Share

6

Author: Akina
last update Last Updated: 2025-01-17 09:21:41

POV Livia

Ketika pagi tiba, sinar matahari menyelinap masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola cahaya di lantai. Aku terbangun dengan rasa berat di dada, memikirkan semua yang harus kuhadapi. 

Tangan ini, yang masih menggenggam gelang dari Adrian, terasa seolah mengingatkan aku pada dua dunia yang berbeda: satu yang penuh harapan dan cinta, dan satu lagi yang terjebak dalam kewajiban dan rasa bersalah.

Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Mungkin berkumpul dengan teman-teman bisa sedikit mengalihkan pikiranku. Namun, setiap langkah menuju kelas terasa berat, seperti ada beban yang semakin menumpuk di pundakku.

Di kantor, aku bertemu dengan Maya, sahabatku. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres. 

"Livia, kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanyanya.

Aku menghela napas, "Aku bingung, Maya. Tentang Adrian dan keluargaku... semuanya terasa begitu rumit."

Maya mengangguk, matanya penuh pengertian. "Kau tidak perlu melakukan semua ini sendirian. Bicaralah padaku, apa pun yang kau rasakan."

Aku menceritakan segalanya—dari tekanan yang kuhadapi di rumah hingga perasaanku terhadap Adrian. Saat aku berbicara, aku merasakan beban itu sedikit berkurang. 

"Tapi, apa yang harus aku lakukan? Ibu mengandalkanku, dan aku merasa terjebak."

Maya memberikan senyuman lembut. "Terkadang, kita perlu mengambil langkah mundur untuk melihat gambaran yang lebih besar. Cinta bukan hanya tentang tanggung jawab, Livia. Ini juga tentang kebahagiaanmu."

Kata-katanya membuatku berpikir. Selama ini, aku terlalu fokus pada harapan dan beban yang diberikan orang lain, sehingga aku lupa untuk mempertimbangkan diriku sendiri. Apakah aku benar-benar mencintai Adrian, atau akukah yang mencintai ide tentang apa yang bisa dia lakukan untuk keluargaku?

Satu jam kemudian Adrian datang dan tanpa menyapa ku. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami. Jujur karena dia sudah membaca obrolan ku dengan ibuku kalau mendekat Adrian hanya lah sebuah bagian dari rencana. Tapi itu bukan lah rencana ku.

Sebagai sekretaris seorang CEO tentu saja aku harus menjaga profesionalitas saat di kantor. Jadi aku pun harus bisa menjaga bicara ku saat berada di kantor. Aku tak mau ada kesalahan. 

Aku harus masuk ke ruang Adrian karena ada yang perlu ku sampaikan. 

“Permisi, Pak. Ada yang perlu kamu tanda tangani,” kata ku.

Wajah Adrian masih dingin.

Adrian menatapku tanpa berbicara, dan aku merasakan jantungku berdebar kencang. Meskipun kami berada di lingkungan kerja, suasana antara kami terasa sangat pribadi, sangat emosional. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri dan tetap fokus pada tugas yang ada.

“Ini dokumen untuk proyek yang akan dimulai minggu depan,” lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap profesional.

 “Jika tidak ada yang perlu dibahas, saya bisa menunggu di sini.”

Dia mengangguk pelan, lalu mengambil dokumen yang kuajukan. Namun, sebelum menandatangani, dia menatapku dengan tajam.

 “Livia, kita perlu bicara,” katanya, suaranya lebih lembut dibanding sebelumnya, meski masih ada nada tegas.

Aku merasa terjebak antara profesionalisme dan rasa ingin tahuku. “Tentu, Pak. Tapi kita bisa membicarakannya setelah jam kerja, jika itu lebih baik.”

Dia menghela napas, tampak frustrasi. “Tidak, ini tidak bisa ditunda. Aku tidak suka suasana seperti ini. Kita harus menyelesaikan ini sekarang.”

Kata-katanya membuatku merasa terdesak. Aku tahu bahwa ketegangan di antara kami tidak bisa diabaikan lebih lama lagi. 

“Baiklah, kalau begitu. Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku, berusaha terdengar tenang.

Adrian menatapku dalam-dalam. “Aku tahu tentang percakapanmu dengan ibumu. Aku tidak ingin menjadi bagian dari rencananya, Livia. Aku ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyukaimu, bukan hanya sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.”

Aku merasakan hatiku bergetar.

 “Adrian, aku juga menyukaimu. Tapi aku merasa tertekan dengan semua ini. Aku tidak ingin hubungan kita hanya berdasarkan harapan dan kewajiban.”

Dia mengangguk, seolah memahami. 

“Livia, aku bukan orang yang ingin kau andalkan hanya karena situasi keluargamu. Aku ingin kita saling mendukung, tetapi bukan dengan cara yang membuatmu merasa terjebak.”

Kata-katanya menyentuh inti perasaanku. 

“Aku menghargai itu, Adrian. Tapi aku juga harus menjaga profesionalisme di sini. Kita tidak bisa membiarkan perasaan kita mempengaruhi pekerjaan.”

Adrian tersenyum sedikit, meski ada kesedihan di matanya. 

“Aku mengerti. Tapi aku tidak ingin kita terus terjebak dalam ketegangan ini. Kita harus bisa berbicara dengan jujur, baik di kantor maupun di luar.”

Aku mengangguk perlahan, menyadari bahwa kami perlu menemukan cara untuk berdamai dengan situasi ini. 

“Baiklah, mari kita coba untuk berbicara lebih terbuka. Tapi setelah jam kerja, kita perlu menetapkan batasan agar semuanya tetap profesional.”

Dia mengangkat alisnya, seolah terkejut dengan keputusanku. “Kau serius? Kita bisa melakukannya?”

“Ya, ini penting. Kita harus bisa memisahkan antara pekerjaan dan perasaan pribadi,” jawabku, merasa lebih yakin.

Setelah beberapa saat, dia tersenyum. “Baiklah, aku setuju. Tapi ingat, aku akan menunggu untuk bisa berbicara lebih banyak tentang kita.”

Aku merasa lega mendengar itu. Meskipun situasi kami rumit, ada harapan untuk memperbaikinya. “Terima kasih, Adrian. Aku menghargai pengertianmu.”

Dengan satu senyuman terakhir, dia kembali fokus pada dokumen yang ada di mejanya. Aku keluar dari ruangan, merasa sedikit lebih ringan. 

Aku kembali fokus kerja. Apa yang dikatakan oleh Adrian barusan? Aku merasa tak percaya. Jadi mulai sekarang hubungan ku dengan Adrian sudah membaik dan dia tak mempermasalahkan tentang obrolan ku dengan ibuku? Ku rasa seperti itu. 

Perasaan lega mengalir dalam diriku saat aku kembali ke meja kerjaku. Meskipun ketegangan sebelumnya masih membekas, ada rasa harapan yang baru. Seolah-olah sebuah jendela baru terbuka, memberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami.

Selama beberapa jam ke depan, aku mencoba untuk fokus pada tugas-tugas di kantorku. Namun, pikiranku terus kembali pada Adrian. Bagaimana jika ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik? Mungkin kami bisa mengatasi semua kesulitan ini bersama-sama.

Saat jam makan siang tiba, aku memutuskan untuk pergi ke kafe terdekat. Aku butuh waktu untuk merenung dan menenangkan pikiran. Di kafe, sambil menikmati secangkir kopi, aku mengambil ponsel dan membuka pesan dari Maya. 

"Bagaimana dengan Adrian? Apakah kalian sudah bicara?" tulisnya.

Aku membalas dengan cepat, "Ya, kami sudah bicara. Rasanya lebih baik. Dia tidak mempermasalahkan obrolanku dengan ibuku."

Tak lama kemudian, Maya membalas, "Itu kabar baik! Jangan ragu untuk berbagi perasaanmu, Livia. Ini penting."

Pesan itu mengingatkanku pada apa yang harus kulakukan. Mungkin aku perlu lebih terbuka kepada Adrian tentang apa yang aku rasakan dan harapanku untuk hubungan kami.

Setelah kembali ke kantor, aku merasa lebih bersemangat. Ketika Adrian keluar dari ruangannya, aku menghampirinya. “Adrian, bisa kita bicara sebentar setelah kerja?”

Dia menatapku dengan penuh minat. “Tentu, aku akan menunggu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantanku Kembali   75

    POV Adrian Hari itu, waktu terasa lambat. Setiap jam berjalan seakan tiga kali lebih lama. Tapi saat akhirnya matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon memanjang ke jalan, aku kembali ke taman. Duduk di bangku yang sama, mengenakan kemeja bersih yang sudah lama tak kupakai.Tak lama kemudian, Livia muncul dari kejauhan. Ia mengenakan sweater abu-abu dan celana panjang sederhana. Rambutnya dikepang longgar. Ia tampak… lebih kuat dari yang kuingat.Ia duduk di sampingku. Tidak terlalu dekat, tapi tidak sejauh dulu saat pertama kali kami bertemu kembali.“Aku baca suratmu,” katanya, membuka percakapan. “Aku butuh beberapa hari buat mencernanya.”Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti.”“Aku nggak akan bertanya kenapa kamu kembali sekarang. Karena aku tahu, setiap orang punya waktunya sendiri untuk berani.”Aku menoleh padanya. “Terima kasih karena mau bicara lagi.”Ia menghela napas. “Aku bukan lagi Livia yang dulu, Adrian. Luka itu mengubahku. Tapi aku juga nggak bisa mengingkari

  • Mantanku Kembali   74

    POV AdrianSudah berapa lama aku menghilang? Enam bulan? Mungkin lebih. Aku sendiri berhenti menghitung sejak hari aku meninggalkan semuanya—meninggalkan Livia.Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut. Takut menghadapi diriku sendiri, takut menghadapi luka yang kubuat, dan lebih dari itu… takut bahwa aku bukan lagi pria yang pantas berdiri di sampingnya.Aku pernah jadi segalanya untuk Livia. Suaminya, tempat pulangnya, orang yang berjanji untuk selalu tinggal. Tapi aku gagal. Aku tak sanggup menahan badai di dalam pikiranku sendiri. Saat kenyataan menghantam lebih keras daripada yang bisa kutanggung, aku memilih pergi. Diam-diam. Tanpa pesan. Tanpa pamit.Aku tahu itu salah. Tapi pada saat itu, kepergian terasa seperti satu-satunya pilihan agar dia tak ikut hancur bersamaku.Sekarang setelah berbulan-bulan hidup dalam bayang-bayang, aku kembali berdiri di ambang pintu itu—pintu rumah yang dulu kami cat bersama, rumah tempat setiap sudutnya menyimpan sisa cinta yang kubuang sia-

  • Mantanku Kembali   73

    POV Livia Aku menutup surat itu. Kutatap keluar jendela. Jalan setapak yang mengarah ke gerbang masih terlihat sepi. Tapi aku tahu, waktu tak akan menungguku. Aku harus melanjutkan langkah, apa pun bentuknya.Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu selalu menenangkanku: taman kecil di sisi bukit, tempat ibu sering membawaku saat aku kecil. Kubiarkan angin pagi menyentuh wajahku saat aku berjalan kaki ke sana. Tak ada yang istimewa dari taman itu, hanya ada ayunan tua, pohon yang sama sejak aku masih remaja, dan bangku kayu yang sudah mulai lapuk. Tapi semua itu menenangkan.Aku duduk di bangku itu cukup lama. Mengamati daun-daun yang jatuh, mendengar desir angin, dan mencoba menenangkan pikiranku. Tapi pikiranku terus kembali pada satu hal—bahwa akhir dari perjalanan ini sudah dekat. Dan aku belum siap.Bukan karena aku takut kehilangan. Aku sudah kehilangan banyak. Tapi karena aku takut lupa cara untuk hidup. Hidup yang benar-benar hidup, bukan hanya bertahan.Tiba-t

  • Mantanku Kembali   72

    POV Livia Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku membuka galeri ponsel, mencari foto kami—aku dan Adrian—saat tertawa di kafe, saat jalan-jalan ke pantai, saat dia memelukku dari belakang dengan senyum paling hangat yang pernah aku kenal. Setiap foto terasa seperti bayangan samar dari kehidupan yang entah kapan akan kembali.Jari-jariku berhenti di satu pesan terakhir darinya. "Aku mau bicara. Nanti malam aku ke rumah ya."Itu adalah pesan terakhir yang aku terima darinya. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi.Aku mulai menulis di buku harianku malam itu. Sudah lama aku tidak menulis, sejak semua ini terjadi. Tapi rasanya, malam itu, aku butuh menyampaikan sesuatu—entah pada siapa.28 Juli. Hari ke-22 tanpa kabar.Aku tidak tahu harus menunggu atau melepaskan.Kadang aku yakin dia punya alasan. Kadang aku ingin memarahinya. Kadang aku hanya ingin memeluknya dan bilang semuanya akan baik-baik saja.Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apakah dia masih menganggapku seseorang yang pent

  • Mantanku Kembali   71

    POV Livia Suatu sore, saat cahaya dari jendela menyelinap pelan ke dalam ruangan, aku memberanikan diri untuk duduk lebih tegak. Lututku masih nyeri, tapi tidak separah sebelumnya. Ibu membantuku menyesuaikan bantal, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih kuat."Sudah jauh lebih baik hari ini," kata Ibu sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya, meski tak sepenuhnya yakin. "Aku takut berharap terlalu cepat.""Tak apa-apa takut," katanya. "Tapi jangan berhenti bergerak hanya karena rasa takut."Kata-kata itu membekas. Di tengah rasa sakit dan rindu yang belum terjawab, aku mulai belajar untuk menoleransi ketidakpastian. Aku mulai memahami bahwa mungkin—hanya mungkin—tidak semua hal harus segera terjawab. Termasuk pertanyaanku tentang Adrian.Apakah dia sengaja menjauh? Atau sedang dalam masalah? Atau hanya... tidak cukup peduli?Pikiran itu datang dan pergi seperti kabut yang naik turun di pegunungan. Aku menolaknya, tapi kadang-kadang ia menetap lebih lama dari yang kuhar

  • Mantanku Kembali   70

    POV Livia Aku menutup jurnal dengan pelan. Jantungku masih berat, tapi setidaknya aku jujur pada diri sendiri.Malam turun. Lampu-lampu kota terlihat samar dari balik jendela rumah sakit. Maya sudah pulang, dan Ibu tertidur di sofa kecil dekat pintu.Aku membuka kembali ponselku.Masih tidak aktif.Aku menutup mata dan menghembuskan napas panjang. “Tuhan, aku hanya ingin tahu... apakah dia baik-baik saja?”Tak ada jawaban. Tapi ada ketenangan aneh yang datang. Mungkin karena aku tahu, besok kami akan mulai mencari. Mungkin karena aku tahu, aku tidak sendirian.***Keesokan paginya, Maya datang lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan jaket denim dan sepatu kets, matanya terlihat tajam dan penuh tekad.“Aku sudah siap,” katanya sambil menarik kursi ke samping tempat tidurku. “Hari ini, kita cari Adrian.”Aku menelan ludah. Setengah diriku senang akhirnya akan mendapatkan jawaban. Tapi setengah lainnya takut—takut akan jawaban yang sebenarnya.“Kau yakin kita akan menemukannya?” tanyaku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status