Share

7 Tamu tidak Istimewa

Penulis: Setia_AM
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-05 21:57:47

“Nggak bakalan,” jawab Deo sambil menggelengkan kepalanya. “Gue bisa tidur di lantai.”

Veren terdiam.

“Ya udah, ini bantal buat lo.” Cewek itu mengulurkan satu buah bantal kepada Deo. “Lo ada selimut cadangan, kan?”

“Ada. Entar biar gue ambil sendiri selimut sama bantalnya,” kata Deo. “Gue masih mau ngopi sambil nonton tivi.”

“Kalo gitu gue tidur duluan, ya?” pamit Veren. “Gue ngantuk.”

“Iya, duluan aja.” Deo mengangguk.

Veren merebahkan tubuhnya ke kasur, sementara Deo membuka pintu kamarnya dan turun ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi.

Deo sedang menuang sebungkus kopi instan ke dalam cangkirnya ketika seseorang mendadak masuk ke dapur. Dia nyaris menjatuhkan cangkirnya ketika orang itu menepuk bahunya keras-keras.

“Mentang-mentang mau malam pertama, terus bikin kopi biar kuat begadang ...” kata Gennaro dengan suara pelan, namun menusuk sampai ke telinga Deo yang paling dalam.

“Kak Aro, bikin jantungan aja!” Deo mengelus-elus dadanya. “Veren udah tidur duluan kok.”

“Lah, nggak seru,” kata Gennaro datar. “Masa malam pertama udah ditinggal tidur duluan.”

“Biar ajalah,” sahut Deo sambil mengucurkan air panas dari dispenser ke dalam cangkirnya. “Kakak kalo mau malam pertama kan bisa praktek sendiri sama kakak ipar.”

“Ngawur kamu, belum sah.”

“Emang kapan sih akad nikahnya?” tanya Deo sambil mengaduk kopi. “Perasaan kemarin udah lamaran, kan?”

“Iya, tapi akadnya masih enam bulan lagi.” Gennaro menjelaskan sambil membuka lemari makanan. “Persiapannya kan udah mateng. Nggak kayak kamu yang belum mateng tapi udah kebelet kawin aja.”

Tanpa menunggu jawaban apa-apa dari Deo, Gennaro langsung pergi begitu saja setelah mengambil sebungkus besar kacang atom favoritnya.

***

Pagi menjelang, mama kaget sekali saat menemukan Deo tidur di depan tivi yang masih menyala. Cepat-cepat dibangunkannya anak bungsunya itu.

“Yo, bangun! Kamu ngapain tidur di sini, sih?” seru mama sambil mengguncang-guncang bahu Deo. “Kamu kenapa nggak sekamar sama Veren?”

Deo membuka sebelah matanya.

“Udah pagi, ya?” gumamnya pelan. “Perasaan baru merem bentar nih mata ...”

“Deo, banguuuunnn!” panggil mama keras-keras.

Deo tersentak kaget, dan langsung terduduk di tempatnya. Kepalanya masih oleng ke kanan dan ke kiri, seolah nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.

“Yo, udah sadar belum?” Mama mengibaskan tangannya di depan muka Deo yang kusut. “Kok kamu malah tidur di sini? Kalo Veren nyariin kamu gimana?”

Deo merenggangkan kedua tangannya tinggi-tinggi.

“Aku ketiduran, Ma. Tenang aja, dia nggak bakal nyariin aku. Kayak kita nikah karena keinginan sendiri aja,” komentar Deo. “Orang kita nikahnya kepaksa ...”

“Ya udah sana, balik kamar.” Mama menyuruh. “Pamali tau, suami isteri kok tidurnya sendiri-sendiri.”

Deo bangkit berdiri dan berjalan ke kamarnya.

Saat dia baru membuka pintu dan kepalanya baru nongol setengah, sebuah bantal melayang mulus ke wajahnya, hasil lemparan sempurna dari Veren.

“Apa-apaan lo?” protes Deo yang matanya langsung melek selebar-lebarnya.

“Ketok dulu kalo mau masuk!” serunya jengkel. “Gue lagi ganti baju nih, untung udah selesai.”

“Lagian kenapa lo nggak ganti baju di toilet, sih?” protes Deo sambil menerobos masuk kamar. “Napa juga nggak lo kunciin pintunya sekalian ....”

“Woy, masih pagi buta lho ini!” terdengar suara Gennaro berteriak dari kamar sebelah. “Pengantin baru kok nggak ada romantis-romantisnya, ribut terus perasaan ...”

Deo buru-buru menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

“Kakak lo galak amat, njiiirrr ...” komentar Veren dengan suara rendah.

“Makanya jaga tingkah kalo sama Kak Aro,” sahut Deo sambil melenggang ke toilet. “Orangnya sih pendiem, tapi sekalinya ngomong, nyelekitnya bisa sampe akhirat.”

Veren manggut-manggut mengerti. Sesaat kemudian Deo keluar lagi sambil bertelanjang dada, dan cewek itu auto berteriak untuk menyuruhnya masuk kembali ke toilet.

Gennaro yang masih tidur buru-buru menyumpal sebelah telinganya dengan bantal guna meredam keributan dari kamar sebelah.

***

Deo dan Veren masih bertahan di dalam kamar, namun mereka berdua duduk berjauhan.

“Lo ngampus hari ini?” tanya Deo.

“Harusnya sih iya,” jawab Veren sambil mengangguk. “Elo sendiri?”

“Sama, gue kan baru awal-awal kuliah. Umur lo belom nyampe dua puluh berarti?”

“Ya belomlah,” ujar Veren. “Elo sendiri masih piyik keknya ... Terus gimana, lo mau ngampus?”

“Tau deh, rasanya lagi males aja menghadapi kenyataan.” Deo setengah melamun. “Belom lagi kalo ada orang yang nanya-nanya soal pernikahan gue yang dadakan ini. Kira-kira gue mesti jawab apa?”

Veren menghela napas berat.

“Gue juga baru kepikiran,” ujarnya lambat-lambat. “Rasanya jadi takut mau keluar rumah. Tapi kalo kita di kamar terus kek gini, entar dikira kita lagi macem-macem ...”

“Orang kita udah sah jadi suami isteri, mau dikira macem-macem di kamar ya udah sewajarnya,” tukas Deo. “Lagian kita kan udah dianggep macem-macem sama warga sejak kegap molor di pos ronda.”

Melihat tampang Deo yang suram, Veren ikut terbawa suasana.

“Ya udahlah, dihadepin aja. Bukannya elo sendiri pernah bilang kalo harus ngadepin kenyataan?” tutur Veren mencoba bijak. “Bikin sarapan, yuk?”

“Lo bikin aja buat lo sendiri, bebas lah mau ngapa-ngapain.” Deo mempersilakan.

“Kok gitu? Kita kan mesti akting dikit, seenggaknya di depan ortu lah. Pura-pura sarapan bareng bisa jadi awal yang bagus buat sandiwara ini,” ujar Veren lagi.

“Daripada entar ditanya-tanyain segala macem ...”

Deo teringat reaksi mamanya yang kelabakan hanya karena semalam dia tidur terpisah dengan Veren. Dia harus menunjukkan bahwa kejadian itu adalah murni ketidaksengajaan.

“Ya udah, kita turun kalo gitu,” kata Deo akhirnya.

“Bentar, gue buka dulu jendela kamar lo biar segeran dikit.” Veren berdiri dan membuka jendela kamar Deo lebar-lebar. “Eh, ada tamu keknya.”

“Siapa, Ver?” tanya Deo sambil lalu.

“Cewek, anak kuliahan juga kelihatannya.” Veren menjawab.

Deo sudah bisa menebak siapa tamu tidak istimewa itu.

“Oh, pasti si Freya. Calon kakak ipar gue,” katanya.

“Mantan lo dong itu?” komentar Veren.

“Iya. Duh, tambah males turun gue kalo kek gini ...” keluh Deo.

Veren memandang suami sementaranya itu dengan agak iba. Dia teringat saat Deo menyelamatkan nyawanya walaupun mereka tidak saling kenal. Dan kali ini, Veren ingin melakukan sesuatu sekadar untuk menghibur patah hati Deo.

“Jangan gitu lah, Yo. Bukannya elo sendiri yang bilang kalo kita harus nunjukkin ke mantan kalo kita bisa hidup lebih baik tanpa dia?” kata Veren bersemangat. “Dia mutusin elo buat nikah sama orang lain, kan? Lo tunjukkin dong kalo elo udah duluan nikah dan elo hepi-hepi aja. Yaahh, biarpun nikah sementara doang sih ...”

Deo diam berpikir.

“Lo bener juga. Tumben banget lo encer gini?” komentarnya sambil memandang Veren. “Lagi diare lo?”

Veren nyengir.

“Bisa aja lo, kaleng rengginang!”

“Oke deh, yuk akting dikit. Gue pinjem tangan lo ya entar?” kata Deo sambil berjalan keluar kamar.

Bersambung—

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantanku, Kakak Iparku    99 Izinkan Aku Menjadi Istri Suamimu

    Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit

  • Mantanku, Kakak Iparku    98 Dikira Kumpul Kebo

    Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren

  • Mantanku, Kakak Iparku    97 Anggap Saja Malam Pertama

    “Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad

  • Mantanku, Kakak Iparku    96 Fokus sama Hubungan Kita

    “Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu

  • Mantanku, Kakak Iparku    95 Kecoa Membawa Berkah (2)

    “Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang

  • Mantanku, Kakak Iparku    94 Kecoa Membawa Berkah

    “Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status