POV Livia
Adrian menatapku, matanya dipenuhi rasa sakit dan amarah. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan diri untuk tidak meluapkan emosi yang jelas membuncah di dalam dirinya. Aku bisa merasakan detak jantungku yang menggila, namun tubuhku terasa seperti membeku.
"Livia, aku ingin kau jujur denganku," katanya, suaranya datar, tetapi setiap kata penuh tekanan.
Aku menghindari tatapannya, mataku menatap lantai, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit keluar. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan?
Adrian melangkah mendekat, tubuhnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dariku. Dia menatapku, memaksa mataku bertemu dengan miliknya.
"Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Dan aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Jika kau peduli padaku—jika hubungan ini berarti sesuatu bagimu—tolong, katakan yang sebenarnya."
Aku membuka mulutku, mencoba bicara, tetapi lidahku terasa kelu. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku tahu ini adalah saatnya, bahwa aku tidak bisa terus berbohong. Namun, rasa takut yang mendalam mencengkeramku, menahan setiap kata yang ingin kuucapkan.
Adrian menghela napas panjang, pandangannya kini lebih lelah daripada marah.
"Livia," katanya dengan nada yang lebih lembut, "aku memberimu segalanya—hatiku, kepercayaanku. Tapi aku tidak bisa terus berjalan dalam kegelapan ini. Jika kau tidak bisa bicara sekarang... Aku akan memberimu waktu. Tapi aku butuh kepastian bahwa kau akan jujur suatu hari nanti."
Aku tetap diam.
Dia melangkah mundur, menatapku seolah sedang berjuang dengan dirinya sendiri untuk tetap tenang.
"Aku akan pergi," katanya akhirnya. "Aku tidak akan memaksamu bicara. Tapi pikirkan baik-baik, Livia. Apa yang kau sembunyikan akan menghancurkan kita, lebih dari apa pun yang kau takutkan."
Adrian berbalik, mengambil mantel dan kuncinya dari meja, dan menuju pintu. Aku hanya berdiri di sana, terdiam, menonton punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu yang tertutup.
Ketika keheningan memenuhi ruangan, aku jatuh ke sofa, air mata akhirnya mengalir bebas. Perasaan bersalah dan ketakutan menghantamku seperti ombak besar, menenggelamkan seluruh keberanianku.
Aku menatap langit malam dari jendela kamar apartemenku, pikiranku dipenuhi dengan segala kekacauan yang terjadi. Suara Adrian yang meminta kejujuran terus terngiang di telingaku. Aku tahu aku harus memberitahunya, tapi bagaimana caranya?
Mataku terpejam, dan perlahan kenangan masa lalu mulai memenuhi pikiranku—kenangan yang selalu mencoba kuabaikan tetapi tidak pernah benar-benar pergi.
Aku masih remaja saat dunia keluargaku mulai runtuh. Ayahku kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ibuku, yang hanya bekerja serabutan, tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga. Tagihan terus menumpuk, dan kami mulai kehilangan hal-hal kecil yang dulu kami anggap biasa—langganan TV kabel, kemudian mobil keluarga, hingga akhirnya rumah kami dijual untuk melunasi sebagian utang.
“Kau harus menjadi anak yang kuat,” kata ibuku suatu malam ketika aku menangis karena tidak bisa membeli buku pelajaran. “Kita semua harus berkorban.”
Aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud ibuku saat itu, tetapi aku tahu aku tidak punya pilihan. Sebagai anak tertua, aku menjadi tumpuan harapan keluarga. Aku harus belajar keras, membantu pekerjaan rumah, dan kadang mengambil pekerjaan paruh waktu sepulang sekolah.
Ketika aku masuk universitas, keluargaku berada di titik terendah. Kehilangan rumah adalah awal dari serangkaian pukulan berat yang tak pernah berhenti. Utang semakin menumpuk, dan bunga pinjaman seperti racun yang perlahan melumpuhkan kami. Ibuku, yang biasanya tegar, mulai kehilangan semangat. Ia tidak lagi bisa bekerja penuh waktu karena kesehatannya memburuk akibat tekanan yang terus-menerus. Untuk bertahan hidup, ibuku mulai meminta bantuan dari kerabat, meskipun aku tahu betapa sulitnya baginya untuk merendahkan diri seperti itu.
Setiap kali aku pulang ke rumah, suasananya begitu suram. Tagihan-tagihan menumpuk di meja ruang tamu, dan makanan di meja makan semakin sederhana. Bahkan hal-hal kecil seperti membeli sabun atau listrik yang menyala penuh menjadi sebuah kemewahan. Aku sering merasa terjepit, antara kewajiban untuk belajar keras agar bisa membebaskan keluarga kami dari kemiskinan dan rasa bersalah karena tidak bisa membantu lebih banyak.
Aku sering merasa bahwa hidupku bukan milikku sendiri. Setiap keputusan yang kuambil selalu dikaitkan dengan bagaimana itu akan membantu keluarga kami.
Dan kemudian, Adrian datang—atau lebih tepatnya, dia menjadi bagian dari rencana keluargaku.
“Dia bisa menyelamatkan kita, Livia,” kata ibuku ketika pertama kali kami membahas Adrian. “Dia pria yang baik, kaya, dan dia menyukaimu. Ini adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali.”
Aku tahu ibuku hanya ingin yang terbaik untuk kami semua. Aku tahu dia hanya mencoba mencari jalan keluar dari kesulitan yang kami hadapi. Tapi rencana itu terasa seperti menempatkan beban yang terlalu berat di pundakku.
Aku tidak pernah mengira aku akan mulai mencintai Adrian. Awalnya, aku hanya melihatnya sebagai bagian dari tanggung jawabku—sebagai seseorang yang harus kudekati demi menyelamatkan keluargaku. Tapi seiring waktu, aku melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang lembut, tulus, dan penuh perhatian.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Pikiranku kembali ke masa kini ketika teleponku berdering. Aku melihat layar dan melihat nama ibuku muncul. Dengan enggan, aku mengangkatnya.
"Livia, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Adrian?" tanyanya tanpa basa-basi.
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kami baik-baik saja."
"Apa dia sudah menunjukkan tanda-tanda keseriusan? Ingat, kita tidak punya banyak waktu lagi. Kau tahu berapa banyak tagihan yang harus kita lunasi bulan depan."
Aku menggigit bibirku, merasa marah dan sedih pada saat yang sama.
"Bu, aku tidak tahu apakah aku bisa terus melakukan ini," kataku akhirnya, suaraku bergetar.
"Tidak ada pilihan lain, Livia. Kau tahu itu," jawab ibuku dengan nada tegas. "Adrian adalah kesempatan terbaik kita. Jangan sia-siakan semua yang sudah kau bangun sejauh ini."
Aku menutup mata, mencoba menahan air mata. "Aku tidak yakin bisa melanjutkan rencana ini, Bu. Aku..."
"Jangan berpikir terlalu jauh, Livia," potongnya. "Kau hanya perlu tetap fokus. Jangan biarkan perasaanmu menghancurkan segalanya."
Aku mengakhiri panggilan itu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hatiku terasa berat, dan aku tahu aku berada di persimpangan jalan yang sulit.
Malam itu, aku duduk di meja makan, memandangi kotak kecil berisi gelang yang diberikan Adrian kepadaku beberapa minggu lalu. Gelang itu sederhana, tetapi memiliki ukiran kecil di bagian dalam: Untuk Livia, inspirasiku.
Air mata mengalir di pipiku saat aku memegang gelang itu. Di satu sisi, aku tahu bahwa aku mencintai Adrian dengan cara yang tidak pernah kukira. Tapi di sisi lain, beban keluargaku terus menghantuiku, membuatku merasa seperti boneka yang terperangkap dalam tali yang tak terlihat.
Aku tahu aku harus membuat keputusan. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa berharap waktu akan memberiku keberanian untuk menghadapi semuanya.
POV Adrian Hari itu, waktu terasa lambat. Setiap jam berjalan seakan tiga kali lebih lama. Tapi saat akhirnya matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon memanjang ke jalan, aku kembali ke taman. Duduk di bangku yang sama, mengenakan kemeja bersih yang sudah lama tak kupakai.Tak lama kemudian, Livia muncul dari kejauhan. Ia mengenakan sweater abu-abu dan celana panjang sederhana. Rambutnya dikepang longgar. Ia tampak… lebih kuat dari yang kuingat.Ia duduk di sampingku. Tidak terlalu dekat, tapi tidak sejauh dulu saat pertama kali kami bertemu kembali.“Aku baca suratmu,” katanya, membuka percakapan. “Aku butuh beberapa hari buat mencernanya.”Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti.”“Aku nggak akan bertanya kenapa kamu kembali sekarang. Karena aku tahu, setiap orang punya waktunya sendiri untuk berani.”Aku menoleh padanya. “Terima kasih karena mau bicara lagi.”Ia menghela napas. “Aku bukan lagi Livia yang dulu, Adrian. Luka itu mengubahku. Tapi aku juga nggak bisa mengingkari
POV AdrianSudah berapa lama aku menghilang? Enam bulan? Mungkin lebih. Aku sendiri berhenti menghitung sejak hari aku meninggalkan semuanya—meninggalkan Livia.Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut. Takut menghadapi diriku sendiri, takut menghadapi luka yang kubuat, dan lebih dari itu… takut bahwa aku bukan lagi pria yang pantas berdiri di sampingnya.Aku pernah jadi segalanya untuk Livia. Suaminya, tempat pulangnya, orang yang berjanji untuk selalu tinggal. Tapi aku gagal. Aku tak sanggup menahan badai di dalam pikiranku sendiri. Saat kenyataan menghantam lebih keras daripada yang bisa kutanggung, aku memilih pergi. Diam-diam. Tanpa pesan. Tanpa pamit.Aku tahu itu salah. Tapi pada saat itu, kepergian terasa seperti satu-satunya pilihan agar dia tak ikut hancur bersamaku.Sekarang setelah berbulan-bulan hidup dalam bayang-bayang, aku kembali berdiri di ambang pintu itu—pintu rumah yang dulu kami cat bersama, rumah tempat setiap sudutnya menyimpan sisa cinta yang kubuang sia-
POV Livia Aku menutup surat itu. Kutatap keluar jendela. Jalan setapak yang mengarah ke gerbang masih terlihat sepi. Tapi aku tahu, waktu tak akan menungguku. Aku harus melanjutkan langkah, apa pun bentuknya.Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu selalu menenangkanku: taman kecil di sisi bukit, tempat ibu sering membawaku saat aku kecil. Kubiarkan angin pagi menyentuh wajahku saat aku berjalan kaki ke sana. Tak ada yang istimewa dari taman itu, hanya ada ayunan tua, pohon yang sama sejak aku masih remaja, dan bangku kayu yang sudah mulai lapuk. Tapi semua itu menenangkan.Aku duduk di bangku itu cukup lama. Mengamati daun-daun yang jatuh, mendengar desir angin, dan mencoba menenangkan pikiranku. Tapi pikiranku terus kembali pada satu hal—bahwa akhir dari perjalanan ini sudah dekat. Dan aku belum siap.Bukan karena aku takut kehilangan. Aku sudah kehilangan banyak. Tapi karena aku takut lupa cara untuk hidup. Hidup yang benar-benar hidup, bukan hanya bertahan.Tiba-t
POV Livia Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku membuka galeri ponsel, mencari foto kami—aku dan Adrian—saat tertawa di kafe, saat jalan-jalan ke pantai, saat dia memelukku dari belakang dengan senyum paling hangat yang pernah aku kenal. Setiap foto terasa seperti bayangan samar dari kehidupan yang entah kapan akan kembali.Jari-jariku berhenti di satu pesan terakhir darinya. "Aku mau bicara. Nanti malam aku ke rumah ya."Itu adalah pesan terakhir yang aku terima darinya. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi.Aku mulai menulis di buku harianku malam itu. Sudah lama aku tidak menulis, sejak semua ini terjadi. Tapi rasanya, malam itu, aku butuh menyampaikan sesuatu—entah pada siapa.28 Juli. Hari ke-22 tanpa kabar.Aku tidak tahu harus menunggu atau melepaskan.Kadang aku yakin dia punya alasan. Kadang aku ingin memarahinya. Kadang aku hanya ingin memeluknya dan bilang semuanya akan baik-baik saja.Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apakah dia masih menganggapku seseorang yang pent
POV Livia Suatu sore, saat cahaya dari jendela menyelinap pelan ke dalam ruangan, aku memberanikan diri untuk duduk lebih tegak. Lututku masih nyeri, tapi tidak separah sebelumnya. Ibu membantuku menyesuaikan bantal, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih kuat."Sudah jauh lebih baik hari ini," kata Ibu sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya, meski tak sepenuhnya yakin. "Aku takut berharap terlalu cepat.""Tak apa-apa takut," katanya. "Tapi jangan berhenti bergerak hanya karena rasa takut."Kata-kata itu membekas. Di tengah rasa sakit dan rindu yang belum terjawab, aku mulai belajar untuk menoleransi ketidakpastian. Aku mulai memahami bahwa mungkin—hanya mungkin—tidak semua hal harus segera terjawab. Termasuk pertanyaanku tentang Adrian.Apakah dia sengaja menjauh? Atau sedang dalam masalah? Atau hanya... tidak cukup peduli?Pikiran itu datang dan pergi seperti kabut yang naik turun di pegunungan. Aku menolaknya, tapi kadang-kadang ia menetap lebih lama dari yang kuhar
POV Livia Aku menutup jurnal dengan pelan. Jantungku masih berat, tapi setidaknya aku jujur pada diri sendiri.Malam turun. Lampu-lampu kota terlihat samar dari balik jendela rumah sakit. Maya sudah pulang, dan Ibu tertidur di sofa kecil dekat pintu.Aku membuka kembali ponselku.Masih tidak aktif.Aku menutup mata dan menghembuskan napas panjang. “Tuhan, aku hanya ingin tahu... apakah dia baik-baik saja?”Tak ada jawaban. Tapi ada ketenangan aneh yang datang. Mungkin karena aku tahu, besok kami akan mulai mencari. Mungkin karena aku tahu, aku tidak sendirian.***Keesokan paginya, Maya datang lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan jaket denim dan sepatu kets, matanya terlihat tajam dan penuh tekad.“Aku sudah siap,” katanya sambil menarik kursi ke samping tempat tidurku. “Hari ini, kita cari Adrian.”Aku menelan ludah. Setengah diriku senang akhirnya akan mendapatkan jawaban. Tapi setengah lainnya takut—takut akan jawaban yang sebenarnya.“Kau yakin kita akan menemukannya?” tanyaku