Share

Ibu Masuk Rumah Sakit

“Sumpah, ya, Nis... Aku ini cinta banget sama kamu. Bahkan setelah tadi si brengsek itu bilang kalau dia yang dapetin kesucian kamu ke aku, aku masih berusaha tahan emosi aku dan bakalan dengerin penjelasan kamu. Aku udah cukup sabar tekan ego aku yang nolak kalau kamu itu bekasnya dia. Itu semua karena aku sayang sama kamu,”

 

Semua ucapan Zaky yang meremehkannya itu membuat Nissa terdiam. Ia tidak menyangka kalau laki-laki baik yang ia kenal selama ini bisa mengatakan hal semenyakitkan itu.

 

“Jadi, patokannya cinta dan ketulusannya aku sama hubungan kita cuma dari mau enggaknya aku buka baju di depan kamu? Mau enggaknya aku tidur sama kamu sebelum kita nikah? Itu yang ada di pikiran kamu?” tanyanya tidak percaya.

 

“Sebenarnya enggak, tapi kamu yang buat aku tekanin hal itu sama kamu. Lagian alasan buat kamu nolak tidur bareng aku itu apa? Toh, kamu kan udah bekasnya si brengsek itu. Apa lagi yang harus kamu tutupin sama aku?” lagi-lagi Zaky memperjelas isi kepalanya pada Nissa.

 

Nissa berdiri. Ia kecewa pada Zaky yang menjadi tidak waras seperti itu. Tapi ia juga tidak bisa menjawab lebih karena posisinya yang salah. Jadi Nissa hanya diam dan ingin beranjak dari sana, memutuskan untuk memberi waktu lagi pada hubungan yang bergejolak saat ini.

 

"Kalau kamu keluar dari kamarku tanpa jawaban apa pun, aku anggap kamu memang nggak mau lagi pertahanin hubungan kita, Nis!” Zaky mengancam sambil menunjukkan senyuman yang terangkat miring. Ia merasa memiliki kuasa atas keputusan dan tubuh Nissa yang sudah tersudutkan.

 

Nissa berbalik dengan tatapan yang lebih tercengang, “Kamu serius sama yang kamu bilang barusan?”

 

“Hmm, lebih dari apa pun. Aku udah cukup jadi laki-laki bodoh yang harus nungguin pacar aku yang sok suci tapi nyatanya udah bekas orang lain,”

 

“Aku juga kasih tantangan sama kamu biar aku percaya, kalau kamu memang serius sama aku dan hubungan kita yang hampir nikah ini. Jadi, kamu harusnya sadar kalau posisi kamu itu salah dan aku korbannya. Kalau kamu ngaku salah, kamu nggak pantes nolak permintaan aku!”

 

Nissa memijit dahinya yang sakit sebelum kembali menoleh pada Zaky, “Kalau yang kamu mau memang kayak gitu, aku juga udah punya jawabanku sendiri,”

 

“Kalau kamu memang nggak percaya sama aku dan nggak bisa terima kalau aku nggak bisa tidur sama kamu sebelum kita nikah, maaf Zaky. Aku lebih milih kita bubar aja,”

 

“Aku nggak bisa ngelanjutin hubungan sama laki-laki yang nggak bisa percaya dan nggak bisa hormati harga diri aku,”

 

“Harga diri? Nggak salah kamu ngomong? Harga diri siapa yang kamu sebutin, ha? Harga diri kamu udah nggak ada waktu kamu sama si brengsek itu tidur bareng. Harusnya kamu nggak sebutin soal ini biar aku nggak ketawa, Nissa!”

 

“Di sini, cuma harga diriku yang kamu injak. Aku ngerasa kayak pecundang di depan laki-laki brengsek itu karena dengan bangganya aku bilang kalau kamu itu pacar aku. Padahal, kamu itu udah bekasnya dia!”

 

Hinaan demi hinaan kembali Nissa dengar, tapi entah mengapa bersamaan dengan hinaan yang Zaky lemparkan padanya, beban bersalah di pundaknya kian terangkat, “Udah cukup? Aku boleh pergi sekarang?”

 

Zaky terkesiap. Ia tidak menyangka sikap Nissa akan berubah begitu cepat saat ini. Tatapan mata bersalah dari Nissa jelas berubah tajam hingga membuatnya tidak bisa menjawab.

 

“Diam artinya setuju,” ucap Nissa, “Mulai sekarang kita nggak punya hubungan lagi selain partner kerja di rumah sakit yang sama. Soal bapak sama ibu kamu, tolong jelasin aja sejujurnya dan aku bakalan bilang ke ibu aku kalau kita batal nikah,”

 

Tanpa menunggu jawaban Zaky yang masih tertegun kaget melihat sikap Nissa yang berubah, Nissa keluar dari kamar Zaky dan turun menuju dan masuk ke kamarnya sendiri.

 

Nissa membaringkan tubuhnya dengan kasar di ranjang. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamarnya yang hening. Setiap momentum yang terjadi hari ini kembali muncul satu persatu di benaknya, dari mulai munculnya Dimas hingga terakhir pada hinaan yang Zaky beri padanya.

 

“Memangnya kalau aku udah nggak suci lagi itu artinya aku nggak punya harga diri lagi, ya? Sampai dia bisa hina aku seenaknya tanpa mau dengerin penjelasan aku?”

 

“Hei, Tuhan? Kenapa sih, hidup aku nggak pernah bahagia? Dari kecil sampai aku segede ini, memangnya aku nggak boleh ya, ngerasain yang namanya bahagia? Kalau gitu, kenapa aku terus dibiarin hidup? Kenapa nggak ditukar aja sama hidupnya Om Cahyadi waktu kecelakaan hari itu?”

 

“Bukan nggak bersyukur sama hidup aku, tapi kalau terus-terusan diuji kayak gini, aku juga bakalan hancur. Aku nggak bisa terus jadi orang munafik yang jalan sambil tegakkin kepala seakan hidupku ini normal dan baik-baik aja, padahal enggak sama sekali,”

 

“Aku capek, Tuhan. Capek banget...”

 

Air mata Nissa sukses meleleh dari ujung matanya. Gumamannya pada Tuhan selalu membuatnya lemah. Hadirnya Adimas dalam hidupnya lagi sudah bisa dibayangkan olehnya kalau hari-hari ke depan tidak akan lebih buruk dari hari sebelumnya.

 

Masalah yang mungkin ia hadapi seakan sudah berbaris rapi, menunggunya berdiri lelah di samping deretan masalah itu. Nissa menangis tanpa isak dan hening.

 

Namun, keheningan itu berakhir ketika ponselnya yang berada di nakas berbunyi. Ia mengulurkan tangannya untuk meraih ponselnya dan langsung melihat siapa yang memanggil, berharap itu bukan Adimas lagi.

 

“Arul? Ngapain telepon jam segini? Tumben,” gumamnya sebelum mengelap bekas air mata dan ingusnya.

 

“Kenapa, Rul?” tanyanya singkat.

 

“Mbak, ibu masuk rumah sakit. Jantung ibu kumat. Mbak datang ke sini sekarang, ya! Aku takut, Mbak!”

 

***

 

Di lorong tunggu depan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Grand Healthy, duduk menunduk seorang pemuda yang hampir menginjak usia dua puluh tahun. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya kusut, terlihat juga ada bekas air mata yang mengering di wajahnya yang sedikit berdebu.

 

“Arul?!” suara panggilan dari Nissa membuatnya mengangkat wajah. Ada sedikit rasa aman dan lega ketika Arul melihat kedatangan kakaknya. Ia langsung berdiri dan memeluk Nissa lalu mulai mengaduh.

 

“Ibu di dalam?”

 

“Iya Mbak, Ibu pingsan dan kata dokter jantungnya harus dioperasi. Aku takut banget, Kak. Kita harus ngapain?” Arul seperti pemuda cengeng di depan Nissa.

 

Tangisan dan aduhan Arul membuat Nissa melemah, tapi ia harus kuat menopang kesedihan mereka karena ia adalah sulung di keluarga mereka.

“Diem dulu, jangan sambil nangis gini ngomongnya. Mbak ikutan panik juga nanti,” Nissa mencoba menenangkan adiknya, “Ceritain dulu kenapa ibu bisa kena serangan jantung lagi?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status