aku yang nolak kalau kamu itu bekasnya dia. Itu semua karena aku sayang sama kamu,”
Semua ucapan Zaky yang meremehkannya itu membuat Nissa terdiam. Ia tidak menyangka kalau laki-laki baik yang ia kenal selama ini bisa mengatakan hal semenyakitkan itu. “Jadi, patokannya cinta dan ketulusannya aku sama hubungan kita cuma dari mau enggaknya aku buka baju di depan kamu? Mau enggaknya aku tidur sama kamu sebelum kita nikah? Itu yang ada di pikiran kamu?” tanyanya tidak percaya. “Sebenarnya enggak, tapi kamu yang buat aku tekanin hal itu sama kamu. Lagian alasan buat kamu nolak tidur bareng aku itu apa? Toh, kamu kan udah bekasnya si brengsek itu. Apa lagi yang harus kamu tutupin sama aku?” lagi-lagi Zaky memperjelas isi kepalanya pada Nissa. Nissa berdiri. Ia kecewa pada Zaky yang menjadi tidak waras seperti itu. Tapi ia juga tidak bisa menjawab lebih karena posisinya yang salah. Jadi Nissa hanya diam dan ingin beranjak dari sana, memutuskan untuk memberi waktu lagi pada hubungan yang bergejolak saat ini. "Kalau kamu keluar dari kamarku tanpa jawaban apa pun, aku anggap kamu memang nggak mau lagi pertahanin hubungan kita, Nis!” Zaky mengancam sambil menunjukkan senyuman yang terangkat miring. Ia merasa memiliki kuasa atas keputusan dan tubuh Nissa yang sudah tersudutkan. Nissa berbalik dengan tatapan yang lebih tercengang, “Kamu serius sama yang kamu bilang barusan?” “Hmm, lebih dari apa pun. Aku udah cukup jadi laki-laki bodoh yang harus nungguin pacar aku yang sok suci tapi nyatanya udah bekas orang lain,” “Aku juga kasih tantangan sama kamu biar aku percaya, kalau kamu memang serius sama aku dan hubungan kita yang hampir nikah ini. Jadi, kamu harusnya sadar kalau posisi kamu itu salah dan aku korbannya. Kalau kamu ngaku salah, kamu nggak pantes nolak permintaan aku!” Nissa memijit dahinya yang sakit sebelum kembali menoleh pada Zaky, “Kalau yang kamu mau memang kayak gitu, aku juga udah punya jawabanku sendiri,” “Kalau kamu memang nggak percaya sama aku dan nggak bisa terima kalau aku nggak bisa tidur sama kamu sebelum kita nikah, maaf Zaky. Aku lebih milih kita bubar aja,” “Aku nggak bisa ngelanjutin hubungan sama laki-laki yang nggak bisa percaya dan nggak bisa hormati harga diri aku,” “Harga diri? Nggak salah kamu ngomong? Harga diri siapa yang kamu sebutin, ha? Harga diri kamu udah nggak ada waktu kamu sama si brengsek itu tidur bareng. Harusnya kamu nggak sebutin soal ini biar aku nggak ketawa, Nissa!” “Di sini, cuma harga diriku yang kamu injak. Aku ngerasa kayak pecundang di depan laki-laki brengsek itu karena dengan bangganya aku bilang kalau kamu itu pacar aku. Padahal, kamu itu udah bekasnya dia!” Hinaan demi hinaan kembali Nissa dengar, tapi entah mengapa bersamaan dengan hinaan yang Zaky lemparkan padanya, beban bersalah di pundaknya kian terangkat, “Udah cukup? Aku boleh pergi sekarang?” Zaky terkesiap. Ia tidak menyangka sikap Nissa akan berubah begitu cepat saat ini. Tatapan mata bersalah dari Nissa jelas berubah tajam hingga membuatnya tidak bisa menjawab. “Diam artinya setuju,” ucap Nissa, “Mulai sekarang kita nggak punya hubungan lagi selain partner kerja di rumah sakit yang sama. Soal bapak sama ibu kamu, tolong jelasin aja sejujurnya dan aku bakalan bilang ke ibu aku kalau kita batal nikah,” Tanpa menunggu jawaban Zaky yang masih tertegun kaget melihat sikap Nissa yang berubah, Nissa keluar dari kamar Zaky dan turun menuju dan masuk ke kamarnya sendiri. Nissa membaringkan tubuhnya dengan kasar di ranjang. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamarnya yang hening. Setiap momentum yang terjadi hari ini kembali muncul satu persatu di benaknya, dari mulai munculnya Dimas hingga terakhir pada hinaan yang Zaky beri padanya. “Memangnya kalau aku udah nggak suci lagi itu artinya aku nggak punya harga diri lagi, ya? Sampai dia bisa hina aku seenaknya tanpa mau dengerin penjelasan aku?” “Hei, Tuhan? Kenapa sih, hidup aku nggak pernah bahagia? Dari kecil sampai aku segede ini, memangnya aku nggak boleh ya, ngerasain yang namanya bahagia? Kalau gitu, kenapa aku terus dibiarin hidup? Kenapa nggak ditukar aja sama hidupnya Om Cahyadi waktu kecelakaan hari itu?” “Bukan nggak bersyukur sama hidup aku, tapi kalau terus-terusan diuji kayak gini, aku juga bakalan hancur. Aku nggak bisa terus jadi orang munafik yang jalan sambil tegakkin kepala seakan hidupku ini normal dan baik-baik aja, padahal enggak sama sekali,” “Aku capek, Tuhan. Capek banget...” Air mata Nissa sukses meleleh dari ujung matanya. Gumamannya pada Tuhan selalu membuatnya lemah. Hadirnya Adimas dalam hidupnya lagi sudah bisa dibayangkan olehnya kalau hari-hari ke depan tidak akan lebih buruk dari hari sebelumnya. Masalah yang mungkin ia hadapi seakan sudah berbaris rapi, menunggunya berdiri lelah di samping deretan masalah itu. Nissa menangis tanpa isak dan hening. Namun, keheningan itu berakhir ketika ponselnya yang berada di nakas berbunyi. Ia mengulurkan tangannya untuk meraih ponselnya dan langsung melihat siapa yang memanggil, berharap itu bukan Adimas lagi. “Arul? Ngapain telepon jam segini? Tumben,” gumamnya sebelum mengelap bekas air mata dan ingusnya. “Kenapa, Rul?” tanyanya singkat. “Mbak, ibu masuk rumah sakit. Jantung ibu kumat. Mbak datang ke sini sekarang, ya! Aku takut, Mbak!” *** Di lorong tunggu depan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Grand Healthy, duduk menunduk seorang pemuda yang hampir menginjak usia dua puluh tahun. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya kusut, terlihat juga ada bekas air mata yang mengering di wajahnya yang sedikit berdebu. “Arul?!” suara panggilan dari Nissa membuatnya mengangkat wajah. Ada sedikit rasa aman dan lega ketika Arul melihat kedatangan kakaknya. Ia langsung berdiri dan memeluk Nissa lalu mulai mengaduh. “Ibu di dalam?” “Iya Mbak, Ibu pingsan dan kata dokter jantungnya harus dioperasi. Aku takut banget, Kak. Kita harus ngapain?” Arul seperti pemuda cengeng di depan Nissa. Tangisan dan aduhan Arul membuat Nissa melemah, tapi ia harus kuat menopang kesedihan mereka karena ia adalah sulung di keluarga mereka.“Diem dulu, jangan sambil nangis gini ngomongnya. Mbak ikutan panik juga nanti,” Nissa mencoba menenangkan adiknya, “Ceritain dulu kenapa ibu bisa kena serangan jantung lagi?”“Aku juga nggak lihat langsung, Mbak. Aku ditelepon Bik Lina kalau ibu dibawa ke sini. Bik Lina bilang sebelum pingsan, ada tamu datang. Dia orang kaya, Mbak, dan Bik Lina lihat kalau ibu sempet ngusir orang itu sambil marah-marah. Tapi habis tamunya pergi, ibu langsung pingsan,”Cerita Arul bisa dimengerti oleh Nissa dengan baik. Seperti virus, di mata ibu mereka orang kaya adalah hal yang harus dibenci dan dijauhi. Tapi semua itu memiliki sebab yang memang menghancurkan sang ibu dan keluarga mereka.“Ya udah, mbak udah di sini. Mbak masuk dulu ke dalam buat ngomong sama dokter,” Nissa menjawab yakin dan mulai bangkit. Tapi Arul kembali menahan dengan tetap memegangi tangan kakaknya.“Kalau dokter bilang ibu harus dioperasi, duitnya dari mana, Mbak? Operasi jantung pasti mahal, kan? Dan kita nggak punya uang sebanyak itu. Tapi aku nggak mau ibu kenapa-kenapa. Udah cukup ayah yang pergi, aku nggak mau kalau ibu…”“Shhh… stop ngeluarin kata-kata nggak guna. Doain aja ibu lekas sehat. I
‘Ibu anda masih bisa diselamatkan tanpa harus menerima operasi. Tapi satu kali saja pasien menerima kejutan lagi yang mengakibatkan guncangan di hatinya, mungkin pasien tidak akan tertolong,’‘Anda seorang petugas kesehatan, kan? Tolong jaga kesehatan mentalnya juga selain kesehatan fisiknya. Usia ibu anda juga sangat rentan mengingat riwayat penyakit jantung yang sudah lama pasien derita,’Pesan dokter yang menangani ibunya terus terngiang di benak Nissa. Kini ia duduk termenung di sebuah café di depan rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tanpa memperdulikan sakit memar di pipinya, Nissa terus mengingat beberapa saat tadi setelah ia kembali menjenguk ibunya yang baru sadar dari pingsan.‘Kenapa kamu di sini? Pergi! Aku nggak sudi lihat muka kamu, tau! Arul, usir perempuan sial ini! Ibu nggak mau lihat dia di sini atau kamu mau lihat ibu jadi mayat!’‘Suruh dia balik sama laki-laki dari keluarga pembunuh ayah kamu aja. Jangan biarin dia dateng lihat ibu lagi, Arul! Ibu nyesal kenapa dul
“Sekalipun benar kalau kamu pulang untuk aku, tapi nyatanya kepulangan kamu buat aku hancur. Pernikahan aku batal dan ibu masuk rumah sakit. Aku tahu kalau ibu pasti habis ketemu kamu, kan?”“Mau kamu apa, sih? Kalau kamu berkeras cinta sama aku, tolong pergi aja. Dengan kamu pergi dan jauh dari aku, semua itu cukup buat aku bahagia!”Nissa bangkit dari tempat duduknya dan menatap Dimas sebelum pergi. Tersirat penyesalan ketika ia mengusir Dimas dari hidupnya dengan kalimat yang pastinya membuat Dimas sakit.‘Maaf, tapi aku harus buat kamu sakit dulu biar kamu pergi,’ batinnya yang ikut hancur dibawa pergi dari sana, meninggalkan Dimas yang hanya bisa tersenyum miris memandang Nissa.“Aku tahan kok, Nis. Mau kamu bilang kamu benci aku dan kamu ngusir aku, selangkah pun aku nggak bakalan pergi lagi. Aku akan tetap di sini dan jadikan kamu milik aku seutuhnya,”“Nggak ada yang bisa sakitin kamu lagi karena aku udah di sini, Nis… Dulu dan sekarang pun janji aku tetap sama. Aku bakalan bu
Nissa sampai di depan pos perawat di depan lorong Dahlia, ruang rawat ibunya. “Pagi, Mbak Nita… Saya mau tanya kondisi ibu saya yang dirawat di kamar Dahlia 4. Kata adik saya, ibu saya di off-kan besok. Itu benar, ya, Mbak?” Nissa bertanya ramah pada suster penjaga di sana. Kebetulan Nissa mengenal baik perawat di sana. Berada di satu rumah sakit dengan profesi yang sama membuat mereka harus saling mengenal, sekalipun mereka berada di departemen yang berbeda. “Iya, Mbak Nissa. Dokter udah kasih izin buat pulangin ibunya Mbak Nissa besok. Tapi dokter masih harus lihat kondisi pasien seharian ini, Mbak. Kalau belum, nanti dokter bakalan konfirmasi lagi. Tapi kalau ibunya Mbak Nissa udah pulih benar, besok pasti pulang, kok,” “Mbak Nissa konfirmasi aja dulu ke bagian RRI (Ruang Registrasi Informasi) buat selesaikan tagihannya. Biar cepet, Mbak, soalnya bagian RRI bilang banyak pasien baru masuk tapi harus di-hold karena ruangan penuh,” Suster Nita menjelaskan dengan jelas pada Nissa.
“Kenapa kamu bilang kalau saya sedang rapat? Kenapa nggak kasih ke saya aja?” Adimas sejenak mengalihkan tatapannya dari ponsel ke Akmal dengan kesal. Kalau saja tadi Akmal dengan cepat memberitahukan padanya kalau Nissa menelepon, pasti situasinya tidak akan sekesal ini. “Mulai sekarang, kalau nomor ini telepon lagi. Langsung kasih ke saya handphonenya, ya!” Dimas memperingati Akmal yang sudah ketakutan. “Rapat saya bubarkan,” ucap Dimas sebelum bangkit dan melangkah meninggalkan ruang rapat. Perangai Dimas yang berubah drastis jelas membuat semua orang bertanya-tanya. Terlebih ia juga tidak memandang siapa pun saat keluar. Pandangannya hanya tertuju pada layar ponselnya saja. Setelah Dimas keluar, seketika atmosfer di ruang rapat berubah seperti pasar. Beberapa dari mereka langsung bertukar pertanyaan, dan beberapa manager langsung berebut mendekati Akmal. “Pak Akmal, ini gimana, sih?” “Pak Wakil Presdir kenapa coba? Dia marah-marah dari kemarin tapi masa cuma karena satu tele
Nissa seharian tertidur di kamarnya. Ia membawa semua masalah hidupnya dengan tidur dan terbangun pukul sembilan malam. Ia bahkan tidak tahu kepulangan Zaky bersama Dasma karena ketika ia membuka mata, tidak ada suara apapun dan yang terlihat hanya mobil Zaky yang berada di parkiran. Ia juga mengira kalau Zaky pasti sudah tertidur pulas pada jam itu. Nissa ingin berangkat awal karena harus menemui Arul untuk menanyakan kondisi ibunya. Ia berangkat ke rumah sakit menggunakan ojek online hingga tiba di pelataran parkir rumah sakit. Nissa tidak menyadari kalau kedatangannya di sana sejak memasuki gerbang besar rumah sakit, sudah menjadi tujuan utama sepasang mata yang memandangnya hangat. “Nis?” Langkah Nissa terhenti karena panggilan di belakangnya. Itu adalah Dimas. Awalnya Nissa ingin terus melangkah, tapi ingatannya tentang biaya rumah sakit sang ibu membuatnya berbalik mendekati Dimas. “Kamu telepon aku tadi pagi?” Dimas bertanya. “Hmm, iya. Kebetulan banget kamu di sini,” uca
Kecelakaan Arul “Mbak tau sendiri kalau malam ibu suka ke kamar mandi. Bakalan repot kalau bawa tiang botol infus kalau nggak ada yang pegangin ibu,” “Lah, kan ada suster? Minta tolong aja gih! Suster itu memang tugasnya bantuin ngerawat pasien. Lagian kamu yakin banget kalau mbak bakalan nggak diusir ibu. Gimana kalau pas lihat mbak, ibu malah marah lagi? Bisa batal pulang besok jadinya!” Nissa menjawab dengan hal yang masuk akal. “Kalau aku bilang dan pamit ke ibu kalau aku mau ambil buku buat ujian, pasti ibu bakalan suruh aku pulang aja buat belajar di rumah. Terus nanti jawabnya sama yang baru Mbak bilang kalau ibu bakalan minta tolong ke suster,” “Mbak kayak nggak tau ibu itu gimana. Aku jamin dua ribu persen kalau ibu nggak bakalan panggil suster dan ngelakuin semuanya sendirian malam-malam gini, dan nggak tidur sampai pagi. Habis itu tekanan darah ibu bisa naik karena kurang tidur. Jadinya, besok batal pulang. Mbak nggak ngerasa alasan aku masuk akal?” “Bener juga, sih…”
“Baik, Dokter, terima kasih atas nasihatnya. Saya ke departemen saya dulu buat ngurus surat izin cuti. Habis itu saya ke ruangan ibu saya,” Nissa menjawab setuju. Ia juga berterima kasih atas bantuan Fandy pada ibunya dan Arul.“Ya, itu baru Nissa yang saya kenal. Kamu nggak usah ke sini lagi tengah malam nanti buat ngecek keadaan adik kamu. Lagian di dalam udah banyak orang, kan? Adik kamu juga nggak boleh dijenguk dulu. Masih dalam pantauan intens kami, jadi kamu tenang aja sambil rawat ibu kamu. Saya masuk dulu, ya. Sampai jumpa besok!”Dokter Fandy kembali masuk ke pintu menuju ruang operasi dengan senyuman yang tidak lekang untuk Nissa.Ya, itu bukan tanpa alasan karena dokter muda itu memiliki perasaan lebih untuk Nissa. Terlebih setelah ia mendengar isu yang tersebar di rumah sakit kalau Nissa dan Zaky sudah putus, dan Zaky sudah semakin intens menunjukkan kedekatannya dengan Dasma. Itu mem