Tiga tahun lalu, hidup Adrian berubah drastis setelah mengetahui kebenaran pahit tentang Livia, perempuan yang ia cintai. Selama menjalin hubungan, Adrian percaya Livia adalah belahan jiwanya, seseorang yang tulus mencintainya. Namun, kenyataannya jauh dari yang ia bayangkan. Livia hanya berpura-pura mencintainya demi membantu keluarganya keluar dari jeratan utang besar. Saat Adrian mengetahui hal ini, ia merasa dunia seolah runtuh. Luka itu begitu dalam hingga membuatnya memutuskan semua hubungan dengan Livia dan pergi meninggalkan kota. Livia, di sisi lain, merasa lega ketika rahasianya terungkap, tetapi ia juga dihantui rasa bersalah yang mendalam. Keputusan mempermainkan perasaan Adrian bukanlah hal yang mudah baginya, tetapi tekanan dari keluarganya membuatnya merasa tidak memiliki pilihan lain. Setelah Adrian pergi, Livia menjalani hidupnya dengan rasa penyesalan, sadar bahwa dirinya telah kehilangan cinta sejati.
Lihat lebih banyakPOV Livia
“Livia, nanti malam ada waktu?”
Adrian menatapku dengan ekspresi santai, tapi matanya yang tajam itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanya biasa. Aku tersentak sejenak, lalu berusaha mempertahankan sikap profesional yang selama ini kujaga.
“Hmm… Kalau Bapak butuh bantuan tambahan untuk pekerjaan, saya bisa mengatur jadwal,” jawabku sambil berpura-pura sibuk dengan layar laptop di hadapanku. Aku menyebutnya ‘Bapak’ di kantor, meskipun hanya kami berdua. Itu semacam tameng, pengingat batasan yang pernah kuletakkan sendiri.
Adrian terkekeh kecil. Suaranya rendah, seperti bisikan yang hanya untukku.
“Livia, santai saja. Kita sedang di rumahku, bukan di kantor. Dan kali ini, bukan soal pekerjaan.”
Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku. Tidak mudah bekerja begitu dekat dengan Adrian, apalagi setelah setahun penuh menjadi sekretaris pribadinya.
Pria ini, dengan segala karisma dan kecerdasannya, sudah sejak lama membuat hatiku goyah. Tapi aku tahu, aku harus tetap tenang. Rencanaku berjalan sesuai jalur, dan aku tak boleh merusaknya dengan emosi sesaat.
“Ada apa, Pak?” Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan kembali menyebutnya ‘Pak’, meskipun aku tahu dia tidak akan begitu saja membiarkan percakapan ini selesai.
Adrian mendekatkan kursinya. Aromanya—campuran kayu cedar dan mint—tercium jelas.
“Makan malam di mall. Aku tahu kamu suka restoran Italia, kan?”
Dia benar. Aku suka. Dia mengingat detail kecil itu dari percakapan beberapa bulan lalu. Aku terkejut, tapi segera menguasai diri.
“Kalau itu perintah bos, saya tidak punya alasan menolak.”
Dia tertawa lagi, kali ini lebih lepas.
“Livia, kamu terlalu formal. Aku mengajakmu, bukan memerintahmu.”
***
Restoran itu terletak di sudut paling mewah dari mall yang gemerlap, menyajikan suasana yang memikat sejak langkah pertama di pintu masuk. Lantainya dihiasi marmer mengilap, mencerminkan cahaya hangat dari lampu-lampu gantung berdesain vintage. Musik lembut mengalun di udara, melengkapi suara riuh rendah obrolan para tamu yang memenuhi ruangan. Tempat itu penuh dengan pasangan, duduk berdekatan di bawah cahaya temaram, membangun suasana yang intim dan romantis.
Adrian memilih meja di balkon, tempat yang paling diincar karena pemandangannya. Balkon itu dikelilingi pagar rendah dari besi tempa, dihiasi tanaman merambat yang dipenuhi bunga-bunga kecil. Dari sana, seluruh pemandangan malam kota terlihat jelas, lampu-lampu gedung bersinar seperti kunang-kunang di kejauhan. Di atas kepala, lampu-lampu kecil berbentuk bola transparan bergelantungan di sepanjang tali, memancarkan cahaya hangat seperti bintang-bintang yang diturunkan ke bumi.
Angin malam bertiup lembut, mengangkat ujung-ujung napkin di meja. Lilin di tengah meja Adrian berkedip-kedip seiring embusan angin, menambahkan sentuhan romantis yang sulit dilewatkan. Aroma makanan yang baru dimasak menguar dari dapur terbuka di pojok restoran, bercampur dengan wangi mawar segar yang menghiasi setiap meja.
Saat aku tiba di restoran, dia sudah duduk di balkon, tampak santai tetapi tetap berwibawa. Adrian mengenakan setelan kasual—kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan garis-garis tegas otot lengannya, dan celana hitam yang rapi. Penampilannya sederhana, jauh dari formalitas kantor yang biasa kutemui, tetapi tetap memancarkan aura yang tak pernah bisa diabaikan.
Cahaya lampu kecil yang bergelantungan di atasnya membuat wajahnya terlihat lebih hangat. Rambutnya yang hitam rapi berkilauan lembut di bawah cahaya temaram, dan senyum tipis menghiasi bibirnya ketika dia melihatku mendekat. Seperti biasa, ada sesuatu yang membuatnya berbeda dari pria lain. Bukan hanya soal tampang atau pakaiannya, tapi caranya membawa diri, caranya menatap—seolah dunia di sekitarnya hanya sekadar latar.
“Kamu cantik sekali malam ini,” katanya begitu aku duduk di depannya.
Aku menunduk, berpura-pura memeriksa menu.
“Terima kasih. Tapi saya biasa saja, kok.”
Dia menatapku lama, seolah ingin menembus pikiranku.
“Kamu selalu merendah, tapi itu salah satu hal yang kusuka darimu.”
Kata-katanya membuatku terpaku. Suka? Benarkah dia baru saja mengatakan itu? Aku mencoba menenangkan hati yang mulai berdebar.
Kami menghabiskan makan malam dengan obrolan ringan. Adrian bercerita tentang perjalanan bisnis terakhirnya ke Singapura, sementara aku membalas dengan cerita kecil tentang keponakanku yang baru bisa berjalan.
Dia tertawa mendengar ceritaku, sebuah tawa yang tulus, sesuatu yang jarang kulihat darinya di kantor.
Setelah makan, dia mengajakku berjalan-jalan di sekitar mall. Tangannya sesekali menyentuh punggungku, gerakan kecil yang terasa lebih intim dari yang seharusnya. Aku menikmati momen itu, meskipun di dalam hati, aku tahu ini hanya bagian dari permainan.
Saat kembali ke rumah Adrian, pekerjaan menumpuk seperti biasa. Kami duduk di ruang kerjanya, meja besar di antara kami penuh dengan dokumen dan laptop. Tapi suasananya berbeda dari biasanya. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan, sesuatu yang mengisi celah-celah sunyi di antara kami.
“Livia,” panggilnya tiba-tiba.
Aku mengangkat kepala dari layar laptop. “Ya?”
Dia menatapku dengan serius, matanya menembus mataku.
“Aku ingin jujur.”
Aku merasakan dadaku berdebar kencang. Adrian tidak pernah berbicara dengan nada seperti ini. Aku mencoba tersenyum, meskipun ada kecemasan yang mulai merayap.
“Tentu. Apa ada yang salah?”
Dia menggeleng pelan. “Bukan soal pekerjaan. Ini soal kita.”
Aku terdiam. Kata-katanya membuat semua rencana yang telah kususun selama ini terasa lebih nyata, lebih dekat. Tapi bersamaan dengan itu, ketakutan juga muncul. Aku tahu apa yang akan dia katakan.
“Livia, aku menyukaimu,” katanya pelan, tapi jelas. “Bukan sebagai sekretarisku, tapi sebagai dirimu. Aku sudah merasa ini sejak lama, tapi aku terlalu takut untuk mengungkapkannya. Aku tidak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama, tapi aku harus jujur.”
Aku menatapnya, berusaha menyembunyikan kekacauan yang terjadi di dalam diriku. Adrian, pria yang selama ini kuincar diam-diam, akhirnya mengungkapkan perasaannya. Tapi aku tahu, aku tidak bisa membalasnya dengan jujur. Aku tak bisa mengungkapkan apa yang kurasakan sebenarnya. Itu akan mengacaukan semuanya.
Aku tersenyum kecil, meskipun itu terasa seperti pukulan di dada.
“Terima kasih sudah jujur. Aku menghargai perasaanmu.”
Matanya berbinar, penuh harapan. “Jadi, kamu juga…?”
Aku menunduk, menghindari tatapannya. Aku harus berbohong. Aku harus melindungi diriku sendiri.
“Aku… Aku belum yakin, Adrian. Ini terlalu cepat. Mungkin kita bisa pelan-pelan saja.”
Wajahnya sedikit berubah, tapi dia segera tersenyum lagi.
“Aku mengerti. Aku akan menunggu. Tapi setidaknya, aku lega sudah mengatakannya.”
POV Adrian Hari itu, waktu terasa lambat. Setiap jam berjalan seakan tiga kali lebih lama. Tapi saat akhirnya matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon memanjang ke jalan, aku kembali ke taman. Duduk di bangku yang sama, mengenakan kemeja bersih yang sudah lama tak kupakai.Tak lama kemudian, Livia muncul dari kejauhan. Ia mengenakan sweater abu-abu dan celana panjang sederhana. Rambutnya dikepang longgar. Ia tampak… lebih kuat dari yang kuingat.Ia duduk di sampingku. Tidak terlalu dekat, tapi tidak sejauh dulu saat pertama kali kami bertemu kembali.“Aku baca suratmu,” katanya, membuka percakapan. “Aku butuh beberapa hari buat mencernanya.”Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti.”“Aku nggak akan bertanya kenapa kamu kembali sekarang. Karena aku tahu, setiap orang punya waktunya sendiri untuk berani.”Aku menoleh padanya. “Terima kasih karena mau bicara lagi.”Ia menghela napas. “Aku bukan lagi Livia yang dulu, Adrian. Luka itu mengubahku. Tapi aku juga nggak bisa mengingkari
POV AdrianSudah berapa lama aku menghilang? Enam bulan? Mungkin lebih. Aku sendiri berhenti menghitung sejak hari aku meninggalkan semuanya—meninggalkan Livia.Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut. Takut menghadapi diriku sendiri, takut menghadapi luka yang kubuat, dan lebih dari itu… takut bahwa aku bukan lagi pria yang pantas berdiri di sampingnya.Aku pernah jadi segalanya untuk Livia. Suaminya, tempat pulangnya, orang yang berjanji untuk selalu tinggal. Tapi aku gagal. Aku tak sanggup menahan badai di dalam pikiranku sendiri. Saat kenyataan menghantam lebih keras daripada yang bisa kutanggung, aku memilih pergi. Diam-diam. Tanpa pesan. Tanpa pamit.Aku tahu itu salah. Tapi pada saat itu, kepergian terasa seperti satu-satunya pilihan agar dia tak ikut hancur bersamaku.Sekarang setelah berbulan-bulan hidup dalam bayang-bayang, aku kembali berdiri di ambang pintu itu—pintu rumah yang dulu kami cat bersama, rumah tempat setiap sudutnya menyimpan sisa cinta yang kubuang sia-
POV Livia Aku menutup surat itu. Kutatap keluar jendela. Jalan setapak yang mengarah ke gerbang masih terlihat sepi. Tapi aku tahu, waktu tak akan menungguku. Aku harus melanjutkan langkah, apa pun bentuknya.Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu selalu menenangkanku: taman kecil di sisi bukit, tempat ibu sering membawaku saat aku kecil. Kubiarkan angin pagi menyentuh wajahku saat aku berjalan kaki ke sana. Tak ada yang istimewa dari taman itu, hanya ada ayunan tua, pohon yang sama sejak aku masih remaja, dan bangku kayu yang sudah mulai lapuk. Tapi semua itu menenangkan.Aku duduk di bangku itu cukup lama. Mengamati daun-daun yang jatuh, mendengar desir angin, dan mencoba menenangkan pikiranku. Tapi pikiranku terus kembali pada satu hal—bahwa akhir dari perjalanan ini sudah dekat. Dan aku belum siap.Bukan karena aku takut kehilangan. Aku sudah kehilangan banyak. Tapi karena aku takut lupa cara untuk hidup. Hidup yang benar-benar hidup, bukan hanya bertahan.Tiba-t
POV Livia Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku membuka galeri ponsel, mencari foto kami—aku dan Adrian—saat tertawa di kafe, saat jalan-jalan ke pantai, saat dia memelukku dari belakang dengan senyum paling hangat yang pernah aku kenal. Setiap foto terasa seperti bayangan samar dari kehidupan yang entah kapan akan kembali.Jari-jariku berhenti di satu pesan terakhir darinya. "Aku mau bicara. Nanti malam aku ke rumah ya."Itu adalah pesan terakhir yang aku terima darinya. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi.Aku mulai menulis di buku harianku malam itu. Sudah lama aku tidak menulis, sejak semua ini terjadi. Tapi rasanya, malam itu, aku butuh menyampaikan sesuatu—entah pada siapa.28 Juli. Hari ke-22 tanpa kabar.Aku tidak tahu harus menunggu atau melepaskan.Kadang aku yakin dia punya alasan. Kadang aku ingin memarahinya. Kadang aku hanya ingin memeluknya dan bilang semuanya akan baik-baik saja.Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apakah dia masih menganggapku seseorang yang pent
POV Livia Suatu sore, saat cahaya dari jendela menyelinap pelan ke dalam ruangan, aku memberanikan diri untuk duduk lebih tegak. Lututku masih nyeri, tapi tidak separah sebelumnya. Ibu membantuku menyesuaikan bantal, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih kuat."Sudah jauh lebih baik hari ini," kata Ibu sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya, meski tak sepenuhnya yakin. "Aku takut berharap terlalu cepat.""Tak apa-apa takut," katanya. "Tapi jangan berhenti bergerak hanya karena rasa takut."Kata-kata itu membekas. Di tengah rasa sakit dan rindu yang belum terjawab, aku mulai belajar untuk menoleransi ketidakpastian. Aku mulai memahami bahwa mungkin—hanya mungkin—tidak semua hal harus segera terjawab. Termasuk pertanyaanku tentang Adrian.Apakah dia sengaja menjauh? Atau sedang dalam masalah? Atau hanya... tidak cukup peduli?Pikiran itu datang dan pergi seperti kabut yang naik turun di pegunungan. Aku menolaknya, tapi kadang-kadang ia menetap lebih lama dari yang kuhar
POV Livia Aku menutup jurnal dengan pelan. Jantungku masih berat, tapi setidaknya aku jujur pada diri sendiri.Malam turun. Lampu-lampu kota terlihat samar dari balik jendela rumah sakit. Maya sudah pulang, dan Ibu tertidur di sofa kecil dekat pintu.Aku membuka kembali ponselku.Masih tidak aktif.Aku menutup mata dan menghembuskan napas panjang. “Tuhan, aku hanya ingin tahu... apakah dia baik-baik saja?”Tak ada jawaban. Tapi ada ketenangan aneh yang datang. Mungkin karena aku tahu, besok kami akan mulai mencari. Mungkin karena aku tahu, aku tidak sendirian.***Keesokan paginya, Maya datang lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan jaket denim dan sepatu kets, matanya terlihat tajam dan penuh tekad.“Aku sudah siap,” katanya sambil menarik kursi ke samping tempat tidurku. “Hari ini, kita cari Adrian.”Aku menelan ludah. Setengah diriku senang akhirnya akan mendapatkan jawaban. Tapi setengah lainnya takut—takut akan jawaban yang sebenarnya.“Kau yakin kita akan menemukannya?” tanyaku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen